webnovel

2. Perasaan Yang Tidak Biasa

Rasa kepekaan akan kehadiran makhluk yang tidak biasa mulai menyelimuti tubuhku saat masuk gerbang sekolah.

Suasana sunyi gelap sore hari setelah hujan seakan banyak sekali makhluk yang menatap ku dari kejauhan, dengan raut wajah tidak berbentuknya memberikan tatapan kosong ke arahku. Mengingatkan bahwa ini adalah pengalaman pertamaku.

Kami berkumpul di ruangan di dekat podium lapangan upacara. Mengecek keperluan kami kembali dan berdoa sebelum perjalanan menuju Kota Batu.

Ternyata kita cuman 8 orang yang berangkat karena Aminah, si gadis cantik keturunan Arab dan berjilbab dia tidak bisa ikut karena ada acara mendadak.

Akhirnya aku dan satu temanku membawa motor sendiri. Pukul 15.45 WIB aku dan rombongan berangkat bersama-sama. Apesss sekali, ternyata aku sendirian dan di beri tugas membawa tenda.

Dan kabar buruknya lagi adalah ternyata aku paling junior dari rombongan. Entah ini memang kesempatan mereka buat mengerjai aku atau memang mereka malas membawa tenda dalam kondisi setelah hujan.

Tapi karena sudah terlanjur aku melakukan ini, maka aku tidak akan mundur lagi hanya untuk mengakui bahwa diriku adalah seorang pengecut.

Kami mengendarai motor dengan beriringan, aku yang paling belakang dengan membawa 2-3 tenda tadi.

Suasana jalan cukup sepi mengingat waktu sore hari dan perjalanan kesana lebih banyak melewati hutan. Kondisi jalan yang berada di tepi sungai dan tebing menambah ketakutan di dalam diriku. Pandanganku tidak bisa fokus satu arah kearah jalan saja.

Dari kejauhan aku menatap pemandangan hutan di sore hari dengan rasa yang kurang mengenakan. Karena besok adalah tanggal merah peringatan HUT Indonesia biasanya banyak orang pergi ketempat-tempat sepi seperti hutan atau pohon besar.

Di sepanjang jalan yang aku lewati, rasa aneh menggelitik dengan beragam alasan rasa seperti ingin berinteraksi dengan dunia lain. Tetapi sekali lagi aku mencoba untuk menahan diriku dan lebih fokus dalam memperhatikan jalan raya yang aku lewati.

Kurang lebih 2 jam perjalanan, aku dan teman-teman sampai di minimarket terdekat dengan pos pendaftaran. Hawa dingin mulai menusuk kulit kami dalam balutan jaket tebal. Kami beristirahat sembari menambah tenaga dan membeli beberapa makanan dan perlengkapan yang sekiranya kurang.

Setelah semuanya beres, kami memulai perjalanan lagi melewati permukiman penduduk di kala suasana waktu magrib.

Keheningan dan suasana desa yang masih alami menarik perhatianku dan teman-teman. Jalan berkelok naik turun menambah adrenalin kami sebagai usia anak remaja.

Dan ternyata benar saja, apa yang di sampaikan Andi padaku kapan hari lalu. Tentang kondisi jalan berupa tanjakan curam sebelum pos pendaftaran.

Temanku paling depan mencoba melewati tanjakan tersebut dan benar saja motor yang dipakainya tidak kuat, dan langsung saja yang di bonceng dibelakangnya loncat untuk mendorong motornya.

Yang lainnya menunggu dibawah, berusaha membantu yang diatas mendorong motor tetapi jarak yang begitu jauh dan keadaan panik, kami tidak bisa sampai ketas. Rombongan yang dibawah tidak mau ambil resiko berboncengan untuk naik melewati tanjakan ini.

Karena aku rasa tanjakan yang kali ini sangat berbeda dengan tanjakan yang lainnya. Aneh saja aku rasakan.

Aku mencoba memberanikan mencoba melewati tanjakan itu. Mengumpulkan tekad sepenuhnya hingga akhirnya aku menerobos batasanku dan akhirnya berhasil dengan aman. Meskipun yang tadinya motorku hampir tidak kuat.

Dan Akhirnya kami sampai di pos pendaftaran dan memparkir motor sambil menunggu salah satu dari kami mengurus administrasi pendaftaran.

Suasana pos pendaftaran yang berada di lereng gunung menambah aura tidak nyaman dan menantang bagiku, Karena sekali lagi. Aku bisa merasakan kehadiran dari mereka yang berada di sekitar kita. Ya "Mereka".

Makhluk tak kasat mata yang bersemayam di banyak tempat tanpa kita ketahui.

Namun sekali lagi, aku mengontrol diriku untuk bisa tetap fokus dengan tujuan, bukan sosok yang saat ini berada di area sekitar kami. Ya, aku bisa merasakan kehadiran mereka telah menyambut kami.

Tidak terasa sekarang waktu menunjukan pukul 19.00 WIB. Kami kembali briefing tentang aturan dan mengecek kondisi badan, serta barang bawaan dan di lanjutkan dengan berdoa.

