Di rumah sakit milik keluarga besar Satria (direktur Rossan).
Amy datang ke resepsionis dan meminta ijin menjenguk ibunya. Namun sejenak ia lupa bahwa rumah sakit ini adalah milik direktur, ayah Bu Nadia sendiri. Kamarnya berada di ruang VVIP lantai 7. Ia sudah terlanjur bertanya ke suster.
"Nona Muda!" seru salah satu suster. Dokter yang kebetulan lewat bersama rombongannya bersikap hormat dan menyapanya ramah.
"Nona muda Satria, apa ada yang perlu kami bantu?"
"Apa Nona Muda sakit?"
"Bagaimana keadaan Nona Muda akhir-akhir ini?"
Amy dilempari pertanyaan-pertanyaan formalitas oleh dokter-dokter itu.
"Sssssttt. Dia pasti ingin menjenguk ibunya. Dia kan cucu direktur,' bisik seorang dokter satu pada yang lainnya.
Amy agak muak dengan ekspresi mereka yang palsu. Tubuh mereka mengeluarkan warna aura yang membuatnya tidak nyaman. Namun demi wajah direktur dan mayor, ia harus menjaga kewibawaanya. Amy masih mengenakan gaun, untunglah ia tidak datang dengan keadaan memalukan.
"Aku ingin menjenguk ibu," kata Amy dengan ramah dan sedikit pencitraan diri bahwa ia anak yang berbakti. "Aku baru saja pulang dari rumah kakek. Tiba-tiba aku rindu dengan ibu, jadi aku ingin menjenguknya."
Amy tengah bermain peran. Meski begitu ia benar-benar ingin melihat Bu Nadia. Beberapa suster berusaha mengantarnya namun Amy menolaknya halus, beberapa dokter yang kebetulan di sana bahkan ada yang memaksanya, hingga Amy harus menolaknya dengan tegas. Ia ingin mengujungi ibunya sendiri. Dirinya pun tahu orang-orang itu sedang cari muka karena ia adalah cucu pemilik rumah sakit.
"Dasar orang-orang menyedihkan," batinnya.
Ia berjalan lurus dan sampai di belokan kanan, ada sebuah lift di ujung lorong. Amy menuunggu hingga lift terbuka. Diliriknya tanda monitor kecil yang menunjukkan nomor lantai. Nampaknya ada seseorang yang juga datang ke lantai 7. Seorang pria berpakaian serba hitam, memakai topi dan kacamata hitam keluar dari lift. Melewati Amy begitu saja.
Zraashhh
Seolah petir di siang bolong yang menyambar pikran Amy begitu saja. Ia merasakan aura kuat dan aneh dari diri orang asing itu. Ia menoleh dan melihat pria itu telah berjalan jauh. Tanpa berpikir dua kali, dikejarnya orang mencurigakan itu sebelum keluar dari rumah sakit. Amy berlari namun mendadak muncul gerombolan dokter dan suster yang menghalangi pandangannya. Tubuhnya yang kecil pun tak bisa melewatinya. Ia tertahan di sana. Setelah beberapa saat, gerombolan itu pergi, barulah Amy kembali mengejarnya, namun jejaknya sudah hilang. Ia bahkan keluar dari gedung rumah sakit dan menoleh ke kanan dan kiri, tapi tak melihat siapapun dengan setelan hitam yang sama dengan orang tadi.
"Sialan!" umpatnya dalam hati. Ia melihat telapak tangannya yang tiba-tiba mengeluarkan abu berwarna hitam aneh. "Kenapa aku tidak bisa melihat auranya? Aku bahkan tidak menyentuhnya, tapi telapak tanganku terasa terbakar seolah dimantrai," batinnya.
Amy menahan sakit di telapak tangan kirinya yang masih berasap. Tanda semacam itu adalah tanda seseorang yang tengah memantrainya atau sengaja memunculkan aura dari tubuh indigo Amy. Tanda itu seolah permulaan bahwa seseorang tengah mengancamnya atau ingin melukainya secara terang-terangan melalui mantra khusus. Tentunya, orang yang bisa melakukannya tanpa ritual adalah orang berkekuatan supranatural tinggi. Amy berlarian kembali ke rumah sakit untuk memastikan bahwa Bu Nadia baik-baik saja.
"Bu Nadia…aku harus memeriksa Bu Nadia," paniknya. Hingga seorang suster menghentikannya saat melewati ruang obat.
"Nona Muda, kenapa tanganmu berdarah? Berhenti sebentar, biar saya obati." Suster itu segera mengambil obat antiseptik dan perban.
"Apa? Siapa yang berdarah?" Amy bahkan tak menyadarinya.
Suster itu meminta waktu Amy sebentar. Ia mengobati telapak tangannya dan membalutnya dengan kasa. Telapak tangannya yang tadi mengeluarkan asap kini mengeluarkan darah segar seolah disayat dengan pisau.
