Karantina tinggal empat hari lagi.
Tidak ada yang berubah hanya tempat saja yang berbeda. Rumah kosong itu sudah dihuni oleh Pak Wiryo, jadi tidak ada pilihan lagi untuk melakukan karantina selain di rumah Pak Rangga. Sampai detik ini belum ada orang yang pulang dari merantau, selain aku dan Soleh.
Hilangnya Soleh masih menjadi misteri. Keluarganya sampai putus asa, Mereka sudah mendatangkan paranormal tetapi selalu menemukan jalan buntu. Soleh tidak bisa di selamatkan, begitu kata mereka.
Siang itu aku melakukan aktifitas seperti biasa, berolah raga dan membersihkan rumah Pak Rangga. Karantina akan menjadi sangat membosankan jika kita hanya berdiam diri saja, setidaknya dengan melakukan aktifitas, akan mengurangi rasa stress. Namun, Entah kenapa, aku sudah mulai nyaman dengan rumah ini. Setiap kali melihat pigura besar yang terdapat foto Pak Rangga, aku seperti diawasi oleh beliau, seperti merasakan kehadirannya di sini.
Namun bayang-bayang penderitaan beliau juga masih terekam di rumah ini, sehingga nuansanya mistisnya masih sering membayangi diriku yang sendirian. Terlebih lingkungan rumah ini sangat kental dengan aura mistis, termasuk makam Santi di belakang rumah ini.
Aku yang sedang menyapu lantai sembari mengingat-ngingat apa yang diucapkan oleh Reza. Siapa sangka jika Santi adalah istri simpanan Ayah. Yang aku tahu cuma tiga orang yang datang ke rumah ketika wafatnya Ayah, itu pun dengan meninggalkan beban hutang yang menggunung. Mungkin, di luar sana masih banyak istri simpanan Ayah yang belum terkuak. Ayah yang terkenal dingin itu ternyata adalah seorang predator, sebuah kejutan yang tidak pernah disangka sepeninggalan beliau.
PYARRRRR!
Terdengar suara dari dalam kamar Pak Rangga, aku masih melanjutkan menyapu karena tanggung sekali. Setelah, selesai aku bergegas naik lantai dua, untuk ke kamar. Terlihat bayangan transparan kuntilanak merah yang melayang keluar dari kamar, dia seolah terpental oleh sesuatu yang dahsyat. Aku bergegas memasuki kamar dan menemukan sesuatu yang membuat alisku menyatu, Kalung kakek bersorban itu tergeletak begitu saja di atas nakas, beserta pecahan kaca yang berserakan. Kok bisa? Padahal beberapa hari yang lalu, kalung itu di minta oleh Bapaknya Soleh, sekarang kalung itu kembali.
Kejadian yang hampir mirip dengan waktu lalu, ketika aku memberikan kalung itu kepada Soleh yang pingsan. Namun justru Soleh menghilang, sementara kalung itu dengan sangat ajaib terpasang lagi di leherku. Ada apa sebenarnya dengan kalung ini? kenapa dia seolah tidak mau lepas dariku?
Kuntilanak itu melayang, segera aku memakai kalung itu. lalu, aku bergegas untuk keluar kamar, menghampiri bayangan hantu itu. semakin aku mengampirinya justru dia semakin menjauh. Pasti ada alasan kenapa mahluk ini menampakan dirinya siang-siang seperti ini.
"Santi, kenapa kau kesini? Apa benar kamu telah membunuh Ayahku!"
Seketika sosok itu mendongakan kepala. Matanya merah dengan seringai yang menakutkan. Namun, aku tidak gentar. Saling beradu atap sampai bayangan kunti itu terbang ke langit-langit dengan suara yang menggelegar ke seluruh ruangan.
Tiba-tiba, muncul kakek bersorban putih di depanku, dia memintaku untuk memejamkan mata. Kalau sudah begini pasti ada peristiwa yang akan dia tunjukan, aku pun menuruti permintaannya.
Aku berada di suatu tempat dimana semuanya serba merah layaknya sebuah kawah gunung berapi, di bawahnya terdapat api yang berkobar-kobar. Lalu terlihat seorang Algojo yang bertubuh besar. Dan Ayahku yang terbelenggu oleh oleh rantai yang mengikat tubuhnya. Ada dua rantai, yang pertama mengikat leher dan yang kedua mengikat kakinya, sehingga posisinya tergantung dengan posisi tengkurap . Sementara Algojo itu menginjak-nginjak punggung Ayahku.
"Rasakan ini manusia laknat! Ini hukuman yang pantas untukmu!" pekik Algojo itu dengan tawa yang menyeramkan.
"Ourghhhh...ahhhh!" Desis Ayahku kesakitan. aku yakin dengan posisi di gantung seperti itu dengan bara api menyala di bawah pasti sangat tersiksa.
