webnovel

Chapter 11 Lead The Way

Itu terjadi bertahun-tahun lalu, sebelum saat Roland duduk sendiri di bangku taman sambil menatap hp-nya. Ia melihat ada satu gadis yang bisa dibilang polos dikeroyok banyak perempuan. "Hei, busuk, kau itu tidak pantas sekolah di tempat kita, bukannya aku tak suka padamu tapi aku mencoba menyelamatkanmu dari lirikan semua orang," kata salah satu perempuan yang dari tadi mendorong-dorongnya.

"Jadi untuk itu, aku bisa menyelamatkanmu lebih cepat," ia mengambil silet besar dari sakunya. Gadis yang dibully itu terkejut dan mundur perlahan tapi dua orang pembully menahannya dari belakang.

"Kau tidak pantas hidup, jelek," gadis yang memegang silet itu membuka mulutnya dan memasukkan silet itu ke dalam mulut gadis yang dibully. Korban bullying itu hanya bisa menangis sambil berteriak kesakitan.

"Haha, ayo telan yang cepat," kata gadis pembully dengan tatapan membunuhnya tapi Roland datang dan memegang pundaknya sambil memutar ke hadapannya. Sehingga silet itu keluar dari mulut korban.

"Menyakiti gadis yang tidak bersalah, apakah kalian patut dibilang teman?" kata Roland dengan tatapan tajamnya yang tiba-tiba ada di belakang mereka.

"Huh, siapa kamu?" gadis itu akan melawan tapi Roland sudah memukul perutnya lebih dulu.

"Akh, awas kamu," gadis itu terjatuh dan dibawa temannya pergi.

Gadis yang terbully itu menangis duduk sambil menundukkan wajahnya. Roland membungkuk dan menyilangkan rambut gadis itu. "Aku membantumu bukan semata mendapatkan tangisan sia-sia, aku membantumu untuk dirimu berubah," ia menatap lalu berjalan pergi. Dan begitulah bagaimana dia bertemu Roland bahkan untuk yang bukan pertama kali.

---

--

-

"Kau..... Gadis itu... Itu saat... Sebelum aku bertemu di penitipan bukan?!" Roland berteriak sambil mengguncang pundak Imea yang mengangguk.

"Saat itu juga aku merubah tampilan ku, tapi tidak disangka dunia sudah berubah," kata Imea.

"Imea, haha, aku salut padamu, kau benar-benar hebat," Roland menatap tapi Imea menutupi mulut Roland dengan jari telunjuk.

"Ssst, aku tahu itu. Mas Roland, aku ini memang terlahir untukmu," ia menatap lembut. Roland ikut tersenyum dan akan mendekat memberinya ciuman. Tapi ada yang mengganggu.

"Ehem," Line menatap mereka seketika mereka berdua berhenti dan pura-pura tidak melakukan apa-apa.

"Jadi ini yang kudapat dari seorang junior, huh? Aku sedang kesusahan, kau malah senang-senang di sini," Line mendekat dengan tatapan dingin.

"Yah, tadi kan kau yang suruh," Roland membalas.

".. . Mas Line, apa yang terjadi dengan Mbak Uminoke?!" Imea menatap terkejut Uminoke yang pingsan digendong Line.

"Kau sudah tahu sendiri soal gadis Iran itu kan?" Line membalas lalu meletakkan Uminoke ke bawah.

"Pahanya terluka, aku tidak bisa menyembuhkannya," kata Roland.

"Apa maksudmu tidak bisa?"

"Sobekannya terlalu dalam dan lebar, luka ini membutuhkan jahitan juga alat untuk mengambil peluru yang ada di dalam," kata Roland sambil melihat luka Uminoke tapi ia terkejut.

"Itu hanya luka tembak," tatap Line dengan tidak percaya.

"Kau pikir kulit gadis ini sama seperti kulit kita, sesuatu juga sangat parah di sini," kata Roland.

"Ini agak parah... Line, aku tidak mau bilang ini tapi, tulang penyangga dan sarafnya putus, dia tidak bisa berjalan. Harus dilakukan operasi pencabutan pada pelurunya... Jika dilihat peluru itu sangat dalam mungkin tertembak dari jarak dekat."

Line yang mendengar itu menjadi terdiam. Imea pun juga ikut terkejut.

--

Malamnya Uminoke terbangun di sebuah ranjang putih dengan kakinya yang terperban. Ia melihat sekitar dan terkejut lalu melihat ke bawah. Terlihat Line tertidur duduk menemaninya. Uminoke memegang kepala Line.

