webnovel

Merindukannya

"Kau yakin dengar sendiri dia bilang seperti itu?"

"Iya." Arvy memutar bola matanya. "Sebenarnya apa yang kakek dapatkan tentang dia?"

"Aku tidak menemukan banyak. Hanya ini." kakek meletakkan berkas dokumen di meja di dalam map cokelat.

Arvy yang sangat ingin tahu pun segera mengambil dan membukanya.

"A…apa ini?"

Arvy menganga begitu melihat itu adalah riwayat pengobatan di rumah sakit Satria cabang utara ibu kota. Gita tidak meninggalkan negara pada saat itu, melainkan melakukan pengobatan intensif. Ia menderita Leukimia stadium awal, namun ia ragu untuk berobat, pertanyaan mengenai apakah ia harus pergi ke Toronto atau tidak kepada Arvy saat itu adalah tentang pengobatannya. Di dokumen tertulis ia tinggal bersama ibunya, sayangnya ibunya telah lama meninggal pada saat masa sekolah. Ia tinggal sendirian sejak masuk perguruan tinggi. Ia anak yang ceria, cerewet dan banyak bicara. Ia anak yang kuat dari luar, namun sangat lemah di dalam. Gita berniat untuk menunggu ajalnya, toh ia tidak punya siapa siapa lagi. Ayahnya sudah lama meninggal begitu juga ibunya yang menyusul dengan cepat. Jadi ia tak berniat sembuh dari penyakitnya. Tidak akan ada yang menerimanya. Dirinya sangat ingin menjadi ibu rumah tangga biasa, menikah dengan orang yang cintai namun itu hanya angannya. Ia hanya menginginkan keluarga kecil.

Di dokumen juga tertulis bahwa ia mengalami kondisi yang bagus di beberapa bulan pertama, sayangnya bulan selanjutnya, ia tiba tiba menghilang. Ditemukan note kecil di ranjang pasien, bahwa ia minta maaf karena tak bisa melanjutkan pengobatan lagi karena tak memiliki alasan untuk hidup. Padahal saat itu kondisi membaik secara signifikan. Ia memiliki asuransi yang digunakan untuk disumbangkan ke panti asuhan. Dan ternyata panti asuhan itu adalah tempat Amy dan Alfa, yaitu Motherwood.

Arvy ingat suatu hari saat di kampus, ia berada di perpustakaan hampir tengah malam. Gita menghampirinya.

"Arvy!" Gita mengejutkannya dari belakang.

"Kau masih di sini jam segini?"

Gita duduk di sebelahnya. "Tentu saja. Aku ada di mana mana."

"Apa ibumu tak mencarimu."

"Tentu saja di mengkhawatirkanku."

"Kenapa tidak pulang?"

"Sebentar lagi," ekspresi Gita berubah. "Sebentar lagi aku juga akan menemui ibu, kok."

"Hah? Dasar." Arvy menggeleng melihatnya.

Gita tersenyum lebar menatapnya. Ia lalu mengambil headset di telinga Arvy yang sebelah kiri.

"Aku penasaran kau mendengarkan lagu apa." Gita terlihat senang mendengarkan lagu itu bersama Arvy. Arvy hanya menatapnya dari samping.

Kembali ke masa sekarang. Matanya berkaca kaca mengingat itu.

"Bagaimana bisa…" Arvy meremas dokumen itu. Ia marah pada dirinya sendiri.

"Kemungkinan gadis bernama Gita itu…" Kakek menghela napas berat. "….sudah meninggal.

Arvy menangis di bar nya. Ia menatap dokumen itu yang tergeletak di meja. Bersama dengan botol botol wiski. Semuanya sudah berakhir. Gita menghilang dan kakek menduga ia sudah meninggal, melihat kondisinya yang meninggalkan pengobatan di tengah jalan. Ia menangis hingga matanya memerah. Ditatapnya foto gadis itu di dokumennya, tersenyum dengan rambut panjangnya yang manis.

Ia juga teringat dengan peristiwa saat Gita hampir diserang Rey. Gadis itu meringkuk ketakutan. Tubuh kecilnya gemetaran dan menahan tangis. Padahal tidak ada yang mencegahnya untuk menangis.

"Kenapa?! Kenapa kau tidak memberiku kesempatan?"

"Aku harap aku memegang tangannya saat tidak ada siapapun di sisinya."

"Kenapa kau tidak mengandalkanku?"

"Kenapa kau menderita sendirian? Kenapa kau menyerah? Kenapa kau melakukan ini padaku?"

"Kau ada di mana sekarang?"

"Aku tahu kau masih hidup. Iya kan? Jawab aku!"

Arvy meraung sendirian. Ditenggaknya alkohol itu berbotol botol.

Gita seolah hadir dan duduk di hadapannya, menemani Arvy yang menderita seorang diri, menatapnya dengan wajah teduh, tersenyum hangat seperti yang biasa ia lakukan padanya dahulu.

"Apa aku mabuk?" racau Arvy. "Kenapa kau baru datang? Kenapa kau muncul di hadapanku sekarang?"

