"Kapten! lebih baik kita naik lagi ke atas! sebelum yang lain pergi lebih jauh!" teriak anak buahnya dari belakang.
"Kalau begitu kita harus cepat menyelamatkan mereka!" balas Iltas mengacuhkan saran salah satu anak buahnya.
Setelah tiba di bawah tanjakan, ia turun dari kudanya dan langsung mengambil obor yang ia letakan di kantung barang. Suasana semakin gelap di tempat jatuhnya ketiga kereta kuda itu, salju mulai menumpuk di baju zirahnya.
Iltas berhati-hati memegang tali kekang kudanya dengan satu tangan. Dari mulut kudanya yang mulai berbusa, ia tahu satu kecerobohan saja bisa membuat kuda yang ditungganginya mengamuk.
"kapten aku tidak yakin masih ada yang berhasil selamat?" tanya anak buahnya yang berada sejajar dengannya
"Mungkin" jawabnya merasa risih dengan pertanyaan tidak penting itu. Meskipun prasangkanya mengatakan kalau dugaan anak buahnya benar.
Patahan kayu berserakan dimana-mana, tempat itu juga dipenuhi oleh batu-batu berukuran sedang. Namun terkejutnya mereka ketika cahaya obor itu menerangi salah satu kereta kuda.
Di situ mereka semua dapat melihat, perut salah satu mayat yang mati kedinginan tersebut telah menganga dengan usus yang terburai.
Tidak lama salah satu bawahan Iltas melihat jejak kaki beruang dan bercak darah yang telah membeku. Tidak salah lagi, ada beruang mengamuk yang tidak bisa tidur di musim dingin tepat di sekitar sini.
"Tetap fokus, tugas utama kita adalah membawa barang-barang itu!" tegas Iltas sembari menggenggam dengan erat tali kudanya.
Di dekat mayat itu ada dua kereta lainnya, saling berdekatan dalam keadaan terjungkir. Segera beberapa dari anak buahnya mulai turun dari kuda lalu menaikan kereta itu kembali dan beberapa orang lainnya masih berada di atas kuda mereka.
Busur dan tombak mereka telah terhunus, waspada menghadapi ancaman serangan beruang yang sedang mengintai mereka.
Kereta itu dinaikan kembali ke posisi semula. terlihat dari tumpukan salju yang dibersihkan, kelima kawan mereka tewas dengan keadaan leher telah patah. Mayat mereka sudah membiru diakibatkan dinginnya tumpukan salju yang membekukan urat darah.
Mata mayat-mayat itu melotot ke atas, dengan mulut menganga dalam kondisi wajah sebagian tertutup oleh salju. Tanpa banyak bicara, Iltas memberikan penghormatan terakhir pada mereka.
Barang-barang berceceran di sekitar kereta kuda, bahu membahu mereka membawa barang yang masih bisa diselamatkan ke pelana kuda mereka masing-masing.
Roarm!
Auman keras binatang itu terdengar lantang dari kejauhan. Dari balik kegelapan, beruang raksasa berwarna coklat terang itu melesatkan cakarannya ke seorang pemanah berkuda.
Pemanah itu belum sempat melawan akibat terjatuh dari kudanya yang ketakutan. Dari kejauhannya temannya segera melesatkan puluhan anak panahnya ke badan binatang buas itu.
Srat!
Namun kulit dan bulu beruang yang tertutupi sebagian oleh salju itu tidak sanggup ditembus oleh busur mereka. Sekalipun busur itu mempunyai kekuatan penetrasi, yang katanya sanggup untuk menembus baju zirah terkuat dari Persia.
Mereka terus melesatkan panah-panah itu, akan tetapi beruang itu tetap berlari kencang mengincar korbannya. Pemanah itu tak mampu berlari cepat karena zirahnya dan baru disadari olehnya tulang kakinya telah patah.
Para penombak berkuda dengan sigap berusaha untuk menolongnya dan menombaki mata beruang itu. Akan tetapi sudah terlambat, beruang raksasa tersebut tetap mencakar dengan buas wajahnya dan mencabik-cabik rahangnya.
Arrrggghhh!
Roarm!
"Hentikan! kalian semua ambil barang-barang kita. Biar aku sendiri yang akan menghadapinya! ini perintah!" sahut Iltas memacu kuda sekencang-kencangnya lalu menghunuskan tombaknya ke arah beruang itu.
Pletak!
Dengan sigap para penombak kuda yang mengelilingi beruang itu menyingkir, memberi jalan bagi kapten mereka untuk menghabisi binatang buas itu sendirian.
Beruang itu telah menoleh ke arahnya yang memegang obor di tangan kiri. Mengacuhkan mangsa di bawahnya yang tewas dengan wajah yang tak dapat dikenali lagi.
Binatang tersebut mulai terluka akibat serangan tombak, Iltas hanya perlu menghabisinya saja. Goresan luka telah memenuhi tubuh beruang itu, dengan mulut yang sudah sobek dan beberapa bagian tubuh binatang itu yang tertancap anak panah.
Hihiek!
Akan tetapi, kudanya mengamuk tidak mau mengikuti perintahnya. Ia terjatuh dan obor yang ia genggam tadi telah padam, akan tetapi dari mata beruang yang bercahaya samar ketika gelap itu ia tahu di mana keberadaan binatang buas itu.
Tanpa ragu ia segera berlari menghujamkan tombak ke kepala binatang itu berkali-kali dan mengincar mulutnya.
Srat!
Kepala beruang itu terlalu keras, hanya goresan saja yang bertambah. Beruang itu melawan balik dengan mencakar badan Iltas. Berkali-kali Iltas menangkis cakaran itu dengan badan tombaknya.