Sesampainya di ruangan, ia masuk dan memeriksa seluruh peralatan medis di sana. Termasuk selang pernapasan, monitor, transfusi cairan bahkan dengan teliti mencari di sudut-sudut sempit kalau-kalau ada yang mengawasinya lewat cctv ilegal.
Amy menghela napas saat memastikan Bu Nadia tidak apa-apa. Ia duduk di sampingnya dan menatap wanita yang sekarang dipanggilnya ibu itu dengan nanar. Bahkan saat memejamkan mata pun Bu Nadia tetap teduh dan cantik. Seolah semua kekhawatiran dan kegundahan di hati Amy hilang. Matanya mulai berkaca-kaca, sembari memegang tangan Bu Nadia, Amy menunduk dan menangis. Ia hanyalah seorang anak perempuan 14 tahun yang menyadari segalanya, lebih dari orang dewasa ketahui. Ia tidak tahu, apakah masih pantas untuk berkata lelah apa tidak.
"Ibu…aku ingin memelukmu lagi," Amy mengusap air matanya "Aku tidak akan membiarkan siapapun menyakitimu lagi."
Sejak hari itu, ia sering bermimpi tentang peristiwa malam itu. Pelukan Bu Nadia yang hangat, adalah pelukan terhangat pertama yang pernah ia dapatkan sepanjang hidupnya yang kesepian, sekaligus pelukan terakhir.
Ia menceritakan banyak hal sembari membasuh lengan Bu Nadiah hingga ke siku, kaki hingga ke lutut beserta wajahnya dengan lembut dengan air hangat. Setelah itu ia mengelapnya dengan handuk kering. Amy sangat berhati-hati.
"Ibu," panggilnya. "Tadi aku melihat orang aneh yang menyeramkan. Padahal sebelumnya, aku sama sekali tidak pernah takut apapun. Tapi setelah bertemu dengan Mayor dan Ibu. Aku sangat ketakutan kehilangan orang-orang di sekitarku. Mereka memberiku banyak hal yang tidak pernah kuterima sebelumnya, aku bahkan punya kakak laki-laki yang bodoh," Amy tersenyum simpul. Ia kemudian memandangi Bu Nadia lama, menatap dengan kesungguhan dan bertanya. "Apa aku…boleh menganggap mereka keluarga? Sebenarnya definisi keluarga itu apa?"
Amy mengingat kembali kejadian malam pemusnahan Marina malam itu. Ia teringat Jhony, manusia fyber yang mengemban ratusan jiwa di dalam tubuhnya. Awalnya Jhony tidak memiliki rupa dan memang tidak berbentuk seperti manusia karena terlalu banyak jiwa yang menggerogotinya. Ia sendiri terbentuk dari serat-serat kulit yang cukup menjijikkan. Hingga pertumbuhannya dari hari ke hari berubah total. Wujudnya panjang dan mukanya aneh mirip alien.
"Tapi Jhony adalah teman yang setia, Bu. Setidaknya bagiku," Amy tersenyum dan menceritakan banyak hal tentang Jhony padanya. "Meskipun aku menyiksanya kadang-kadang. Terutama di malam itu, aku sangat muak pada ibu panti hingga melampiaskan amarahku padanya. Padahal aku menyiksanya, tapi dia melindungiku sampai akhir. Marina si boneka tengkorak itu benar-benar menyebalkan hingga dia mati."
"Ah iya. Hari ini aku juga bertemu salah satu temanku dari panti asuhan. Tapi aku malah berlari dan kabur. Dia sepertinya senang melihatku. Tapi setelah kupikir-pikir aku sedikit lupa, apa dia Alfa? Atau dia Rama? Rama dan Alfa tidak pernah akur bahkan saat kami bertiga bermain bersama. Aku takut bertemu mereka, aku takut mereka hanya akan mengingatku sebagai pembunuh Marina. Aku tidak berani menampakkan mukaku pada teman-temanku, Bu. Apa aku masih pantas punya teman?"
Amy menghela napas. Ia menceritakan banyak hal pada ibunya. Selama pelaku yang memantrainya belum ditemukan, Amy dan Mayor tidak mungkin mencabut segel beku dari tubuh Bu Nadia, karena jika mereka melakukannya, maka Bu Nadia akan meninggalkan dunia ini untuk selamanya. Segel beku itu membuatnya stagnan, tidak membuatnya mati namun juga tidak membuatnya hidup, seperti putri tidur.
"Akan kupastikan aku menemukan sekte sialan itu dan menyeret orang yang membuat ibu seperti ini. Aku janji, Bu."
Tiba-tiba sebuah aura aneh muncul dari luar. Aura itu mendekat ke arah pintu. Amy berdiri dengan tergesa. Ia menatap tajam ke arah pintu, mewaspadai siapa musuh yang akan datang kali ini. Amy berjalan beberapa langkah, terdengar suara tapak sepatu berat mendekat ke arah pintu. Pintu kenop berputar seseorang membukanya.
"Aura ini berbeda dari orang tadi. Mungkinkah…."
Orang itu masuk ke dalam.
Amy tertegun.