Gita tak menjawab.

"Aku merindukanmu, Gita. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"

Arvy memegang pipinya lembut dan mengusapnya. Ia hendak mengambil segelas lagi, namun Gita menahannya dengan memegang tangannya. Arvy terpaku, lalu menatap Gita dengan tatapan tidak percaya. Perlahan, air matanya luruh melewati pipi. Ia ingin ilusi ini lebih lama lagi. Ia ingin gadis yang dirindukannya itu lebih lama tinggal di sisinya.

"Jangan pergi."

Gita tersenyum. Arvy makin tak ingin melepasnya.

"Jangan menangis," kata Gita tiba tiba.

Arvy tertegun mendengarnya.

Degh

Hingga ia terbangun. Ternyata semua itu hanya mimpi. Dirinya tertidur di meja sembari memegang dokumen itu. Pipinya basah. Ada banyak botol di hadapannya. Seberapa banyak alkohol yang ia minum sebenarnya. Dirinya hanya ingat senyuman indah Gita yang ia lihat dalam mimpi. Memintanya untuk tidak bersedih dan tidak menangis.

Arvy mengusap air matanya dan melihat sekeliling. Beruntung tidak ada pelanggan yang datang. Wajahnya sendu dan kusut.

"Aku pasti tampak menyedihkan." ia menghela napas panjang. "Mimpi tadi terasa sangat nyata. Aku pasti sudah gila."

Arvy bangkit dari kursinya. Ia melangkah ke belakang menuju kamar mandi.

Sementara itu di luar bar, Amy tengah berdiri dengan tegang. Ia melihat ke dalam melalui jendela, dan melihat Arvy berjalan ke belakang. Barulah ia bisa bernapas.

"Astaga, apa yang baru saja terjadi?" Amy memegang dadanya yang berpacu dengan cepat seolah mau copot.

Sesaat sebelumnya.

Amy dan Alfa masih belum bisa menerima client karena Amy harus menunggu perawatan Alfa selesai. Meskipun Alfa memaksa namun Amy tetap tidak mengizinkannya.

Hari ini Amy sengaja membuat alasan ingin bertemu Arvy karena ada yang ingin ia bicarakan. Sementara Alfa bekerja sebagai writer di kamarnya, Amy keluar.

"Apa aku perlu membicarakan masalah waktu itu?" tanya Amy pada dirinya sendiri.

Setiap melihat Arvy ia selalu mengingat kejadian saat itu. Ia ingat lagi wajah Arvy saat itu. Matanya terlihat kesepian, menyedihkan dan kusut.

"Hari itu dia benar benar kacau. Aku tahu dia tidak sengaja melakukannya, bahkan memanggilku dengan nama gadis lain."

Amy mengangguk mantap. Ia ingin membahas tuntas masalah itu, agar tidak ada kecanggungan atau rasa tidak nyaman lagi, toh mereka sering bertemu. Namun ia heran karena bar sepi. Ia memasuki lobi dan sampai di aula dalam. Dari jendela luar terlihat Arvy tengah mabuk, Amy menahan napasnya, ia teringat lagi tentang peristiwa saat Arvy hampir menyerangnya. Dalam hati ia takut, namun ia harus menghampirinya. Anehnya, hari ini Arvy tidak nampak menyeramkan melainkan sebaliknya.

Dari luar Amy melihat Arvy menangis sembari melihat suatu dokumen, lalu menenggak minumannya dengan kasar. Pria itu nampak frustasi. Amy yang tadinya takut berubah khawatir.

"Apa dia baik baik saja?" Amy memutuskan masuk ke dalam.

Ia duduk di hadapan Arvy.

"Apa aku mabuk?" racau Arvy. "Kenapa kau baru datang? Kenapa kau muncul di hadapanku sekarang?"

"Eh? Apa yang kau katakan? Kau menungguku?" Amy bingung sendiri. Namun ia terkejut melihat Arvy yang masih menangis. Ia tak percaya pria dingin bak es itu benar benar kacau saat minum, bahkan menangis.

"Arvy…kau baik baik saja? Apa ada masalah?" Amy prihatin.

Namun nampaknya Arvy tak mendengarnya dengan baik. Ia benar benar mabuk dan jatuh dalam imajinasinya sendiri. Amy panik tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

"Aku merindukanmu, Gita. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan?"

Arvy memegang pipinya lembut dan mengusapnya.

Amy gugup dan mematung. Namun ia tak bergerak, membiarkan dia melakukannya. Arvy hendak mengambil segelas lagi, namun Amy menahannya dengan memegang tangannya. Arvy terpaku, lalu menatap Amy, yang dalam bayangannya adalah Gita, dengan tatapan tidak percaya. Perlahan, air matanya luruh melewati pipi.

"Sudah. Jangan minum lagi, Vy."

"Jangan pergi," kata Arvy tiba tiba. Lagi lagi membuat Amy membisu sekaligus khawatir. Nama seorang yang asing itu lagi.

"Siapa Gita sebenarnya? Apa dia kekasihnya?" batin Amy.

Nächstes Kapitel