Seketika Line memegang tangannya membuatnya terkejut, dan saat itu juga Line menariknya membuat Uminoke tertarik ke bawah dan mereka saling menatap sangat dekat. Uminoke terkejut canggung tapi tak disangka Line tersenyum manis padanya. "Apa yang kau lakukan bejat, itu tadi senyuman apa aneh banget?"

"Hm...? Kenapa? Aku sedang menghiburmu."

"Itu bukan menghibur!" Uminoke menyela tapi tiba-tiba ia terdiam kesakitan ketika memegang kakinya. "(Kakiku masih sakit... Apa karena... tembakan itu...)" dia terdiam lalu Line memegang pipi Uminoke membuatnya terdiam.

"Istirahatlah," kata Line yang berbalik melepas tangannya.

"Tu-tunggu, Line kau mau kemana? Apa kau akan meninggalkanku di sini?" Uminoke menatap.

"Aku hanya akan mengambil makanan sebentar," Line menatap dingin lalu berjalan keluar.

"(Dia tadi, tersenyum, kenapa jadi berubah gitu?)" Uminoke kesal sendiri.

Line keluar dan bertemu Imea yang ada di lorong, rupanya mereka ada di rumah sakit.

".. . Mas Line, bagaimana keadaan Mbak Uminoke?"

"Dia baik-baik saja, bisa kau antar makanan untuknya?" Line menatap lalu Imea mengangguk.

Setelah itu Line keluar dari rumah sakit melihat Roland yang masih saja memperbaiki mobilnya.

Roland yang mendengar sesuatu mendekat menjadi menoleh.

"Bagaimana dengan gadis itu?"

"Dia baik-baik saja."

"Hmp.... Jika tidak ada aku, pastinya kau sudah panik mencari yang lain," Roland menatap sombong karena dia yang mengoperasi Uminoke dengan alat yang ada di dalam rumah sakit kecil itu.

Roland memiliki pengalaman khusus sebagai dokter bedah tapi ia juga hebat dalam memperbaiki mobil karena itulah dia selalu memperbaiki mobil Jeep itu.

"Kau sudah memperbaiki mobilnya?" tanya Line.

"Ya, mobil ini sudah siap untuk perjalanan terakhir kita. Sekitar 6 jam lagi kita akan sampai ke Kyoto, oh... dan aku menemukan kucing tadi," Roland menunjuk bangku dalam mobil yang terdapat kucing Line. Line terkejut melihatnya karena kucing itu membawa sebuah foto kertas.

Line mengambilnya dan berpikir sendiri. Dia merasa bingung dan ikut melihat apa yang ada di foto itu dan ia benar-benar terkejut karena di foto itu ada zombie raksasa yang ada di tengah-tengah kota.

"Ba-bagaimana bisa?" Roland menatap terkejut.

"Ukurannya mungkin berkembang karena ulah sesuatu, lihat para zombie-zombie biasa itu menyerangnya dari bawah, artinya yang besar itu beda dengan yang biasanya."

"Tapi jika ukurannya setinggi gedung, bagaimana cara menghabisinya sebelum menghancurkan kota?"

"Itu soal yang tepat," kata Line lalu ia bersiul tanda memanggil kucingnya sambil ia mengulur tangan. Seketika kucingnya mengambil sesuatu yang ia bawa tadi, yakni sebuah buku. Roland menjadi agak bingung saat Line membuka buku polos itu dan membukanya.

"Hmp, ini dia," ia menunjukkan sebuah informasi mengenai virus infected.

"Virus ini terjadi pada beberapa abad lamanya yang lalu, tapi tidak parah karena virus ini akan lemah jika populasi asap semakin sedikit. Katanya virus ini mati saat seorang penyihir datang untuk memanggil hujan suci. Ketika hujan suci turun, populasi kotoran di sana menurun menyebabkan hilangnya virus ini. Buku ini aku dapat saat bertugas di Yunani dan Mesir."

"Hah...? Kau mendapatkan buku ini dari mana? Bukannya itu tidak benar lihat penulisnya saja tidak ada?" Roland menatap.

"Itulah kamu tidak tahu, selama bertugas aku meminta kucing ini untuk mencari barang tersembunyi yang harus dipelajari. Sudah banyak kasus seperti ini aku lewati selama bergabung bersama banyaknya intel di sini... Mereka bekerja cepat dan aku berhasil mengambil informasi seperti ini dari mereka," Line membalas dengan tatapan nyengirnya.

