webnovel

Saga

Kamu bantu ibu di rumah majikan ibu!"

"Tapi Anna kan harus belajar Bu." Anna menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara sang ibu.

"Belajar apa? Di sekolah sudah belajar. Jangan terlalu rajin, ingat ya kamu itu cuma orang miskin Anna. Jangan harap bisa kuliah di Luar Negeri dan capai tujuan kamu!"

Hidup Anna berubah drastis kala ayahnya terbaring koma karena kecelakaan. Sejak saat itu Anna lah yang harus mengerjakan pekerjaan rumah, bekerja sepulang sekolah, ibaratnya sejak dini Anna sudah membiayai hidupnya sendiri.

Sedang ibu dan saudara tirinya berleha-leha menikmati jeripayah yang Anna dapatkan. Sebetulnya Anna sudah tidak tahan, namun ia mempunyai seorang adik yang masih butuh tempat tinggal layak. Anna harus bertahan dan berharap semoga ayahnya cepat sadar dari koma.

"Kok ibu ngomong gitu? Aku boleh aja kalah soal materi, tahta dan yang lainnya, tapi aku gak mau sampai kalah soal otak. Aku optimis buat ngejar cita-citaku. Lagian aku gak pake uang ibu kan."

Beberapa hari ini sering ada rentenir yang menagih hutang ke kontrakannya dan rahasia ibu tirinya yang mempunyai banyak hutang akhirnya terbongkar. Selama ini wanita itu berbohong jika kedua anaknya mendapat tempat les gratis, tempat bimbel itu terynaya sangat mahal. Sementara Anna dan Saga tidak diizinkan sama sekali untuk les karena masalah biaya. Wanita itu tidak adil.

Rita—ibu tiri Anna harus memutar otak dan akhirnya memutuskan untuk bekerja di sebuah rumah mewah sebagai seorang pembantu. Namun lagi-lagi Anna juga harus ikut membantu pekerjaannya di sana. Sialan.

"Sombong sekali kamu! Lagian itu juga karena kamu dapat beasiswa! Udahlah mending keluar dari sekolah elit itu, lebih baik kerja buat bantuin bayar biaya rumah sakit ayah kamu tuh!"

"Sana siap-siap! Nanti malam akan ada acara di rumah majikan. Kamu harus ikut ke sana buat bantu-bantu!

"Jangan nolak!" pekik Rita sebelum Anna membuka suara.

***

Saat pertama masuk, Anna melihat seekor kucing menggemaskan menghampiri dirinya. Lantas Anna memangkunya sambil mengelus bulunya yang lembut.

Sang ibu menggertak— mengharuskan Anna harus cepat-cepat masuk. Di saat itu ada seorang pria yang memandang Anna dari atas, tepatnya di balkon kamar pemiliknya.

Selesai dengan pekerjaan memasak, Rita memerintah Anna untuk mengantar kukis dan beberapa camilan ke ruang keluarga.

"Bawa semua makanan ini ke ruang tengah," pinta Rita yang langsung mendapat anggukan dari Anna.

Tidak ada siapa pun yang Anna lihat, hanya ada televisi menyala tanpa penonton.

Gadis itu dibuat takjub beberapakali oleh isi rumah dengan interior ala eropa yang tidak banyak orang tahu.

"Wah luar biasa," puji Anna yang sesekali menjamah pernak-pernik di sela perjalanan menuju dapur.

Secara refleks Anna membalikan tubuhnya kala punggungnya terasa ada yang melempar. Jelas, ada sebuah kertas yang sudah dibulat-bulat jatuh di bawah kakinya.

"Siapa?" Tidak ada orang yang menyahut, tidak ada satu pun batang hidung di area ini. Anna cepat-cepat lari ke dapur.

"Kalian?" gumam Anna melihat dua orang gadis familiar sedang duduk santai sambil sesekali mencomot makanan yang sudah ia buat dan ibu tirinya beberapa jam lalu.

"Hai," sapa Nina—kakak tiri Anna yang seringkali mengambil barang Anna tanpa izin.

"Bu, aku mau apel itu dong," pinta Rina pada sang ibu. Rina adalah adik tiri Anna, sifatnya lebih ke seperti Rita, boros.

"Itu buat disiapkan di meja makan," sahut Rita tanpa memandang sang anak.

"Ah, satu doang!" Rina tidak peduli, ia tetap mengambilnya bak rumah ini adalah rumahnya.

"Hem! Andai aja kita gak kere. Enak kali ya jadi orang kaya. Punya rumah sebesar ini dan punya pembantu." Nina memandang ke setiap sudut, melihat dapurnya lebih besar ketimbang rumahnya yang terdiri dari beberapa petak saja.

"Kak Nina, Rina, kalian gak bantuin juga? Ke sini cuma buat makan aja?" sindir Anna yang sedari tadi sebetulnya sudah agak jengkel dengan sikap mereka. Maunya ingin enak saja.

