webnovel

Siapa Dia

Arisha berjalan ke luar rumahnya. Dia terkejut melihat ibu kontrakkannya sedang marah-marah pada tetangga kontrakkan di pintu nomor 5. Pemilik kontrakkannya sangat galak, jika telat membayar siap-siap kena omel selama satu jam penuh. Selain itu semua orang yang mengontrak memanggilnya 'Madam' karena wajah dan penampilannya yang mirip peramal.

"Kapan bayar? Sudah nunggak dua bulan."

"Maaf Madam, gajianku habis dicasbon bulan ini."

"Kalau gak bayar akhir bulan besok, angkat kaki!"

Melihat itu Arisha harus segera kabur. Dia juga menunggak beberapa hari. Bukan tak ingin membayarnya segera, tapi belum punya uang. Kemarin saja dia sudah kena omel selama satu jam, sampai mengantuk mendengar Madam ngomel panjang lebar. Sebenarnya tidak enak. Tapi Arisha memang belum memiliki uang yang cukup untuk membayar sewa pada bulan ini.

"Sebelum terkena semburan lahar panas, lebih baik aku kabur," ujar Arisha menutup wajahnya dengan tas cangklong miliknya. Dia berjalan perlahan-lahan. Bisa kena semburan ibu kontrakkan kalau ketahuan.

Selangkah dua langkah Arisha berjalan. Sayangnya flat shoes miliknya ketinggalan satu di belakang.

"Astaga, kembali ke zona bahaya," keluh Arisha. Kakinya kembali melangkah ke belakang pelan-pelan mumpung ibu kontrakkan sedang sibuk menyembur tetangga kontrakkannya.

"Sampai juga," ucap Arisha. Mengenakan kembali flat shoes yang tertinggal. Mengelus dadanya. Baru mau maju satu langkah. Suara ibu kontrakkannya terdengar nyaring.

"Arisha!"

"Aku berangkat kerja dulu Madam," ujar Arisha. Dia berdiri membelakangi ibu kontrakkannya yang menatap tajam ke arahnya.

"Bayar kontrakan!"

"Insya Allah akhir bulan Madam, assalamu'alaikum," sahut Arisha langsung kabur. Lari secepat mungkin.

"Tunggu!"

Arisha berlari secepat mungkin. Dikejar ibu kontrakkan yang terkenal paling killer seantero bumi.

"Astagfirullah, pagi-pagi udah lari maraton," ujar Arisha. Dia berlari ke sana sini. Menyelamatkan diri dari kejaran ibu kontrakkannya.

"Arisha! Bayar!" Madam terus mengejar Arisha. Padahal rambut panjangnya yang keriting sudah menutupi wajahnya.

"Iya Madam. Insya Allah akhir bulan." Arisha terus berlari.

"Aku tagih sama ibumu loh!"

Mendengar itu Arisha langsung menghentikan langkahnya. Nafasnya masih tersengal-sengal. Dia berusaha tenang.

"Arisha kamu masih ingin sewa rumahnya gak sih?" Ibu kontrakkannya itu menghampiri Arisha. Berdiri tepat di depannya.

"Masih Madam."

"Bayar dong kalau gitu!"

"Uangnya belum cukup. Insya Allah akhir bulan ini gajian." Arisha belum memiliki uang yang cukup. Ada sedikit uang untuk pegangan selama satu bulan ini.

"Oke, aku kasih waktu sampai akhir bulan. Jadi bayar dua bulan sekaligus, inget itu!"

"Iya Madam Insya Allah, tapi jangan nagih ke ibu. Ku mohon." Wajah Arisha tampak memohon. Dia tidak ingin membuat ibunya bersedih dan banyak pikiran.

"Heh!" Wanita berpenampilan seperti peramal itupun pergi begitu saja.

"Alhamdulillah." Arisha lega sudah bisa menghadapi ibu kontrakkan yang terkenal galak itu. Untung saja hari ini dia berbaik hati padanya.

Arisha berjalan kembali. Hari itu cuaca mulai mendung. Halte bus cukup jauh dari kontrakkannya. Demi menghemat ongkos, Arisha memilih jalan kaki.

Sementara itu seorang lelaki paruh baya mengenakan setelan jas berwarna hitam. Rapi dan elegan, duduk di jok belakang mobilnya. Dia duduk dengan tenang menatap jalanan yang macet.

"Tuan sepertinya macet total." Supir pribadi lelaki tua itu melaporkan kondisi jalanan yang dilaluinya.

"Aku mau turun, sepertinya bubur di tepi jalan itu enak." Lelaki tua itu bosan melihat kemacetan jalan yang belum bergerak dari tadi. Kedua netranya melihat tukang bubur di tepi jalan.

"Tapi Tuan? Di luar mendung. Saya khawatir akan turun hujan." Supir itu memperingatkan tuannya.

