Amy dan Alfa saling pandang lalu tersenyum seolah melempar opini yang sama.
"Kita harus mengambil kasus ini!"
"Kenapa? Apa kalian mencari masalah dengan orang penting?" Dio khawatir.
Alfa mengalihkan pembicaraan. "Apa Kak Dio mau susu?"
"Sekalian air putihnya," sahut Dio cepat.
Alfa berdiri melangkah menuju kulkas, mengambil susu dan air putih.
"Kak Dio, apa kau juga kadang menemui Om Ardana ketika senggang?" tanya Alfa sembari menaruh susu di atas meja. Ia kembali duduk.
"Tidak juga. Biasanya dia yang mengajak lebih dulu."
"Aku penasaran bagaimana rasanya bekerja jadi pegawai di perusahaan," celetuk Amy.
Dio menoleh.
"Kau benar-benar penasaran? Atau hanya mau melakukan sesuatu?" sinisnya.
"Kenapa melihatku seperti itu?"
"Kau mencurigakan. Apa kalian berdua membuat masalah?"
"Perusahaan mainan Samo… Kak Dio tahu?"
Alfa melirik Amy. Ia terkejut rekannya itu sudah mengetahui nama perusahaannya tanpa mereka mencari tahu. Alfa menahan senyumnya sembari membatin. "Anak indigo benar-benar bisa diandalkan."
"Aku tahu perusahaan itu. Akhir-akhir ini Om Ardana juga sering membicarakannya. Kenapa?"
"Aku mau cari tahu tentang perusahaan itu," kata Amy tanpa ragu-ragu.
"Ha?" Dio terkejut. "Jangan bilang kau…"
Alfa dan Amy saling melirik satu sama lain sekilas, mereka menelan ludah.
"...Kau mau bekerja di sana?!" tebak Dio
Amy dan Alfa menghela napas lega. Mereka khawatir rencana mereka ketahuan.
"Sepertinya Amy sunguh-sungguh, Kak, kali ini. Dia juga mencari tahunya di internet tentang perusahaan itu belakangan ini," kata Dio.
"Benarkah? Kau sungguh-sungguh?" Dio masih tidak percaya melihat adiknya yang pemalas itu kini semangat melakukan sesuatu. Ia berpikir sejenak. "Tapi kau baru 20 tahun, Dio juga baru 21 tahun. Kalian hanya akan jadi anak magang di sana. Selain itu kalian mungkin hanya akan masuk di pabrik atau maksimal di bagian peralatan atau gudang. Kalian kan lulus SMA."
"Ah iya, benar juga." Alfa menimpali.
"Tapi tidak apa-apa. Kalau kau minta ayah atau kakek mereka pasti…"
"Sssshh!" Amy sedikit kesal. "Bisa gawat kalau pakai nama ayah atau kakek."
"Kenapa? Ini bukan seperti kau mau dinilai sesuai kemampuanmu, kan?" Dio menyilangkan kedua tangannya di dada. Ia meremehkan adiknya. "Kalau aku sih, tanpa pakai nama ayah dan kakek akan baik-baik saja. Tapi kalian? Aku jadi khawatir."
"Apa katamu? Khawatir atau memang meremehkan kami. Ah sial!"
"Tenanglah, My." Alfa tak bisa menyangkal fakta itu.
"Kalau begitu bantu aku masuk ke sana, tidak apa jika hanya di gudang atau pabrik sekalipun," Amy bertekad.
"Lalu Alfa?"
"Aku saja, sendirian. Alfa tidak akan ikut."
"Apa?" Alfa naik darah. "Maksudmu kau tidak mau bersamaku? Apa aku tidak kompeten?!"
"Iya. Kau menyusahkan."
"HA?!"
Dio geleng-geleng kepala sembari memegang dahinya. Mereka pasti akan berakhir bertengkar lagi. Ia lalu berdiri sambil melihat jam di pergelangan tangannya.
"Ternyata sudah jam segini. Pastikan kalian membersihkan sampahnya."
"Sudah mau pergi?" tanya Alfa.
"Kalian putuskan saja siapa yang mau daftar ke sana. Hubungi aku, nanti kubantu. Tenang saja tidak akan aku bilang pada ayah dan kakek." Dio memakai coat-nya.
"Aku tidak bercanda. Aku mau masuk ke perusahaan itu." Amy berdiri dan bicara sungguh-sungguh.
"Aku juga tidak bercanda. Dan aku tidak peduli pada adikmu, aku akan masuk ke sana," Dio ikut-ikutan.
"Oi!" teriak Amy tak terima.
"Sudah-sudah jangan bertengkar. Aku akan membantu kalian berdua masuk ke sana."
"Dio!" teriak Amy. "Jangan mengajak Alfa! Cukup aku saja!"
"Wah, kau egois sekali. Memang cuma kau yang bisa mengalahkan….ah maksudku mencari pekerjan dengan benar?!"
Amy menaikkan salah satu bibirnya dan mengata-ngatainya dengan isyarat. "Keceplosan sedikit mati kau!"
