"Amanda…." Alfa menangis melihat sosok gadis yang ia rindukan tengah bergelayutan manja di lengannya.
Ia teringat dengan pertemuan pertamanya setelah sekian tahun di kereta kemarin. Sayangnya Amanda tergesa pergi dari sana saat melihatnya. Alfa mengira Amanda telah melupakannya.
"Aku akan melakukan apapun untuk mendapatkanmu…Amanda."
Alfa menyentuh ke arah samping, awalnya bayangan Amanda hanya ada di pantulan cermin. Saat ia menolah, Amanda tengah berdiri di sana. Ia bukan bayangan lagi, ia nyata. Alfa terpengaruh mantra ingatan. Sebuah tanda segitiga merah terlihat jelas di punggung telapak tangan kirinya.
"Amanda, aku sangat merindukanmu." Alfa menjatuhkan ponselnya.
"Remaja memang suka membayangkan sesuatu yang tidak ada. Setidaknya ini lebih ampuh daripada boneka mainan impor. Haha." pria di seberang telepon mengakhiri panggilannya.
Alfa menggandeng Amanda. Mengajaknya duduk di tepi ranjang. Ia mengelus wajah cantik itu dan mendekatkan bibirnya ke bibir merah delima itu..
***
"Apakah anda yang bernama Arvy?" tanya seorang suster pada pria yang memakai jeans dan jaket hitam.
Pria bernama Arvy itu mengangguk sopan dan ramah.
"Kudengar ada pria tampan yang berkunjung ke sini tiap sabtu." perawat itu tersipu malu. "Ternyata kau."
"Aku tidak tampan kok," Arvy tersenyum manis. "Aku mengunjungi ibuku. Beliau sudah lama dirawat di sini."
"Kau memang anak yang berbakti. Kuharap ibumu cepat siuman, sudah lama ia tertidur. Kuharap ia melihat anaknya yang sekarang tumbuh dewasa."
"Terima kasih, Kak."
"Eh barusan kau panggil aku kakak?"
"Kenapa? Apa tidak boleh?"
Perawat itu memukul lengan Arvy pelan. Ia makin tersipu. Arvy melihat aura perawat muda itu berwarna merah muda, lalu tersenyum sekilas.
"Tentu saja. Panggilah aku sesukamu. Kalau begitu aku bekerja dulu ya. Bye bye Arvy." Perawat itu berbunga-bunga.
Setelah perawat berjalan menjauh, Arvy mengembalikan ekspresinya menjadi datar dan dingin. Ia memang suka bertingkah manja pada wanita. Julukannya adalah pria muda berkarisma.
Ponsel di sakunya berdering. Ia mengangkatnya sembari melangkah keluar gedung menuju parkiran.
"Bar mu kosong," terdengar suara Ardana dari seberang.
"Perusahaan bagaimana?"
"Kenapa?"
"Tidak."
"Tertarik?"
"Mana mungkin."
"Dimana kau?"
"Rumah sakit."
Hening. Ardana tidak kaget lagi, mereka berdua sebenarnya tidak terlalu dekat satu sama lain sejak istrinya koma. Percakapan mereka pun singkat, tidak banyak berbicara satu sama lain. Meski begitu Ardana paham Arvy kadang kesepian.
"Ada beberapa hal yang harus kita selesaikan."
"Kau minum saja anggur di lemari atas. Aku mau kembali ke kampus."
"Kalau begitu kututup teleponnya."
"Tunggu…"
Hening, lagi-lagi.
"Jangan mampir ke apartemenku. Aku tidak mau menggendong tubuhmu yang mabuk seperti kemarin."
"Aishhh dasar anak ini. Ya ya aku tidak akan melakukannya!" Ardana mengakhiri panggilannya dengan dongkol.
Arvy menyimpan kembali ponselnya. Ia menghidupkan mobil dan melaju menuju kampus. Sesampainya di sana, ia mengambil sesuatu di loker. Seseorang gadis manis yang tidak terlalu tinggi menghampirinya.
"Arvy," panggilnya pelan.
Arvy menutup pintu loker dan mendapati gadis itu dibalik sana.
"Gita?"
"Kau ikut pertemuan senior sore ini?" tanyanya riang.
Ia nampak positif thinking temannya itu akan semangat mengikutinya, sama sepertinya.
"Ada acara semacam itu?"
"Tentu saja ada! Kau ini bagaimana sih? Kita kan mahasiswa baru."
Arvy melihat aura Gita berwarna putih sebening susu. Gadis itu sangat berenergi, fisik maupun psikis. Ia melenggang pergi melewatinya dan berjalan lurus melewati koridor. Gita mengikutinya.
"Arvy, ayolah." Gita memegang lengannya.
Arvy menghentikan langkahnya, ia menoleh. Diperhatikannya jepit rambut koala biru bertuliskan koya di rambut gadis itu. Juga sepatu warna ungu muda yang nampak kinclong.
"Sepertinya kau sudah siap-siap ikut acara membosankan itu."
Gita mendadak cemberut. Ia melepaskan lengan Arvy. Pria dingin itu memang selalu seperti itu. Gita sendiri tahu kalau ia tidak akan diperhatikan oleh Arvy.
"Ya, baiklah. Itu memang acara formalitas, sih. Kalau begitu aku juga tidak ikut, lagipula acaranya memang membosankan kok, hehe." Gita mengengeh.
"Baguslah. Gunakan waktumu untuk ujian minggu depan. Bukankah kau masih ada tugas penelitian?"
"Oh bagaimana kau tahu? Iya deh, kau betul juga." Gita menggaruk rambut kepalanya yang tak gatal, hingga jepit rambut birunya tanpa sadar terjatuh.