"Kau fokus saja menyetir!"

"Baik Tuan."

Lelaki tua itu turun dari mobilnya. Dia berjalan ke tepi jalan. Baru beberapa langkah berjalan, hujan turun dengan deras. Angin juga mulai kencang. Lelaki tua itu tetap berjalan, sampai dahan pohon di atasnya patah terkena angin yang terus berhembus dengan kencang.

Bruuug ...

Dahan pohon itu jatuh ke bawah. Tepat di atas lelaki tua yang sedang berjalan. Untung saja Arisha mendorongnya, hingga dahan itu justru menjatuhinya.

"Aaaa ..." Arisha tak mampu menyelamatkan dirinya. Dahan pohon itu menjatuhi tubuhnya.

"Elina!" Lelaki tua itu berteriak melihat Arisha kejatuhan dahan pohon itu. Dia bergegas berlari ke arahnya. Menolong Arisha yang terjatuh di bawah. Dia menyingkirkan dahan pohon itu dibantu beberapa orang yang datang membantu. Untung saja Arisha tidak kenapa-kenapa. Hanya luka baret di tangannya yang digunakan untuk menutup wajahnya.

Lelaki tua itu dan Arisha duduk di kursi yang ada di tempat pedagang kaki lima. Mereka duduk bersama sambil minum teh hangat. Sesekali Arisha memeriksa jam di tangannya. Baru menunjukkan pukul 6 pagi. Arisha masih memiliki waktu untuk bicara dengan lelaki tua itu.

"Tanganmu tidak diobati dulu?" Lelaki tua itu memperhatikan baret di tangan Arisha. Rasanya dia ingin sekali mengobatinya.

"Luka kecil, nanti juga sembuh." Arisha tampak dingin berbicara dengan lelaki tua di sampingnya.

"Apa kau tidak ingin pulang? Lihat tubuhmu kurus! Tidak seperti saat kau di rumah."

"Papa gak perlu khawatir. Aku baik-baik saja tinggal bersama ibu." Arisha tidak ingin ayahnya mengetahui keadaan yang sebenarnya.

"Kalau kau ada waktu mainlah ke rumah. Kau tidak rindu Momy-mu?"

"Dia bukan ibuku. Wanita yang sudah merebut ayah dari ibu." Mata Arisha berkaca-kaca saat mengingat wanita yang selama ini dianggapnya ibunya ternyata wanita yang merebut ayahnya dari ibu kandungnya.

"Tapi Momy-mu sudah merawatmu dari kau masih bayi."

"Merawat? Dia hanya terpaksa agar Papa simpati padanya." Kenyataan bahwa ayah dan ibunya sudah berpisah sejak dia bayi membuat hatinya getir. Apalagi melihat kondisi ibunya, Arisha begitu sakit hati. Hanya demi wanita lain ayahnya sampai hati menceraikan ibunya yang baru saja melahirkan.

"Sudah. Jangan membahas itu lagi. Kita akan terus berdebat."

"Aku harus kerja Pa. Assalamu'alaikum." Arisha bangun. Berjalan meninggalkan ayahnya begitu saja. Air matanya tumpah saat kakinya sudah melangkah jauh. Namun secepatnya Arisha menyeka air matanya. Tak boleh ada air mata, menangis tidak akan menyelesaikan masalahnya. Arisha langsung naik ke dalam bus. Menatap jalanan yang semakin jauh dari tempatnya duduk bersama ayahnya.

***

Kediaman Keluarga Dewangkara pukul 6.30 pagi

Arisha sudah datang ke rumah Keluarga Dewangkara. Sesuai tugas yang diberikan padanya. Arisha harus mengurus semua keperluan Erland dari pagi hingga malam. Pagi itu dia harus menyiapkan semua kebutuhan Erland untuk berangkat kerja.

Arisha berjalan ke lantai atas. Menuju kamar Erland. Arisha berpapasan dengan seorang wanita cantik. Dengan ramah dan sopan Arisha menyapanya.

"Siapa kau?"

"Saya Arisha Dilara. Sekretaris Bos Erland Dewangkara."

"Sekretaris? Setahuku sekretarisnya Erland wanita tua."

"Saya sekretaris barunya." Arisha tidak tahu perihal sekretaris lama yang bekerja pada Erland.

Wanita cantik itu melihat Arisha dari atas sampai ke bawah.

"Sebaiknya kau pulang! Hari ini kau dipecat." Wanita cantik itu dengan mudahnya memecat Arisha.

"Oh, maaf. Saya diutus langsung Nenek Victoria untuk jadi sekretaris Bos Erland. Jadi jika Nona keberatan silahkan bicara dengannya!" Arisha tidak akan menyerah. Di sini dia bekerja atas perintah orang nomor satu di rumah itu. Jadi siapapun tidak bisa memecatnya termasuk Erland sendiri.