"(Aku tidak bisa meremehkan orang ini... Dia sudah kelewat hebat untuk menjadi pencuri informasi... Dia bahkan tak takut menjadi buronan setiap Agen.)... Jadi maksudmu, virus kanibal ini disebabkan oleh hujan kotor?"

"Ya, di tahun ini semuanya memang serba maju, tapi di balik kemajuannya pasti bakal ada yang namanya pencemaran. Sebelumnya kau pernah dengar kasus pencemaran limbah bukan? Itu disebabkan karena pola pikir manusia yang hanya mementingkan dirinya sendiri. Air untuk membuat hujan menjadi keruh dan menyebabkan matahari panas membuat uapan air semakin tinggi sehingga menguras banyak air kotor. Setelah itu diturunkan di sejumlah bagian dunia yang terkena awan tersebut."

"Lalu apa yang harus dilakukan untuk membunuh infected itu? Kau tidak mungkin memanggil hujan suci kan?"

"Hmp, kau ini bicara apa. Penyihir itu hanya ada dalam dongeng tua. Lagi pula kita ini dari Agen tersembunyi yang namanya dirahasiakan... Tunggu, kenapa aku jadi bahas ini, aku sudah keluar dari sana juga kan?" kata Line.

"Line, apa kau tidak takut mereka akan mencari kita?"

"Itu bukan masalah kita dulu," kata Line sambil mengulurkan tangan pada kucingnya lagi. Lalu kucingnya memberikan kertas kecil ke tangan Line.

"Ini buka ini," dia memberikannya pada Roland.

Roland yang bingung lalu membukanya, ia terkejut kertas kecil itu menjadi sebuah koran besar.

"Koran ini ditulis oleh agen kita sendiri," kata Line.

Roland membaca bahwa komunitas rahasia mereka yang berada tepat di hutan Inggris yang sangat luas. Terdapat bangunan benteng semacam kota dan di sanalah tempat aman bagi orang yang selamat dari virus.

"Mereka mencoba membuat vaksin penawarnya dengan uji coba pada manusia yang sudah tergigit," kata Roland dengan tatapan kakunya.

"Ya, karena itulah aku keluar dari sana, itu karena mereka bukan lagi komunitas rahasia di dunia mati ini," Line menambah.

"Padahal kau dulu sangat hebat."

"... Berhenti bicara omong kosong, bawalah banyak senapan karena kita akan melawan raksasa itu dengan segera," Line menatap dingin.

"Hah... Tunggu, kau tidak yakin kan... Kita tidak akan bisa melawan itu sendiri, kita butuh pesawat jet dengan bom ledakan besar. Bom itu akan menyebabkan dia langsung hancur ataupun tertimbun bangunan di sana."

"Itu memang benar tapi itu akan menghalangi jalan kita nantinya... Jika kita tidak bisa melawan, bagaimana dengan menjadi umpan memancingnya untuk ke tempat yang jauh?" tatap Line sambil berjalan meninggalkannya.

"Itu... Bagus juga..." Roland menjadi setuju dengan rencana-nya.

"Tapi ingat... Makhluk besar itu hanya ada satu... Jangan sampai nafas virusnya masuk ke makhluk yang lain. Itu bisa menyebabkan mereka semua menjadi besar dan terus beregenerasi," kata Line.

"Lewat apa nantinya?"

"Bukit... Kabut dari... Sesuatu... Aku masih belum tahu bagaimana caranya menyalurkan virus-nya pada kawanan yang lain," balas Line.

Tapi Roland menghentikannya. "Tunggu Line..."

Hal itu membuat Line menoleh padanya.

"... Aku pernah bilang bukan bahwa kau dulu menggunakan pedang sebagai senjata..."

"Memangnya kenapa? Aku lebih memilih pisau sekarang."

"Haiz... Tunggulah sebentar," Roland berjalan ke bagasi mobil membuat Line terdiam bingung.

Dia mencari-cari hingga menemukan sesuatu, sesuatu yang panjang dan dia menunjukkannya pada Line yang terkejut tak percaya melihat itu.

"Ini pedang milikmu," kata Roland.

"Bagaimana kau bisa..."

"Aku memutuskan untuk pergi mencarimu dan membawa pedang ini... Aku hanya ingin kau menjadi pemimpin yang begitu kuat melindungi bukan lari dari kenyataan," kata Roland.

Line terdiam sebentar lalu menerima itu. "Terima kasih, kau benar-benar gampang mengajak ku bicara," dia menatap dengan senyuman kecil membuat Roland juga ikut tersenyum kecil.

Nächstes Kapitel