"Apa sih lo! Gue sama Rina itu bukan babu! Sana lanjutin pekerjaan lo!" Nina membalas dengan ketus.

"Bu, aku mau pulang. Gak mood di sini!" ujar Nina. Suasana hatinya jadi berantakan karena pertanyaan Anna tadi.

"Tutup mulutmu Anna, kamu ga kasihan sama adik dan kakakmu? Mereka kecapean begitu, kamu suruh kerja! Kalau gak ikhlas bantuin ibu, sebaiknya kamu juga pulang sana!"

"Aku ikhlas kok Bu." Anna hanya bisa menghela napas. Lagi-lagi selalu ia yang disalahkan.

Sepulang Nina dan Rina, tibalah seorang wanita cantik berkulit putih dan wangi. Wanita itu lain dan tak bukan adalah pemilik rumah ini.

"Bi, anak saya gak mau keluar kamar, kamu tolong antarkan makanannya ke sana ya," titah wanita bernama Livia pada Rita.

"Baik, Nyonya."

Sebelum Livia pergi, wanita itu tampak m lemparkan senyum kecil pada Anna. Anna terpesona dengan senyum wanita itu, begitu cantik dan mendamaikan.

"Kamu dengarkan tadi, Anna?"

Suara Rita membuat Anna terbangun dari lamunannya.

"Maksud ibu, aku yang harus anterin ke atas?"

"Menurutmu harus ibu? Di dapur masih banyak kerjaan!" Rita memberi pelototan tajam.

***

Matahari mulai terbenam, menarik cahayanya dari perkara bumi. Saat ini sayap-sayap kenangan mengingatkan Anna pada mendiang ibu dan ayahnya yang sekarang terbaring koma. Anna sangat rindu momen ketika ia dan mereka tertawa bersama. Rindu ketika mereka mengatakan "kita tidak akan berakhir, kita akan selamanya" begitu harmoni saat diingat.

"Ayah, Anna kangen. Ayah kapan bangun?" Anna memandang ke luar jendela dengan mata berkaca-kaca. Keheningan malam membawa Anna pada lamunan yang menyakitkan tentang jalan waktu yang telah mengubah hidupnya jadi seperti ini.

"Ibu, Kak Nina dan Rina ga pernah berubah. Mereka bahkan malah makin menjadi." Anna menutupi wajahnya dengan tangan seakan menutupinya dari luka-luka masalalu.

"Kakak ....."

Suara lirih yang amat lembut membuat Anna sesegera mungkin menghapus derai air matanya. Ia tidak mungkin menunjukan kesedihannya pada sang adik.

Bibir Anna bergetar menjawab panggilan dari adik kecilnya.

"Ada apa, Ga? Kamu mau apa?" tanya Anna lembut sembari mengelus pipi anak itu yang lembut bagaikan sutra.

"Saga lapar."

"Ya udah kita cari makanan ke dapur ya."

Tiba di sana, Anna membuka tudung saji, namun tampak kosong. Beralih pada lemari, siapa tahu ada mie instan, namun lagi-lagi kosong.

Hati Anna sakit, sakit sekali. Hal ini sering terjadi, Saga sering tidur dalam keadaan perut lapar karena tak kebagian makanan oleh ibu dan saudara tirinya. Padahal setiap sore, Anna lah yang selalu memasak.

"Gak ada ya kak, makanannya?" Wajah Saga memelas. Anna bertambah iba.

Anna tidak sanggup melihat wajah Saga, rasanya tidak tega.

"Saga, kamu masuk ke kamar dulu ya. Kakak mau masak buat kamu. Nanti kalau sudah matang, kakak bawa ke kamar."

"Oke, kak. Kalau gitu, Saga ke kamar dulu."

Diam-diam tangan Anna merogoh saku roknya, mencari selembar uang di dalam sana.

Anna membuka mata, melihat uang di tangannya yang hanya berjumlah tiga ribu sisa ongkos naik angkot.

"Tiga ribu bisa beli apa?" Anna memutar otak sembari berjalan keluar.

Tampak pria berjaket hijau berjalan ke pagar rumah Anna. Pria itu menjinjing plastik berisikan makanan.

Anna langsung mencegah pria itu sebelum dia memanggil penghuni rumah.

Anna mengambil plastik itu dari tangan kurir. Kemudian kembali masuk ke dalam dengan perasaan campur aduk.

"Saga" panggil Anna pelan.

Laki-laki bertubuh kurus itu terbangun. Mengucek kedua matanya, lalu menghampiri Anna.

"Wah ayam goreng, kak?" Saga tampak berbinar-binar melihat dua potong daging ayam ada di piringnya.

Anna mengangguk dengan mengigit bibir bawahnya. Ia tidak mau tangisnya pecah di depan Saga.

"Kamu makan ya, kakak mau lanjut belajar."

Anak laki-laki itu mengangguk penuh semangat.

***

Nächstes Kapitel