Beruang itu langsung meloncat untuk menyerangnya. Dengan refleks yang luar biasa, Iltas dapat menghindari serangan itu dan menghujamkan tombaknya di bagian tengkuk leher.
Srat!
Mata tombak itu berhasil tertancap menembus kulit, akan tetapi beruang itu segera menghempaskan cakarnya. Iltas terdorong jauh menahan serangan dahsyat itu. Sekalipun dilindungi oleh zirah, namun tulang rusuknya seakan mau patah.
"Kapten! serang perutnya! itu titik lemah beruang!" teriak salah satu anak buahnya.
"Dasar bodoh! kenapa kau tidak bilang dari tadi, kalian bidik panah kalian dan tembak kalau aku..." balas Iltas sembari menghindar dan berusaha mencabut tombak yang tertancap di badan binatang itu.
Dalam keadaan gelap dan badan yang terasa lemas karena lapar, Iltas berkali-kali menghindar dari serangan beruang itu. Terkadang, ia berusaha untuk menahan cakaran dengan zirah yang melindungi tangannya.
"Tembak!" seru Iltas seraya segera melompat. Puluhan anak panah mulai dilesatkan kali ini mengenai perut binatang itu, salah satu anak buahnya kemudian melemparkan tombak yang dipakainya untuk langsung menjulang perut binatang itu.
Srat!
Haaaa!
Iltas mendorong sekuat tenaga tombaknya, beruang itu membalas dengan mencakarnya akan tetapi kekuatan beruang itu telah melemah. Iltas segera mengambil belati di sakunya lalu merobek mulut beruang itu.
Bruk!
Beruang itu telah ambruk kejang-kejang bersimbah darah, nafas Iltas memburu sembari memegang dadanya yang sakit. Anak buahnya segera bersorak sorai karena dapat membawa beruang itu kepada teman-teman mereka yang lain nantinya.
Sekilas tiba-tiba dari kejauhan, ia melihat setitik cahaya yang tentu berasal dari obor. Iltas segera berdiri menghampiri salah satu anak buahnya.
"Apa kau melihat cahaya itu, sepertinya itu adalah musuh yang mengikuti kita" tanya Iltas
"Tidak kapten, aku tidak melihatnya!" jawab prajurit itu menggelengkan kepalanya.
Iltas hanya terdiam, sekalipun ia mengejar cahaya yang kini telah hilang itu, pasukannya sudah terlalu lelah. Yang bisa ia lakukan nanti adalah memberitahukan hal tersebut kepada Irbis nanti.
Mereka telah menaiki kuda dan membawa barang-barang yang telah berserakan termasuk beruang yang Iltas kalahkan tadi. Mereka tidak punya waktu lagi untuk mengubur mayat kawan mereka kemudian bergegas pergi.
Kuda-kuda itu dipacu untuk bisa menaiki tanjakan, dengan salju yang telah menutupi batu mereka harus berhati-hati agar tidak tergelincir. Setelah sampai di atas, mereka melihat asap besar dari kejauhan yang berasal dari dalam jenggala pohon pinus.
Setelah turun dari bukit itu, terdengar suara derap langkah kaki kuda yang ramai menggema di hutan. Namun kuping mereka semua termasuk Heshana dan Irbis, seakan tersumbat kala itu karena iring-iringan pasukan itu beramai-ramai mabuk menghabiskan khamr persediaan.
"Irbis hoy kau masih sadar tidak!" bentak iltas
"Apa lagi, hiikk... haha tentu sadar benar tidak Iltas. Tuh lihat, pasukanmu juga ikut mabuk untuk menghangatkan badan. Haha! tadi kami bernyanyi ria sayang kau malah ketinggalan musiknya" balas Irbis seraya menunjuk kepada anak buahnya yang mulai ikut mabuk.
"Menjijikan kelakuan orang bodoh! kalau saja kau tidak mabuk aku lihat cahaya obor dari musuh kita tadi,"
"Cahaya obor darimana kau itu yang terlalu serius, sekali-sekali miinuumm Iltas rasanya lebih manis daripada istriku dan istrimu woohoo!" seru Heshana ke belakang tendanya untuk mengambil khamr lagi.
"Iltas terlalu serius ahahaha!"
"Benar Irbis senangnya minum susu dan yoghurt seperti anak kecil saja!"
"*hik!* Iltas mana berani dia kan perindu kebenaran *hik!*"
"Coba kubujuk huhu ayo bersenang-senang sama kami Iltas di sini semua orang berjuang demi hancurnya Gokturk haha. Kalian menuduh aku pengkhianat ya memang akulah pengkhianatnya! hah ayo Iltas!" teriak Heshana sembari menyuguhkan khamr itu kepada Iltas.
"Kau bicara apa hah hiik, harusnya yang hancur itu avvvaaarrr, bukan Gokturk" - Seru Irbis.
"Mau Gokturk hiik mau Avar mau Magyar sama saja haha!"
"Mulutmu itu mau kurobek ya Heshana!"
Tanpa disadari oleh mereka berdua yang mulai ribut-ribut sendiri, Iltas sudah pergi dengan membawa roti dan susu untuk ia makan pada malam itu. Hatinya tersiksa melihat semua orang yang ia kenal meminum minuman yang hina itu dan mabuk seperti orang bodoh.
Ia pergi mengasingkan diri ke dalam hutan untuk menyelisihi kelakuan kawannya. Sendirian di pohon itu, menyalakan api unggun dan perlahan menikmati roti kering yang kadang ia celupkan ke dalam susu itu.
Api itu masih menyala dengan terangnya, matanya mulai menutup meski ia masih memakai baju zirah. Di malam yang sunyi itu, ia menyendiri dan perlahan mulai terlelap dalam tidurnya.