webnovel

Ayah

"Duarrr!"

Terdenger suara gemuruh tembakan di langit.

Itu adalah Holan.

Ia berlari mengejar seorang kriminal yang mengenakan pakaian hitam, topi dan sepatu hitam. Ia berlari di gang sempir di pasar. Ketika kriminal tersebut melewati belokan tajam, Holan sengaja melempar tong sampah di dekatnya ke arah penjahat itu.

Braak

Penjahat itu terjatuh. Ia berdiri dan hendak berlari lagi. Namun Holan berhasil menangkapnya dari belakang lalu memborgol tangannya dengan tangan penjahat itu. Beberapa rekan dan petugas polisi lainnya berlari menghampirinya. Mereka membawa penjahat itu ke mobil patroli. Sedang Holan berjongkok sembari memegang perut sebelah kanannya yang nyeri sembari meringis menahan sakit. Perutnya mengeluarkan darah, tanpa ia sadari, dirinya tertusuk. Penjahat itu rupanya sebelum di borgol telah menusukkan pisau kecil ke perut Holan.

"Letnan, anda baik-baik saja?" tanya salah satu polisi. Ia melihat darah yang menetes di tanah.

"Letnaaaan!"

Holan terjatuh sembari menekan perutnya, sebelum akhirnya pingsan.

***

"Ayaaaah!" teriak Amy begitu sampai di depan ruang operasi. Ia berdiri di depan pintu yang tertutup. Nafasnya tersengal, dirinya sangat panik hingga tidak sadar mengenakan sandal rumah yang berbeda warna.

Amy menangis sesenggukan, sedang Dio berlari di belakangnya. Matanya berkaca-kaca, ia melihat Amy yang duduk berjongkok sembari tersedu-sedu. Ia berlari dan memeluk adiknya.

"Tenang saja, ayah pasti baik-baik saja." suara Dio bergetar. Ia menitikkan air matanya seraya memejamkan mata. Dipeluknya Amy dengan erat. Adiknya itu menangis sejadi-jadinya sembari memanggil-manggil ayah.

Beberapa jam kemudian keduanya duduk di ruang tunggu, Amy sudah agak tenang, namun matanya sembab.

"Jangan menangis lagi. Ayah pasti baik-baik saja," kata Dio.

"Kenapa operasinya lama sekali?"

Amy mulai menangis lagi. Dio meraih bahunya yang naik turun dan memeluknya. "Ayah pernah melewati yang lebih buruk daripada ini. Ia pasti bisa bertahan. Pasti." Dio juga menahan tangisnya, namun ia tak bisa menumpahkannya karena itu akan membuat Amy makin tak tenang.

"Kakak…ayah bagaimana…" tangis Amy pecah di koridor yang sepi.

Dio sendiri juga bingung harus bagaimana.

Dari ujung koridor, Dr. Yohan berlari terbirit-birit. Air mukanya tertekuk, ia khawatir. Direktur juga menyusul tak lama kemudian.

"Amy, Dio!" Direktur yang sudah tua renta dengan tongkatnya, ia menghampiri dua cucunya yang duduk dengan tangisan pecah. Ia memeluknya.

"Tenanglah, cucuku…" Direktur menahan airmatanya.

"Direktur…" Dr. Yohan tidak tega melihatnya. Ia melihat keluarga yang terlihat tidak mempedulikan satu sama lain, namun ternyata saling menyayangi.

Tak ada sepatah katapun yang terdengar kecuali tangis isak di sana. Amy masih mengenakan seragam sekolah.

Di ruang interogasi, kantor polisi. Interogasi penjahat yang menusuk Holan.

"Nama?" tanya polisi.

Penjahat itu membuang muka. Tangannya di borgol namun ia tetap diam tak mengucapkan sepatah katapun.

"Alamat?"

….

"Usia?"

…..

"Serius kau akan seperti ini? Padahal sudah tertangkap?"

…..

"Dengar ya. Kau menutup mulut ataupun tidak, tak akan ada yang berubah. Mengerti?"

"Aku tidak akan mengatakan apapun, kecuali kau panggil Holan Satria," matanya menatap tajam polisi yang bertugas hingga membuat polisi itu marah.

"Si…siapa katamu? Beraninya kau memanggil letnan begitu?"

Penjahat itu menyandarkan bahunya di kursi dan kembali memasang muka datar.

"Kau yang membuat Letnan tak sadarkan diri, Br*ngsek! Berani-beraninya kau…" polisi itu berdiri dan meraih kerah penjahat.

Beberapa polisi yang berada di luar, masuk dan mencegah polisi itu terbawa emosi dan mengacau. Ketua tim investigasi memarahinya dan menariknya keluar.

"Biar aku saja yang menanganinya."

Ketua tim masuk dan duduk berhadapan dengannya.

