Kau tidak ingat kau berubah jadi orang lain saat mabuk di bar ku saat itu?"
"Kau bilang waktu itu tidak terjadi apa-apa. Aku tanya padamu kemarin kan?"
"Kau bilang ingin membuka pelayan plus plus di sini."
Amy terkejut. Ia berusaha mengingatnya, namun tak ingat sepenuhnya. Ia hanya ingat mengatakan ingin tidur dengan Arvy.
"Astaga. Apa yang kukatakan?!" Amy menyesalinya.
Arvy yang dalam kondisi mabuk dan hampir hilang kesadaran, mendekat ke Amy, ia memojokkan tubuh kecilnya di sofa. Amy terduduk, Arvy menaikkan kakinya ke sofa dan menindihnya, namun Amy menekan dadanya dan menghentikannya.
"Sadarlah, Vy. Apa yang kau lakukan sekarang? Sadarlah!" teriaknya.
"Aku…muak dengan semuanya. Aku ingin lenyap dari dunia ini."
"Sebenarnya apa masalahmu? Katakan padaku aku akan membantumu."
"Kau? Membantu?" Arvy tersenyum sinis. "Kenapa kau tidak berubah menjadi gadis nakal seperti kemarin lagi?"
"Kau benar-benar keterlaluan! Jika kau seperti ini harusnya kau tidak usah minum saja! Tidak usah mabuk! Menyingkir dariku."
"Tidak. Aku tidak mau melakukannya. Katanya kau mau jadi pegawaiku."
"Ah lepaskan!"
Arvy mencengkeram bahu Amy, kakinya menindih tubuh bagian bawahnya. Ia mendorongnya hingga terbaring di sofa. Amy berkaca-kaca, Arvy berusaha menciumnya, namun Amy terus berontak. Amy mendorong dada Arvy dengan kedua telapak tangannya tapi nihil, Arvy terlalu kuat. Hingga Amy mengangkat tangannya dan menamparnya.
Plaak
Arvy mendadak berhenti. Ia melihat ke bawah dan menyaksikan keponakannya itu menangis, dengan baju di bagian bahunya tersingkap sedikit dan rok bawahnya juga agak tersingkap. Arvy turun dari sofa sembari memegang kepalanya yang pening. Ia hampir jatuh, Amy yang masih berusaha peduli, mendekat dan memegang lengannya, mencegahnya jatuh ke lantai yang penuh pecahan kaca. Arvy menoleh, mereka berdua bertatapan.
"Amy…kenapa kau…di sini?"
Sesaat setelah mengatakan itu Arvy pingsan. Beberapa pegawai laki-laki tiba-tiba measuk dan melihat Amy yang memapah bos mereka dengan kesusahan. Mereka mengambil alih Arvy.
"Kami tadi mendengar ada benda jatuh di lantai atas. Apa anda dan Bos baik-baik saja?" tanya pegawai perempuan.
"I..iya. Kami baik-baik saja."
Namun pegawai perempuan itu sadar ada yang tidak beres. Melihat baju dan rambut Amy yang berantakan, tangannya juga gemetaran.
"Ada gelas yang jatuh di lantai tadi. Bisakah kau membersihkannya?"
"Tapi..." pegawai itu mengalihan pandangannya.
"Ada apa?"
"Bos tidak memperbolehkan pegawai masuk di sana."
***
"Amy!" panggil Alfa.
Ia membawa dua minuman ke taman terbuka dekat apartemen. Ia memberikan satu minuman untuk Amy lalu duduk di sampingnya.
"Ooow kau sudah tidak lupa lagi memanggil namaku?" Amy tertawa kecil
"Jangan mengolokku."
"Jalan-jalan pagi dekat sini tidak buruk juga."
Nampak hari masih pagi, beberapa orang lalu lalang berolahraga, jogging, anak-anak asyik lompat tali, lansia yang jalan santai. Termasuk Amy dan Alfa yang menikmati kopi pagi hari.
"Malam ini kita sibuk, bersiaplah," kata Alfa.
"Ah jangan mengingatkanku."
"Beberapa client marah karena penanganan yang lama. Kau mau kita kehilangan pekerjaan?"
"Woy asisten! Lihat siapa yang marah sekarang?"
"Itu dia! Karena aku asisten makanya aku yang berhak mengatur jadwalmu. Argggh bikin frustasi saja. Aku sudah terlanjur menetapkan waktu dengan mereka."
"Ini karena kau tidak berkonsultasi dulu denganku, sialan! Bagaimana bisa kau seenak pantat memutuskannya tanpa melihat jadwalku!"
"Tunggu, tunggu. Sebenarnya kesibukanmu selama ini apa? Aku tidak bercanda, aku bertanya karena benar-benar penasaran." Alfa mengoloknya lagi.
Amy membuat gerakan seolah-olah akan menjitak kepala Alfa, tapi tidak jadi. Ia mendecih.
