webnovel

Dio

"Astaga kekonyolan apa ini." Arvy memegang dahinya frustasi.

Alfa hanya tersenyum menanggapi keduanya.

"Oh iya kamu ini Nak Alfa kan?" tebak Kakek.

"I…iya, Kek."

"Tidak usah gugup begitu. Teman cucuku adalah temanku."

Alfa tersenyum.

"Makanlah yang banyak. Selama bersama Amy, terima kasih telah menjaga cucuku. Aku tahu kau mengalami kecelakaan kemarin. Syukurlah kau sudah sehat sekarang."

"Iya, Kek. Terima kasih."

"Apa ayah yang memberitahu Kakek?" tanya Amy.

"Mana mungkin. Si Holan anak sialan itu tidak akan bicara padaku." Kakek sewot.

"Eh?" Alfa terkejut melihat reaksinya.

"Kau tahu kan kalau ayah kalian (menunjuk Dio dan Amy) hanya bicara padaku satu kali per tahun. Dia benar benar es berwujud manusia."

Arvy menahan tawanya.

"Kau tertawa, Arvy? Dasar cucu sialan kau." Kakek bercanda.

"Ayah pasti sangat sibuk, Kek," sahut Dio.

"Yah kuanggap begitu, sih. Haha." Kakek tertawa.

Setelah mereka selesai makan. Dio dan Arvy menemui kakek di ruangannya. Sedang Amy dan Alfa tengah melihat lihat rumah kakek. Alfa penasaran dengan rumah besar yang indah itu.

"Kau tahu?" tanya Amy.

"Apa?" jawab Alfa.

"Rumah kakek sangatlah bersih."

"Hem?" Alfa nampak berpikir. "Tentu saja karena pelayan membersihkannya."

"Kau ini," Amy tersenyum. "Maksudku bukan itu."

"Lalu apa?"

"Tidak ada satupun makhluk astral di dalamnya. Setiap rumah setidaknya beberapa kali pernah didatangi hantu bahkan sekali oleh tingkat bawah."

"Benarkah?"

"Iya."

"Mungkin seluruh anggota keluarga Satria indigo sepertimu."

"Mana mungkin," Amy mengalihkan pandangannya gugup.

Mereka berdua duduk di anak tangga menuju taman tengah rumah.

"Ayah dan kakekmu juga terlihat bukan orang biasa."

"Itu karena mereka kaya raya."

"Maaf? Kau baru saja membanggakan kalau kau berasal dari keluarga kaya? Taman ini bahkan terasa lebih besar dari taman kota. Bagaimana bisa ada taman di dalam rumah? Apa ini istana?" Alfa takjub melihatnya.

Amy tertawa kecil namun agak sedih. "Kalau iya mau apa? Lagipula toh aku bukan keturunan mereka yang sebenarnya.

Alfa menyadari senyuman Amy yang tidak nampak baik baik saja. Ia juga ingat bahwa Amy berasal dari panti asuhan yang sama dengannya. Gadis yang sedikit murung itu hanya beruntung diadopsi oleh keluarga terpandang, padahal mereka tahu kenyataan bahwa saat itu ia sempat dituduh membunuh salah satu pengasuh. Alfa menatap Amy yang mendadak melamun.

Amy ingat saat ia pertama kali bertemu dengan Holan, ayahnya. Saat itu Holan bertanya dari mana ia mengetahui dirinya padahal mereka tak saling kenal. Itulah pertanyaan terbesarnya. Sedangkan fyber fyber dalam tubuhnya pun tak bisa menemukan alasannya.

"Alfa pasti mengira aku di adopsi oleh keluarga terpandang ini, padahal…. akulah yang mengancam Holan saat itu. Aku mengancam ayah agar ia menyelamatkanku dari musibah yang menimpaku, saat semua orang menuduh aku membunuh Marina." Amy melamun saat memikirkannya kembali.

"Amy…" panggil Alfa, namun Amy tak mendengarnya karena melamun dan jatuh dalam imajinasinya.

"Amy."

"Ah iya. Maaf aku malahan melamun. Hehe," Amy mengengeh berusaha menunjukkan ekspresi yang baik baik saja.

Alfa tahu ia tak baik baik saja.

"Setidaknya aku tidak sendirian. Ada Dio si sialan itu."

"Woi, apa kau selalu bertengkar dengan kakakmu sedari kecil?"

"Sedari kecil?" Amy nampak berpikir. "Aku tidak tahu kalau itu. Karena ketika diadopsi Dio sudah lulus Sekolah Dasar."

"Apa? Bagaimana bisa?"

"Dio juga di adopsi."

"Ha?!"