"Aku akan mendaftarkan kalian berdua, karena aku sendiri tidak tahu detail kriteria penilaian pegawai di sana. Kalau mendaftar dua orang kita bisa tahu siapa yang layak diterima," Dio menjelaskan. "Baiklah kalau begitu, aku tidak punya banyak waktu lagi, aku harus segera kembali ke rumah sakit."
"Kembali? Jadi kau sudah di sana sejak semalam?" tanya Amy.
"Iya," Alfa tersenyum. "Aku jaga malam."
"Apa?! Lalu kenapa datang ke sini dan membelikan kami sarapan? Dasar gila! Kau akan pingsan saat bekerja!" Amy khawatir.
"Kau bahkan membersihkan kamar juga, Kak. Harusnya tadi kau tidur sebentar. Aku jadi merasa tidak enak," Alfa garuk-garuk kepala.
Dio memegang bahu mereka berdua. "Jika kalian merasa bersalah, bersihkan sampah ini. Siapkan segala hal untuk mendaftar ke perusahaan dan pelajari materi interview untuk calon pegawai, paham?"
Keduanya mengangguk.
"Kalau begitu, aku pergi ya."
Dio memakai sepatu di rak depan lalu melambaikan tangan. Ia membuka pintu dan keluar. Alfa dan Amy menjatuhkan diri di sofa dengan lunglai. Mereka menghela napas panjang.
"Aku benci jadi pegawai," kata Alfa.
"Harusnya kau tidak ikut, Bodoh!"
"Maksudmu kau akan mengambil peran batman sendirian? Tidak akan kubiarkan kau masuk ke sana dan bertingkah seperti hero. Aku adalah robin, kau puas!"
"Sepertinya kau punya banyak tenaga untuk bicara. Bersihkan sampahnya sekalian ya." Amy berdiri lalu melenggang menuju kamar mandi tanpa rasa bersalah.
Alfa protes.
"Woi! Jangan kabur! Kau membiarkan aku membersihkan ini sendirian? Dasar licik!"
Alfa berkacak pinggang, Amy sudah berada di dalam kamar mandi, terdengar suara air mengucur dari dalam. Alfa ngomel-ngomel. Namun akhirnya dia yang membersihkan meja dan membuang sampah keluar.
Beberapa hari kemudian, Alfa dan Amy tengah bersiap-siap mengenakan baju rapi. Alfa mengenakan kemeja dna jas warna cream cokelat, sedang Amy memakai setelan kemeja dan rok pendek selutut ala pegawai.
Dio berdiri dan mengamati penampilan keduanya. Ia melipatkan lengan, salah satu tangannya menyangga dagu.
"Bagaimana penampilan kami?" tanya Alfa.
"Aku tidak menyangka tubuh Alfa sebagus ini. Karena setiap hari melihatmu memakai kaus dan hoodie," Dio tertawa. "Aku lupa kalau kau sudah dewasa."
"Jangan mengatakan itu," Alfa menahan senyumnya. "Aku sudah besar tahu!"
"Cih, bilang saja kau senang." Amy meliriknya sinis.
Dio menatap adiknya yang cantik. Rambutnya diikat ke belakang dan menyisakan beberapa poni tipis di depan. Amy sadar Dio terus melihatnya.
"Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang salah?"
Dio menggeleng. "Cantik. Cocok sekali denganmu."
Mereka berdua melempar senyum.
"Harusnya kalian berdandan seperti ini setiap hari. Apa kalian akan melajang seumur hidup? Kecuali kalian jadi pasangan, toh tidak ada yang mau dengan pengangguran jorok seperti kalian, ha ha."
"Kau sendiri juga lajang." Alfa dan Amy mengatakanya bersamaa dengan ekspresi datar.
Dio yang awalnya tertawa berhenti tiba-tiba. Ia berdehem dan membenahi pakaiannya kikuk. Memang tidak ada yang punya pacar diantara mereka.
"Ya sudah ayo berangkat. Pastikan kalian tidak membuat kesalahan. Tidak apa-apa kalau tidak keterima, tapi jangan melakukan hal yang memalukan, paham?" nasihat Dio. Mereka bertiga berangkat dengan mobilnya.
Amy dan Alfa saling pandang seolah mengatakan hal yang sama.
"Kita harus masuk ke sana dan menangkap hantu yang mengganggu para pegawai lemah seperti om kemarin."
Keduanya mengangguk satu sama lain.
***
"Skakmat! Ini keberuntungan kita." Amy menjentikkan jarinya. "Bayangkan kalau kita ditempatkan di kantor, akan aneh kalau kita menyelinap ke gudang belakang."
"Ah iya! Tidak mungkin menyimpan peliharaan di bagian depan."
Amy menutup mulut Alfa secepat kilat. Alfa melotot, ia menyadari kalau terlalu keras.
Mereka berdua berdiri di depan sebuah tumpukkan kardus yang sangat tinggi seperti gunung.
"Kan cuma ada kita berdua di sini," Alfa menyingkirkan tangan Amy dari mulutnya.
Amy mengengeh.
Mereka berdua berada di gudang belakang, keduanya berhasil menjadi pegawai magang di perusahaan mainan itu.