"Kau bisa lebih dulu bilang padaku kalau mau pergi, kan? Tapi saat kutanya seperti kemarin kau tidak bilang apa-apa, malah sengaja menyogokku dengan chicken. Ah sial kau pasti memakan semua king chicken itu sendirian. Kenapa aku tertidur kemarin?" Alfa menjitak kepalanya sendiri.
Amy bahkan lupa kalau ia menjanjikan big chicken pada Alfa, karena skenario yang terjadi bukanlah seperti yang ia rencanakan. Mendadak tangan Amy gemetaran, ia ingat kejadian saat Arvy mabuk kemarin. Disembunyikan tangan kirinya itu dari Alfa.
Alfa melihat gesture-nya.
"Oh ya, tangan kirimu kenapa?"
"Eh?"
"Plester di telapak tanganmu itu kentara tahu, besar sekali. Apa lukanya lebar?"
"Apa?!"
"Kaget aku. Kenapa kau teriak begitu? Aku kan tanya baik-baik."
Amy menghela napas dan menenangkan dirinya sendiri. Berusaha tidak terbawa emosi sesaat, toh tidak ada yang tahu selain dirinya. Arvy juga sepertinya lupa kemarin saat sadar. Ia pikir akan menguburnya, dia tidak boleh goyah karena kenangan buruk seperti itu. Arvy adalah saudaranya, ia yakin dia tidak berniat melakukannya. Amy berusaha berpikir positif.
Pagi ini ia juga mendadak mendapat ingatan tentang saat dirinya mabuk minggu lalu di bar Arvy. Ternyata memang dirinya dikuasai fyber lain saat itu.
"Aku jadi seperti orang yang berkepribadian banyak." Amy menghela napas berat.
"Kau aneh sekali hari ini."
"Tidak kok."
"Pokonya kau harus mengganti king chicken yang kau habiskan sendiri kemarin. Sekalian sama sandwich, pokonya tidak boleh menolak."
Amy memicingkan mata, ia mengumpatinya dalam hati.
"Malam ini juga jangan lupa."
"Sepertinya persediaan botol mantra kita habis."
"Apa?! Kenapa kau baru bilang sekarang?! kau benar-benar mau membuatku frustasi ya?! Ah sialan. Kalau begitu aku akan mencarinya." Alfa berdiri dengan panik.
"Mau mencarinya sekarang?"
"Tentu saja! Kapan lagi? Waktunya malam ini. Kau juga bersiaplah menyiapkan fisik yang kuat. Terakhir kali sepertinya kau kurang olahraga," oloknya.
"Apa!! Sialan kau asisten tak guna!"
Alfa berlari meninggalkanya. Amy mengejarnya dengan mulut penuh umpatan.
***
"Di ruangan lantai atas masih kotor, Bos," kata pramusaji di bar Arvy.
"Benarkah?" Arvy nampak berusaha mengingat sesuatu. "Aku memang minum di sana kemarin, tapi…aku tidak ingat mengotorinya."
"Anu…begini…"
"Kenapa kau ragu begitu. Apa aku melakukan sesuatu?"
"Sepertinya kemarin ada gelas yang pecah. Kami mendengar bunyi prang yang keras, beberapa pelanggan di bawah juga mendengarnya."
"Kalau begitu biar aku yang bersihkan."
"Bos, kemarin juga ada gadis yang datang ke sana."
"Ke lantai atas?"
"Iya."
"Tidak mungkin. Aku kan tidak membiarkan siapapun masuk ke sana. Gadis yang mana?"
"Yang sebelumnya pernah mabuk di sini."
"Kau ini bagaimana sih? Ini bar bukan restoran, tentu saja ada banyak gadis yang mabuk."
"T…tapi…"
"Sudah sana, kembalilah bekerja."
Pramusaji itu mengangguk lalu pergi. Arvy naik ke lantai atas. Sesampainya di sana ia melihat lantai dekat meja dan sofa penuh dengan pecahan kaca kecil-kecil, seolah gelas kaca yang dibanting sangatlah keras.
"Kenapa pecahannya kecil-kecil sekali, sih."
Ia berjongkok dan memungut pecahan kaca yang masih bisa diambil, nanti sisanya bisa di sapu. Namun betapa terkejutnya dirinya ketika melihat ada beberapa tetes darah yang telah mengering. Mendadak kepala Arvy pening dan dipenuhi bunyi nguing.
"Apa ini? Sebenarnya apa yang terjadi kemarin?"
Arvy memunguti pecahan kaca lagi, mungkin ia bisa mendapatkan ingatannnya. Ia tidak percaya begitu melihat kilatan memori dimana ia menghempas tubuh kecil keponakannya sendiri, Amy, hingga jatuh ke lantai dan membuatnya terluka karena pecahan kaca.
"Astaga!" teriaknya terkejut. Lalu melihat kembali tetesan darah di lantai. "Apa yang telah aku lakukan, Ya Tuhan?!"