webnovel

Serendipity

Arvy pada masa kuliah, sebelum Gita menghilang

"Toronto?"

"Iya, Ayahku bekerja di sana. Mungkin ibu juga akan mengajakku ke sana suatu saat nanti." Gita mengatakannya dengan tertawa, namun sedih.

"Baca bukumu," kata Arvy datar.

Gita tidak terkejut melihat reaksinya biasa saja.

Mereka berdua belajar di perpustakaan untuk menyiapkan ujian semester. Perpustakaan selalu penuh sejak senin pagi. Mereka berdua duduk di area paling sudut.

"Arvy," panggil Gita pelan. Wajahnya serius.

Arvy masih tidak menoleh dan membaca bukunya dengan khusyuk.

"Haruskah aku ikut ibu ke Toronto?"

Arvy meliriknya. Gita melihat bukunya namun pikirannya kemana-mana. Arvy tahu ia sedang tidak fokus.

"Kau mau pergi sekarang?"

"Eh? Sekarang?" Gita tersenyum mendengar leluconnya. "Tentu saja tidak. Lalu bagaimana dengan ujiannya?"

"Kalau begitu jangan dipikirkan kalau belum waktunya."

Gita menatapnya, Arvy masih fokus dengan bukunya.

"Baiklah." Gita mengangguk dan tersenyum simpul.

Ia melanjutkan kegiatannya membaca buku. Arvy menatap wajah Gita yang murung dari samping, diam-diam.

Sorenya, di trotoar yang disinari warna senja. Arvy berjalan santai menuju halte. Gita mengikuti Arvy yang berjalan pulang.

Arvy menyadarinya, namun membiarkannya. Ia duduk di halte sembari pura-pura tak menghiraukan Gita.

"Aku tahu kalau kau tahu," celetuk Gita tiba-tiba.

Arvy diam saja. Ia masih tak menoleh dan menatap lurus ke depan, sesekali melihat ke arah bis datang.

"Aku dengar kau punya sebuah bar. Kau benar-benar bekerja di sana? Aku tidak menyangka kau punya bisnis seperti itu, hehe." Gita mengengeh.

Arvy menoleh dan meliriknya sinis.

"Seperti itu bagaimana maksudmu?"

"Aku tidak berprasangka buruk kok. Aku dengar dari anak-anak yang lain. Aku cuma tidak menyangka kau punya bisnis bar."

"Kau mencari tahu tentang diriku dari orang lain?"

"Bu..bukan begitu." Gita merasa bersalah.

"Harusnya kau tanya langsung padaku. Bukankah kita sudah belajar bersama di perpustakaan dua kali?"

"Tapi kau…" Gita ragu. "Kau tidak suka orang lain penasaran denganmu. Kau juga terlihat tidak suka jika orang yang bukan siapa-siapa sok akrab denganmu. Maaf."

"Kau tahu? Kau itu aneh sekali. Kenapa kau minta maaf?"

"Apa kau punya kebribadian ganda? Kau sangat berbeda dari waktu ke waktu."

"Apa?"

Beberapa minggu yang lalu

"Bolehkah aku menciummu?" pinta Arvy pada Gita di taman. (cek bab 22)

Gita tiba-tiba berdiri. Ia gugup dan bingung harus bagaimana. Jantungnya berdegup kencang.

"Kenapa dia tiba-tiba begini, sih?" teriak batinnya.

Ia memegang tali tas selempang yang tergantung di depan dadanya. Ia sangat gugup tidak sadar kukunya ia gesek-gesekkan ke tali dan menimbulkan suara.

Arvy sadar gadis itu tengah gugup.

"Kau bilang tidak bisa berteman denganku?" tanya Gita. "Kenapa kau bersikap seperti ini?"

"Kalau begitu pergilah."

Gita menoleh kaget mendengar Arvy yang berubah lagi. Ia tak menyangka akan di usir. Ia menunduk dan bahunya turun lalu lari menjauh dari sana.

Arvy menatap Gita yang berlari.

Flashback end

"Jadi maksduku…bolehkah aku ikut denganmu?" tanya Gita.

"Kau sungguh ingin ikut denganku?"

Arvy berdehem keras..

"Apa artinya aku boleh ikut?"

Bus datang, Arvy tak menanggapinya dan langsung berdiri lalu naik. Diikuti Gita dari belakang.

Di dalam bus, sayangnya kursi sudah penuh. Hanya ada satu yang tersisa. Gita yang berdiri di belakang Arvy bersiap berdiri, namun Arvy memintanya duduk.

"Jangan tertidur. Aku tidak mau membangunkanmu," bisik Arvy.

Bar Arvy sebenarnya dekat dengan kampus, namun Arvy sengaja membawanya pergi jauh dari area kampus. Dan benar saja Gita ketiduran. Penumpang satunya telah turun. Arvy duduk di samping Gita. Kepala gadis itu jatuh di bahunya, Gita tertidur pulas. Rambutnya menutupi area wajah, Arvy menyingkapnya dan menatapnya lama.

"Kenapa gadis ini menyusahkan dirinya sendiri?" batinnya.

Beberap menit kemudian bus berhenti. Gita terbangun dan mendapati ia tidur di bahu Arvy. Ia mendadak gugup dan mengecek sekitar bibirnya kalau-kalau dia meneteskan sesuatu.

"Tenang saja. Aku sudah mengelapnya untukmu."