Mulutku bungkam melihat penyiksaan itu. Sekilas Santi yang berdiri tidak jauh dariku, juga melihat penyiksaan itu. Dia layaknya manusia normal dengan gaun merah yang dikenakan. Tiba-tiba dia terbang menghampiri ayahku, dia berucap dengan penuh amarah. "Tega-teganya kamu membuatku gila dan menelantarkanku! Itu sama aja kamu membunuhku pelan-pelan! kamu gak ingat apa kalau Aku itu mengandung anakmu!"
"OOOOOUUUGGRHHHH!" erang ayahku yang tertahan di tenggorokan. Darah mengucur dari mulutnya. Namun, Algojo itu malah semakin beringas menhentak-hentak tubuh Ayah, hingga tubuh ayah terlepas dari rantai dan jatuh di dalam kobaran Api.
Tidak lama kemudian, Tubuh Ayah kembali utuh. Lalu Algojo itu menyiksa ayah lagi dan lagi. Aku bertegun sejenak. Kenapa Ayah mengalami siksaan seperti itu?
Santi melayang mendekatiku, dia menangis tersedu-sedu. Lalu dia berucap dengan suara lirih, "Tolong aku, aku meninggal karena mau melahirkan, tapi aku terperosok di tanggul itu, Tolong temukan Anakku. Kuburkan dia dengan layak. Kasihan dia. Aku mohon."
Aku tidak segera menjawab permintaannya, aku menoleh ke kanan tepat di wajah kakek tua yang sedang menatapku. Dia mengangguk memberi isyarat untuk mengiyakannya,
"Tapi, bagaimana dengan Ayahku Kek?"
"Setiap perbuatan pasti ada timbal baliknya, begitupun Ayahmu dia sedang menerima hukuman atas apa yang dia pernah lakukan di dunia. Sebaiknya kamu bisa mengambil pelajaran, selama hidup tetaplah berbuat baik, sehingga kamu akan menuai kebaikan pula."
Aku mengangguk mafhum dengan perkataan beliau. Walaupun dia ayahku, tidak serta merta aku bisa menolongnya. Dia harus bertanggung jawab dengan apa yang dia lakukan semasa di dunia. Dan aku sebagai anak hanya bisa mendoakan supaya siksa beliau menjadi ringan. Mulai saat ini, aku berjanji akan lebih rajin berdoa dan beramal shaleh, selain untuk diriku juga sebagai penyegar ayah di alam sana.
Aku kembali menoleh ke arah Santi yang memandangku dengan penuh harap.
"Apa dengan mencari anakmu lalu menguburkan dengan cara yang baik, kamu tidak akan bergentayangan lagi?
Dia mengangguk mengiyakan. Aku menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan, "Baik saya akan melakukan sesuai dengan permintaanmu.
Sosok Santi itu tersenyum, perlahan dia menghilang . Bersamaan dengan hilangnya Santi, aku membuka mata. Dan mendapati diriku berada di depan kamar Pak Rangga. Lalu cepat-cepat aku menghubungi Ilham tentang apa yang aku alami.
***
Prosesi pemakaman berjalan lancar. Jasad bayi itu dimakamkan tepat di sebelah makam Santi Ternyata mayat bayi itu ditemukan tertutup oleh sampah karung tak jauh dengan dimana Santi ditemukan. Para warga dengan penuh khikmat mendoakan arwah bayi mungil itu.
"Tama, Kok bisa kamu menemukan bayi itu?" tanya Pak Modin.
"Hmmm.. Enggak Pak, tapi iseng aja aku mancing di tanggul itu. terus aku mencium bau busuk gitu, setelah aku cari-cari eh ternyata ada jasad bayi." Jelas ilham sedikit terbata-bata mengarang cerita , Pak modin manggut-manggut. Padahal Ilham bukan pergi memancing melainkan aku yang menyuruhnya untuk mencari jasad bayi itu, lantas memberi tahukannya Pak Modin dan warga. Perihal kejadian gaib yang aku alami, aku meminta Ilham merahasiakannya.
Aku menyaksikan prosesi pemakaman itu dari belakang rumah Pak Rangga. Mendoakannya arwah sang adik supaya tenang di alam sana. Iya dia adalah Adikku, buah cinta dari Ayahku dengan wanita lain. Dan mereka semua sudah menghadap kehadirat Tuhan.
Angin berhembus pelan di tengkukku, Sosok Santi tiba-tiba muncul dengan penampilan yang berbeda. Tidak lagi terlihat penampakannya yang menyeramkan tetapi penampilannya yang anggun seperti semasa hidup. Dia tersenyum kepadaku seolah tidak ada beban lagi, kemudian berangsur menghilang.
Aku menghela nafas lega, permasalahan Ayah dan kuntilanak Merah alias hantu si Santi itu sudah usai. Aku balik badan, melangkah menuju rumah, melanjutkan karantina yang tinggal menghitung hari.
Langkahku terhenti, seolah ada yang terus memperhatikanku. Aku menoleh dan menangkap sosok Pak Wiryo berdiri diambang pintu rumahnya, menatapku dengan sorot mata yang tajam. Rupaya tidak hanya dia, mataku juga menangkap sosok wewe gombel yang menerorku selama ini, berdiri disebelahnya.