Para petugas perempuan terkejut. Beberapa petugas laki-laki yang mendengarnya pun bergegas mendekat. "Ah, Buronan Internasional satu ini memiliki Sindrom Asperger. Dia akan merasa jijik ketika mendekati perempuan. Biar laki-laki sendiri yang menangani ini, kalian urus saja perempuan dan kedua anaknya itu," jelas si petugas laki-laki memerintah.
Si perempuan tadi menghela napas. "Baiklah," jawabnya terpaksa.
"Ma, siapa mereka. Kenapa kita dibawa ke sini?" Aksvar menoleh ke arah Qelia dengan tubuh bergetar, Vesko pun sama. Terlihat jelas kalau mereka berdua sedang ketakutan. Jelas ini pertama kalinya mereka diculik dan bertemu dengan orang lain. Terlebih, keduanya seperti hidup di zaman purba dan tak tahu apa-apa tentang teknologi masa kini.
Si pria Alpha pun langsung menengok ke arah Qelia. Dia juga terbelalak dan sontak beringsut menjauh. "Menjauhlah perempuan menjijikan!" teriaknya tak suka dengan sorot mata tajam.
Bukannya takut, Qelia malah menatap pria itu dengan tatapan tajam balik. "Tidak tahu diri," sindirnya dengan nada ketus.
Qelia kemudian beralih menatap Aksvar dan Vesko yang gemetar. Dia memasang ekspresi lembut dan mendekati mereka berdua. Setelah itu, dia mengecup pipi mereka berdua secara bergantian, lalu berkata, "Mereka ini orang yang mau bawa kita ke tempat luar biasa."
Qelia menjeda kalimatnya sesaat dan mengambil napas, kemudian dia melanjutkan ucapannya, "Jangan takut, walau Mama tidak ada di dekat kalian. Mama selalu bisa mengawasi kalian dari tempat yang sangat jauuhh sekali. Jangan takut ya Sayang. Jika ada yang mengganggu, kalian masih ingat apa yang Mama ajarkan bukan?"
Mendengar penjelasan sang Mama yang begitu lembut dan penuh perhatian. Aksvar dan Vesko seakan lupa apa yang mereka takutkan barusan. "Iya, Aksvar masih ingat!" jawab Aksvar dengan antusias.
"Vesko jugaa!" serobot Vesko tak mau kalah dari sang kakak.
Si perempuan yang tadi menjelek-jelekkan Qelia dan kedua bocahnya, kini sedikit ragu akan apa yang tadi dia ucapkan setelah melihat adegan ini. Ada rasa iri di dalam hatinya.
Mereka bertiga terlihat seperti keluarga yang bahagia. Terlebih, setelah dia melihat respon dari buronan Internasional yang tampan itu pada Qelia. Dia sedikit yakin, kalau Qelia dan pria itu tak memiliki hubungan apa-apa.
Kepalanya menggeleng berulang kali. Kedua tangannya mengepal. 'Bisa saja ini hanya akting. Mereka kan antek-anteknya Buronan Internasional itu,' batin si perempuan.
"Sudah! Ayo turun dari mobil!" tanpa ada rasa iba, dia menyela suasana harmonis yang tercipta dalam mobil sempit itu. Dia dan timnya mengiringi Qelia pergi ke ruang tahanan khusus wanita, sementara Aksvar dan Vesko berada di ruangan khusus anak-anak.
Tatapan tajam dan meremehkan tertuju jelas pada Qelia, saat ibu dua anak yang berjiwa kakek-kakek itu melangkah masuk ke ruang tahanan yang berjejer sel besi. Entah berapa jumlah tahanan di dalam sel pada ruangan itu, semuanya terlihat meremehkan Qelia.
"Ini sel-mu, jangan macam-macam!" peringat si petugas perempuan.
Tangannya bergerak membuka kunci sel dan kunci borgol Qelia, lalu memasukkan Qelia ke dalam sel khusus. Sel itu diisi oleh empat orang yang semuanya perempuan. Ketika Qelia sudah masuk, petugas perempuan tadi langsung meninggalkan ruangan sel tersebut dan keluar.
"Hei, anak baru." Salah satu tahanan yang memiliki tatto naga di lengan kanannya memanggil Qelia. Akan tetapi, Qelia mengacuhkan panggilan si tahanan itu dan terus melangkah menuju sudut sel yang sekiranya nyaman untuk ditempati.