Wanita cantik itu tampak kesal. Sedangkan Arisha hanya tersenyum dan melewatinya begitu saja.

"Singa betina yang harus ku taklukan selanjutnya," batin Arisha. Dia berpikir hanya Erland dinosaurus yang harus ditaklukkan ternyata ada singa betina juga.

Arisha tidak ambil pusing siapa wanita itu. Tujuannya untuk bekerja bukan untuk mengurusi hidup orang lain.

Arisha mengetuk pintu kamar Erland. Beberapa mengetuk tak dibuka juga.

"Benar-benar menyusahkanku kalau dia sampai terlambat ke kantor." Arisha harus berpikir keras agar bisa masuk.

"Selalu ada jalan menuju Roma." Arisha mengambil peniti di hijabnya. Dia menggunakan peniti itu untuk mengakali kunci pintu kamar Erland. Hanya dalam hitungan menit pintu bisa dibuka.

"Kesulitan sudah mengajariku banyak hal. Termasuk cara membobol pintu ini." Bukan Arisha kalau tidak memiliki cara untuk mengatasi masalahnya.

Arisha masuk ke dalam kamar Erland. Seketika kedua netranya terbelalak. Kamar Erland begitu acak-acakan. Padahal dia seorang bos.

"Aku pikir kamar Bos rapi dan indah kaya di film-film ternyata inilah aslinya."

Arisha tak bisa berdiam diri. Dia mengacuhkan Erland yang masih berbaring dengan pulas di ranjangnya. Bagian dadanya terbuka. Erland hanya tidur mengenakan boxer ditutup selimut tebal. Itupun posisi tidurnya tengkurap.

"Benar-benar menyulitkanku. Pantas seret jodoh." Arisha menyapu sambil mengoceh ini itu. Dia kesal pada bos yang jorok. Tidak sesuai penampilan dan sikapnya yang cool.

"Untung gajinya besar, kalau tidak, sudah ku cincang dia," gerutu Arisha. Tak hanya menyapu, Arisha merapikan semua barang di kamar Erland dan mengepel lantainya. Setelah itu Arisha masuk ke dalam toilet untuk merapikan hijabnya.

Suara alarm handphone mulai berdering kencang. Erland masih berat untuk bangun. Sesekali mematikan alarm handphone-nya. Kembali tidur dengan nyaman. Namun entah kenapa dia merasa aroma harum tercium di indera penciumannya. Kedua netra mulai terbuka dengan perlahan. Erland terperanjat saat mendapati tempatnya berada sangat rapi dan indah. Erland langsung bangun. Beranjak dari ranjang, melangkah secepat mungkin ke luar dari kamar itu.

"Aaaa ...!" Dua pembantu rumah tangga terkejut melihat Erland yang hanya mengenakan boxer.

Erland yang berdiri di depan pintu melihat ke bawah. Bukan hanya dua pembantu itu yang terkejut tapi dia sendiri juga terkejut. Langsung masuk ke dalam kamar itu lagi. Menutup pintu secepatnya.

"Sial harga diriku jatuh sejatuh-jatuhnya." Erland tak habis pikir dua pembantu di rumahnya jadi melihat dada bidangnya yang jarang dia perlihatkan pada sembarang wanita, kecuali wanita yang dia inginkan.

Erland mengacak rambutnya dengan jemari tangannya. Menatap seluruh sudut ruangan. Dia merasa berada di tempat yang berbeda.

"Apa ini kamarku? Jangan-jangan aku salah kamar?" Erland masih bingung. Kamarnya selalu berantakan. Tak pernah rapi. Dia juga melarang siapapun masuk kamarnya meski untuk membersihkannya sekalipun. Erland biasanya membersihkan kamarnya seminggu sekali kalau dia mau dan ada waktu senggang.

Erland berjalan di dalam kamarnya memastikan itu kamarnya sendiri. Dia membuka lemari. Mengecek ranjangnya. Bantal bau kesayangannya. Laci dan semua barang miliknya. Khususnya foto besar di dinding. Foto kebanggaannya sebagai pria tertampan yang ada di perusahaan.

"Benar ini kamarku. Tapi kapan berubah bersih? Makhluk mana yang berani masuk kamarku? Sampai hati mengotorinya," gerutu Erland. Kamar sudah dirapikan malah disebut dikotori. Sungguh pemikiran yang terbalik dari biasanya.

Tak lama Arisha ke luar dari toilet. Melihat Erland berdiri di depan ranjang. Dada bidangnya tampak menggoda, wajah tampan terkena pancaran sinar matahari membuatnya sempurna.

"Arisha!" teriak Erland. Dia menatap tajam Arisha yang sudah seenaknya masuk ke kamarnya.

Nächstes Kapitel