"Ah kau tak tahu ini ya sebelumnya. Ibu Nadia, isteri ayahku, aku hanya pernah dipeluknya sekali, ia benar benar orang yang hangat. Beliau tidak memiliki keturunan. Dio juga diadopsi, bedanya ia sudah sejak bayi digendong bahkan disusui oleh Bu Nadia, tidak sama denganku."

"Begitu ya, aku baru tahu."

"Aku minta maaf."

"Eh kok malah minta maaf?"

"Aku yang memintamu untuk jujur dan mengatakan masa lalumu padaku. Aku memaksamu padahal aku sendiri tidak bisa menceritakan masa laluku padamu. Maafkan aku Alfa."

"Siapa yang memaksa siapa? Apa kau dan aku bisa mengendalikannya? Kita hanya manusia, My. Kita tidak bisa mengendalikan hal semacam itu. Jangan minta maaf pada hal yang tak bisa kau kendalikan."

"Kadang kadang aku tidak sadar kalau aku jadi orang yang egois. Aku juga sadar kalau aku tidak seharusnya kasar dengan Dio. Aku hanya tidak tahu bagaimana cara bersikap dengan benar di hadapannya. Dia adalah orang yang asing saat itu. Aku membencinya dan aku tidak pernah terpikirkan untuk dekat dengannya. Kupikir itu tidak ada gunanya, sia sia. Padahal aku hanya membenci diriku sendiri. Dulu, kalau kita bertengkar, kita akan benar benar bertengkar, tidak seperti yang kau lihat seperti biasanya, apalagi di meja makan tadi."

Amy menatap nanar udara di hadapannya. "Aah aku tidak cocok menjadi saudara orang itu. Aku terlalu jahat untuk orang baik sepertinya. Dulu, begitu yang kupikirkan."

Tanpa mereka sadar, Dio tengah mendengar percakapan itu. Ia pun menatap wajah adiknya yang murung. Kata katanya itu berasal dari perasaan terdalam Amy. Ia merasa bersalah pada kakaknya namun di saat bersamaan ia merasa benci dan muak, pada dirinya sendiri.

Dio tidak ingin mendengar percakapan keduanya lagi. Ia berbalik dan tak sengaja menabrak bahu Arvy.

"Melarikan diri lagi?"

Dio meliriknya dengan tajam.

Baru kali ini Dio yang hangat, menatapnya dengan tatapan tak nyaman seperti itu. Tanpa mengatakan sepatah katapun, Dio melenggang meninggalkan Arvy. Namun lagi lagi Arvy menarik lengannya dan mencegahnya.

"Apa yang kau lakukan?" suara Dio meninggi. Arvy melepaskannya lengannya dengan terpaksa.

"Baru pertama kali ini aku melihatmu marah."

Alfa membuang muka.

"Kau tidak bisa menghadapinya?"

"Aku sudah cukup memahaminya. Aku sudah cukup tahu penderitaannya. Jadi aku akan berpura pura, sekarang maupun seterusnya."

"Dio."

Alfa menatapnya.

"Kau benar benar kakak yang baik."

Alfa tercengang mendengar apa yang dikatakan Arvy.

"Kau sudah cukup menderita. Ibu kita berdua memiliki nasib yang sama, begitu juga adikmu yang tidak baik baik saja. Jadi sudah cukup. Sudah cukup kau melarikan diri, hadapi adikmu sebagaimana seharusnya. Kau kakaknya bukan?"

"Hentikan. Aku tidak akan mengatakan apapun lagi." Alfa melenggang pergi meninggal Arvy.

Arvy menghela napas menatap punggung keponakannya itu yang berjalan menjauh. Si Dio yang hangat dan penyabar itu akan selalu mengalah dalam kondisi apapun. Bahkan sekalipun itu adalah masalah keluarga. Selalu tampil percaya diri, dapat diandalkan, anak yang patuh dan kakak yang baik. Semuanya adalah kebohongan, Dio menyimpan semuanya bertahun tahun, agar semuanya membaik dan berjalan seimbang. Toh dia seharusnya mampu menjaga martabat keluarganya.

Alfa berada di kamar mandi, menguncinya dari dalam dengan berhati hati kalau kalau ada yang masuk. Ia mengeluarkan tablet obat dari saku jaketnya, membuka pil itu dan menuangkannya di atas telapak tangannya yang gemetaran. Sembari menatap pantulan dirinya di cermin. Dio membisu, mematung dan tak mengucapkan sepatah katapun. Berbeda dengan dirinya yang biasanya.

Ia mengingat lagi kata kata Amy tadi, bahwa adiknya itu tidak tahu bagaimana harus bersikap layaknya seorang adik kepada orang asing.

Nächstes Kapitel