Arvy menyadari ia kecewa.
"Pulanglah, sudah sore. Aku juga akan pulang."
"Kau duluan saja, Vy. Aku masih ada kegiatan klub. Bye bye." Gita tersenyum lebar dan berlari meninggalkan Arvy.
Arvy melihat punggung Gita yang kecil menjauh darinya. Ia melihat warna putih itu perlahan menjadi sedikit abu-abu, namun sesaat kembali lagi. Diambilnya jepit rambut yang jatuh di lantai, lalu ia masukkan ke dalam sakunya.
"Dasar ceroboh," pikirnya.
Sedang Ardana tengah menikmati sebotol wine eksklusif di meja bar. Ia duduk di kursi tanpa lengan sembari mengangkat gelas berisi anggur. Wajahnya memerah, ia hampir tak sadarkan diri namun matanya ia paksa untuk terbuka lebar.
"Putraku Arvy sudah dewasa. Dia pura-pura dingin dan kaku pada orang-orang di dekatnya, tapi ramah pada orang yang tak dikenalnya. Dia putraku, sangat mirip denganku. Aku membesarkan dengan baik kan? Ah sial, dia benci padaku." Ardana mengecoh tak jelas sendirian. Kepalanya berputar-putar.
"Adikku Nadia terkapar di rumah sakit, istriku, kau juga sama, sekarang anak kita hidup seperti robot. Dan direktur sialan itu tak melihatku sebagai anaknya, dia lebih menyayangi si Holan br*ngsek daripada aku, anaknya sendiri. Ha ha ha. Bukankah ini sempurna? Aku adalah pria tua buangan di cerita ini. Yap sempurna."
Sesaat setelah mengecoh ini itu, ia jatuh tertidur. Kepalanya ia benturkan berkali-kali di meja, lalu rebahan di atasnya. Beberapa jam kemudian, Ardana berjalan sempoyongan menuju sebuah kamar apartemen di lantai 6. Sembari bersenandung tak jelas, ia berdiri di depan pintu dan memasukkan sandi keamanan di monitor.
"Haaishhh sialan! Kenapa zaman sekarang pintu saja dikunci kata sandi seperti ponsel sih? Kenapa teknologi begitu menyebalkan, aaargghh aishhh, sial!"
Sepasang kekasih yang melewati koridor itu melihat Ardana dengan aneh.
"Oh aku kan kemarin sudah ke sini pasti sandinya ulang tahunnya."
Namun ternyata sandinya sudah diganti. Ardana kembali berteriak marah-marah. Sedang kondisinya sudah hampir pingsan. Ia benar-benar mabuk berat.
"Jangan bilang kalau sandinya adalah hari itu." Ardana coba memasukkan enam digit angka yang berbeda dari yang sebelumnya.
Bip!
Barulah pintu terbuka. Kombinasi angka itu adalah hari dimana pertama kali ibunya dirawat.
"Dasar anak robot itu. Bisa-bisanya menggunakan hari menyedihkan itu sebagai password."
Ardana masuk dan menjatuhkan diri di sofa depan televisi.
Arvy menaiki tangga sampai di kamar apartemenya, ia agak malas naik lift. Setidaknya ia butuh mengeluarkan keringat di hari yang cukup dingin ini, setidaknya begitu untuk fisiknya yang jarang berkeringat. Sesampainya di depan pintu kamar apartemennya, ia menyadari sesuatu dan menduga ayahnya menyelinap masuk ke dalam. Dihelanya napas panjang nan berat, kemudian masuk ke dalam.
"Berapa kali kubilang pulanglah ke rumahmu sendiri!"
Arvy menggoyang-goyangkan pantat ayahnya yang asyik molor di sofa.
"Ayah, ayah bangun. Pulang sana jangan tidur di apartemenku!" sayangnya ayahnya itu sudah jadi batu, berat dan tak bisa dipindahkan. Arvy akhirnya menyerah, ia masuk ke kamar tidur dan mandi.
Ia membuka jaketnya dan ada yang menjanggal di sakunya. Itu adalah jepit rambut biru milik Gita. Ditaruhnya di dekat minuman.
Arvy menenggelamkan diri di bathup. Sembari berendam dengan air hangat, ia meminum segelas wine yang disajikan di samping bath up. Kamar apartemennya begitu luas, direktur memberinya banyak uang, ayahnya pun begitu, dirinya juga menghasilkan banyak uang. Dirinya benar-benar hidup sangat baik bak di dunia komik. Uang adalah kepemilikannya yang permanen, tak khayal banyak yang mendekatinya karena kekayaannya. Namun Arvy menyimpan rahasia yang lebih besar dari itu.
Diteguknya segelas wine dengan sekali tenggak. Rambutnya yang basah ia seka. Wajahnya datar dan dingin. Dia benar-benar definisi dari pria robot tak berekspresi. Sayangnya jepit rambut biru itu memecah kesenangannya. Diambilnya dan ia perhatikan dengan seksama.
"Gadis suci itu…auranya….sangat menyebalkan."
Arvy meletakkan jepit rambut itu disamping gelasnya, lalu kembali bersandar dengan santai, dua lengannya ia tumpukan di bibir bathup. Sejenak ia memejamkan mata, namun baru beberapa detik, ia membuka matanya kembali dengan tergesa. Jepit rambut itu mengeluarkan kabut hitam legam, sekitarnya dikelilingi aura jahat.
"Tidak mungkin!" batin Arvy. "Manusia fyber?!"
Arvy hendak mengambilnya namun tiba-tiba ia mendengar jeritan yang melengking ditelinganya, hingga jepit rambutnya jatuh. Itu adalah suara Gita yang memanggilnya.
"Tolong aku!"