"Ha?!"

Arvy menoleh dan tersenyum tipis. Gita sadar ia dibohongi. Namun ia ikut tersenyum kemudian.

"Kita sudah sampai," kata Arvy.

Keduanya turun. Arvy turun lebih dulu, ia mengulurkan tangan membantu Gita. Gita makin tersipu. Setelah bus pergi, keduanya melewati jalanan setapak yang kanan kirinya rindang oleh pohon-pohon tinggi seperti cemara yang menjulang dan pohon lain.

"Apa kita akan naik bukit?" Gita melihat jam di tangannya, waktu sebentar lagi malam. "Apa yang akan kita lakukan di sini?"

Arvy tiba-tiba berhenti. Ia mendekat ke arah Gita.

"Kenapa? Kau takut?"

"K...kalau iya kenapa?" Gita melirik ke samping, tidak berani membalas tatapan Arvy.

"Kau yang bilang ingin ikut denganku, kan?"

"Kukira kau mengajakku ke bar-mu."

"Apa dia waras mengajak pria ke bar?" pikir Arvy.

Arvy mundur, lalu meneruskan langkahnya ke depan.

Mereka berdua sampai di sebuah perkemahan. Ada banyak tenda, lampu-lampu, api unggun, beberapa kursi kayu yang baru dipasang dan juga bendera-bendera.

Gita terkejut, ia tersenyum lebar melihat pemandangan itu.

"Ternyata Arvy juga ikut acara semacam ini, ya."

"Kita akan pulang besok."

"Eh?" Gita terkejut bukan main.

"Memangnya kau mau pulang jalan kaki? Tidak ada bus malam sampai sini."

"Harusnya kau bilang dulu akan pergi ke perkemahan. Apa kau tidak tahu kalau perempuan harus membawa banyak barang?" Gita cemberut. "Tidak mungkin kan aku bisa bertahan tanpa membawa apa-apa di sini."

Arvy menahan tawanya, Gita benar-benar imut sekarang.

"Kenapa khawatir sampai segitunya. Kita hanya semalam ini dan pulang besok."

"Tetap saja! Ah bagaimana ini?" Gita menunduk, mengecek rok yang ia kenakan.

"Kenapa aku pakai baju tipis dan rok pendek sih?" batinnya.

Arvy melihatnya manyun. Ia sadar baju Gita terlalu tipis. Pasti akan sangat dingin di malam hari.

"Ayo," ajak Arvy.

"Kemana?"

"Menemui pembimbing acara."

"Apa kau relawan?"

"Tidak. Ini hanya acara komunitas mahasiswa pramuka saja."

"Apa semuanya dari kampus kita?"

"Rata-rata iya, tapi ada beberapa tamu undangan dari luar."

"Berapa hari acaranya?"

Arvy menoleh. "Apa aku Google? Kenapa kau terus-terusan tanya?"

"Ok Google, dimana aku harus mandi sekarang?" Gita mengoloknya dan lagi-lagi cemberut.

Ia berhenti mengikuti Arvy lalu meninggalkannya sendirian. Dia berbaur dengan salah satu kelompok perempuan yang tengah berkumpul di dekat api unggun sembari membuat sesuatu.

"Apa yang kalian lakukan? Boleh aku bergabung?"

"Tentu saja boleh. Kami tengah membuat pasak kayu."

Gita melihat perempuan-perempuan itu sangat kuat. Mereka memegang pisau dan mengasah kayu hingga berbentuk seperti huruf J, lalu digunakan sebagai pasak tali untuk tenda.

"Kau mau mencoba?"

Gita mengangguk.

Mereka adalah anak-anak perempuan alam yang ramah. Meskipun Gita tidak pernah mengikuti acara semacam ini sebelumnya, namun dia senang mendapat pengalaman baru seperti ini. Mereka juga baik dan terbuka.

Arvy melihatnya dari jauh dan menyunggingkan senyuman tipis.

"Arvy!" panggil salah satu pembimbing.

Arvy mengahampirinya.

"Kau sudah sampai ternyata."

"Aku membawa satu teman. Apa tidak apa-apa?"

"Tentu saja."

Malamnya semua kelompok melakukan baris berbaris di tengah lapangan dekat api unggun. Para pembimbing berdiri di depan mereka dan memberikan instruksi bahwa akan menjelajahi hutan perkemahan malam ini. Hutan yang mereka gunakan adalah bumi perkemahan yang memang sudah dirancang khusus untuk acara pramuka, jadi aman. Sedang semua tamu undangan duduk tidak jauh dari tenda-tenda. Termasuk Arvy dan Gita.

Gita mengusap-ngusap kedua lengannya sembari menyiutkan tubuh. Arvy meliriknya. Ia membuka jaket dan kemejanya dan hanya menyisakan kaus pendek warna hitam.

Kemejanya ia selimutkan di kaki Gita, sedang jaketnya ia pakaikan di bahunya.

Gita tersenyum lalu memakai jaket itu.

"Terima kasih."

"Sudah tidak dingin lagi?"

Gita mengangguk.

Arvy tersenyum.

"Apa kita tidak ikut jelajah bersama mereka?" tanya Gita dengan polos.

Arvy tiba-tiba berteriak karena terkejut mendengar pertanyaan itu.

"Apa?! Itu berbahaya untumu!"

Nächstes Kapitel