Kami membagi tugas dan peran masing-masing. Paling depan temanku mas Ryan dia orangnya pendiam, menguasai rute, karena dia sudah berapa kali mendaki ke gunung, jadi banyak pengalaman lah. Dia menjadi navigator penunjuk arah yang memahami kondisi medan.

Dibelakang si Ryan ada mas Simon, dia ini orangnya tinggi besar dan berkulit sedikit gelap, kebanyakan orang jikalau belum mengenalnya pasti takut padanya. Karena aura dari dalam dirinya yang memang seperti itu, tetapi kenyataannya orangnya baik dan asik banget. Dia menjadi leadernya kami semua, karena jiwa kepemimpinan yang baik dan mengayomi darinya. Memang pantas untuk di acungi jempol.

Di baris ketiga ada Risma, Shella dan Putri. Menjadi pengikut saja dan juru memasak nantinya. Risma dan Shella ini primadona di sekolahku, jadi ya lumayan sebagai obat pelepas lelahku. Hanya dengan memandanginya saat lelah, bisa menambah semangat lagi di dalam diriku. Mungkin bukan hanya aku saja, melainkan kaum adam yang ikut pendakian ini, pasti juga merasakannya.

Selanjutnya aku di posisi logistik, membawa beberapa tenda. Cukup berat tugasku membawa tenda mendaki gunung. Di belakangku ada Siswanto dan Fajar, bagian sapu ranjau alias memastikan kami tidak ada yang tertinggal.

Si fajar ini anak orang kaya jadi kami tidak begitu khawatir bila berpergian dengannya, karena sudah pasti semuanya akan terpenuhi.

Sesuai urutan masing-masing kami melangkah pelan membawa tas ransel kami dengan di bekali lampu senter yang ada di kepala. Kondisi medan malam ini cukup sulit karena basah tadi di guyur hujan.

Kalo tidak berhati-hati bisa saja mencelakai kaki sendiri seperti, terpeleset atau di gigit lintah. Jalan yang pertama adalah jalan paving, jadi cukup mudah kita lalui. Habislah jalan dari paving, aku dan rombongan mulai menikmati jalan dengan setapak dari batu-batu kecil.

Masih dalam keadaan basah jalan yang di lewati menyebabkan kami sedikit kesulitan hingga terpeleset bergantian. Udara dinging malam hari di tambah suasana hutan yang gelap menambah rasa kepekaan ku mulai bereaksi.

Beberapa kali aku bisa merasakan jikalau ada sosok yang mengikuti rombongan kami, tentunya bukan sosok dari manusia biasa. Lebih tepatnya sosok dadi mereka yang tidak terlihat. Meskipun aku tahu, aku memutuskan hanya diam saja. Karena ini bukannya waktu untuk melakukan unjuk gigi dengan kelebihan.

Rombonganku menemui persimpangan tiga di awal pendakian kami yang bertuliskan 'jalur pendakian arah sebelah kiri menuju Gunung Buthak dan jalur pendakian arah sebelah kanan menuju Gunung Panderman'.

Ya, memang letak dari Gunung Panderman dan Gunung Buthak merupakan satu gugusan pegunungan dalam satu pengelolaannya di Desa Pesanggrahan Kota Batu. Kalau tidak berhati-hati memilih jalur pendakian, bisa saja tersesat karena salah memilih jalur pendakian.

Kami memilih mengambil jalur sebelah kanan karena sesuai dengan tujuan kami Gunung Panderman. Diawal pendakian kami masih bisa bergurau dengan satu sama lain, bahkan dengan para pendaki yang lain yang naik bersama kami dan ada juga yang mulai turun karena telah selesai mendaki.

Aku memperhatikan sekitar dan raut wajah para pendaki yang sedang turun. Karena aku cukup penasaran apa yang mereka dapat setelah bisa sampai ke puncak.

Dari raut wajah mereka ada yang bahagia, mungkin karena bisa sampai ke puncak yang di idamkan selama ini. Ada yang raut wajahnya sedih, tidak tahu pasti sedih karena apa, karena pendaki ini menunjukan kesedihannya setelah turun dari puncak.

Dan ada yang raut wajahnya kalem dengan tatapan kosong, saat ku sapa "Mari mas." Pendaki tersebut hanya menganggukkan kepala tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun dari bibirnya.

Rasa curiga dan takutku mulai muncul di awal perjalanan pendakian ini. Ada juga pendaki yang turun dengan raut wajah tegang, seperti ingin mengungkapkan sesuatu atau menahan sesuatu hal seperti kedinginan atau sesuatu hal yang berada di luar nalar.

Pendaki yang raut wajah tegang dan takut itu turun dengan di pegangi tangannya oleh teman pendaki lainnya.

Kami mencoba menanyakan apa hal yang terjadi yang menyebabkan pendaki tersebut seperti itu.

"Kenapa mas dengan temannya?" Tanya Simon penasaran.

"Maaf mas, kami gak bisa ceritakan hal apa yang sudah terjadi." jawab teman pendaki tersebut dengan terburu-buru.

Aku rasa, ini bukanlah pertanda baik bagiku.

Nächstes Kapitel