"Ah sial! Berani sekali polisi rendahan itu menyentuhku. Aishhh," penjahat itu sebal.

Ketua menatapnya dengan tatapan aneh. Ia memasang ekpresi biasa yang tidak bisa ditebak.

"Kenapa kau menusuknya?" tanya ketua.

Penjahat itu diam.

"Aku ulangi sekali lagi. Kenapa kau menusuknya?"

Lagi-lagi diam menjadi jawaban.

"Kalau begitu kuubah pertanyaanku. Kenapa Holan sangat terobsesi terhadap kasus pembunuhan berantai yang kau lakukan?"

"Apa? Aku? Kau menuduhku tanpa membawa bukti? Apa kau polisi?"

"Empat. Empat kali kau mengajukan pertanyaan sedang kau belum menjawab satupun pertanyaan yang kami ajukan. Kau…" ketua maju mendekatkan wajahnya. "Takut ketahuan, kan?" ia tersenyum mencibir.

"Kau pikir aku akan terpancing?"

"Tidak. Aku tidak cukup pintar seperti Holan yang selalu berhasil menginterogasi kriminal rendahan sepertimu. Tapi kau sepertinya perlu tahu. Sebenarnya aku…"

Kriminal itu yang awalnya membuang muka sekarang perlahan menoleh dan menatap Ketua. Sepertinya ia mulai tertarik.

"Sebenarnya aku… tahu kau hanyalah kaki tangan."

Degh.

Penjahat itu perlahan mengubah gesture-nya. Ketua tersenyum, ia menyergapnya dengan dugaan yang awalnya ia ragukan. Menyerang psikisnya dan berpura-pura mendapatkan apa yang ia sembunyikan.

"Seseorang yang menyuruhmu bukanlah individu, melainkan sebuah…sekte?"

Brak!

Penjahat itu berdiri sembari menggebrak meja. Bibirnya gemetaran dan tangannya mengepal memanas.

"Tidak! Kau salah! Aku melakukannya sendiri!"

"Ha? Kau kira polisi sebodoh itu?" Ketua tersenyum sengit. "Berhentilah menjadi penjahat sok keren, dasar otak udang."

"Tidak! Aku sendirian! Aku yang membunuh semua wanita itu sendirian! Akulah pembunuhnya kau puas!"

"Ha ha ha." tawa ketua terdengar menggelegar di ruangan tertutup tersebut.

Para polisi yang berharga di depan terkejut dengan cara jitu ketua. Sedang penjahat itu gelagapan. Ia masih tidak sadar masuk umpan.

"Lalu jelaskan, senjata apa yang kau gunakan untuk membunuh wanita yang pertama?"

Penjahat itu melirik kanan dan kiri. Ia nampak berpikir atau lebih tepatnya mengarang.

"Itu…ah pisau, ya pisau."

"Pisau? Jadi begitu ya. Kenapa kau menusuk perutnya?"

"Tidak ada alasan. Aku cuma ingin melakukannya."

Tawa ketua semakin pecah di ruangan. Ruang interogasi makin mencekam. Setidaknya begitulah menurut para polisi. Dan benar saja, penjahat itu makin berkeringat, pelipisnya basah hingga meneteskan keringat.

"Kau percaya apa yang kukatakan? Ah benar-benar, bagaimana bisa orang bebal seperti Holan dilukai orang bodoh sepertimu? Hatiku sangat sakit. Setelah dia bangun aku akan membulinya habis-habisan."

"Berhenti! Berhenti tertawa! Holan Satria akan mati!" Penjahat itu berdiri.

"Sudahlah. Duduklah, duduk santai saja. Tadi aku cuma kelewatan tertawa, karena kau sangat lucu sekali. Masa kau percaya kalau wanita pertama meninggal karena luka tusuk pisau. Jangan main-main!" Ketua berdiri dan mendekat. Ia mencengkeram pipi penjahat itu hingga kukunya meninggalkan bekas di sana. "Pembunuhan wanita pertama bukan soal luka tusuk. Ia meninggal tanpa meninggalkan kulit dan daging, melainkan tengkoraknya."

"A…apa?" penjahat itu matanya melebar, shock.

"Kau tidak tahu tentang ini kan? Aku tahu…kau salah satu umat dari sekte sialan itu, Br*ngsek!"

***

Pip pip pip

Terdengar suara dari monitor yang menunjukkan kondisi Holan yang stabil. Ia sudah dipindahkan dari ruang ICU.

Amy memegang tangan ayahnya.

Dio berdiri di sampingnya dengan menunduk.

"Maafkan aku. Aku janji akan belajar dengan rajin. Cepatlah sadar, Ayah."

Amy ingat ayah pernah memarahinya saat di kelulusan Dio kemarin, bahwa ia ingin putrinya belajar rajin seperti kakaknya, namun ia malah membantah.

"Ayah…"

Nächstes Kapitel