Merasa diabaikan, si tahanan yang ber-tatto naga di lengan kanannya itu mengernyitkan keningnya kesal. Ketiga tahanan lain tak banyak bicara, mereka hanya mengamati dan terdiam sambil menyembunyikan rasa takutnya.
Brak! Suara dari hentakan tangan ke lantai sel yang kasar itu menggema di ruangan. Tiga tahanan lain tersentak, begitu juga dengan Qelia. Dia langsung menoleh ke arah tahanan yang menghentakkan tangannya.
"Beraninya kau mengabaikanku!" geramnya tak suka.
Qelia mengangkat sebelah alisnya kebingungan. Dia menunjuk dirinya sendiri dan bertanya, "Aku?"
Raut tak bersalah terukir jelas di wajah Qelia. Perempuan yang menghentakkan tangannya itupun merasa terhina. Dia menggertakkan giginya kesal. Bangkit dari duduk, dia mendekat ke arah Qelia dan mencubit dagu Qelia dengan kuat.
"Siapa lagi jika bukan kamu, Jalang," jawabnya mengejek Qelia. "Sepertinya kamu juga seorang Beta," sambungnya tak merasakan aura feromon sama sekali dari Qelia. Dia menggerakkan kepala Qelia untuk menoleh ke kanan dan ke kiri sambil mengamati Qelia dengan sangat teliti.
Di lain sisi, Qelia yang diperlakukan seperti itu hanya terdiam. Matanya melirik ke arah nomor tahanan dan nama si perempuan yang ber-tatto naga di lengan kanan itu. 'Jennice,' batinnya yang kemudian melirik ke arah lain.
"Jauhkan tanganmu. Kita bisa bicara baik-baik," ucap Qelia yang tak ingin mencari gara-gara. Saat ini, dia sedang berdiskusi dengan Xevanus. Tapi pembicaraan mereka berdua terputus gara-gara Jennice yang menghampiri dan menjepit dagunya dengan tenaga cukup kuat.
'Wah, harus aku akui tekadnya. Tapi kamu akan berakhir sama seperti kami,' batin tiga orang perempuan tahanan lain yang mundur. Mereka menerawang pada saat pertama kali masuk ke tahanan ini. Masuk dengan percaya diri, tapi akhirnya jadi babak belur dan berpangkat babu karena berhadapan dengan Jennice.
Jennice memiringkan wajahnya, dia lalu tersenyum dan tertawa terbahak-bahak mendengar kata-kata Qelia. Jennice melepaskan cengkramannya dari dagu Qelia, lalu melayangkan tamparan. Plakk! Wajah Qelia pun langsung menoleh ke samping.
"Beraninya kau memerintahku, dasar Jalang tidak tahu diri!" hardiknya menatap tajam pada Qelia.
Qelia terdiam, dia mencerna apa yang terjadi pada dirinya saat ini. Rasa panas dari pipinya akibat tamparan dari Jennice pun membuatnya mengerti dengan cepat situasi saat ini.
Ekspresinya menjadi datar, tapi Jennice tak melihatnya karena tertutupi dengan rambut merah muda milik Qelia. Kedua tangan Qelia perlahan membentuk kepalan. "Hei, tatap mataku!" titah Jennice merendahkan.
Kepala Qelia pun bergerak, dia mendongkak menatap mata Jennice dengan sorot mata dingin sambil menahan amarah. Deg! Sesaat, Jennice merasa seperti membeku ditempat ketika melihat sorot mata Qelia.
"Katakan lagi," tekan Qelia bangkit dari duduknya dan mengeluarkan sedikit tekanan.
Tubuhnya lebih pendek dari Jennice yang badannya besar dan berisi, tapi itu bukan halangan baginya untuk menjatuhkan Jennice jika dia ingin. Jennice yang merasa tertekan melangkah mundur perlahan dari Qelia.
'Sial, mengapa tubuhku bergetar seperti ini?' tanyanya dalam hati. Matanya melirik ke arah Qelia yang masih menatap tajam. 'Tak mungkin aku takut pada dia bukan?' batinnya merasa konyol jika itu benar.
"Katakan lagi aku bilang!" tekan Qelia meninggikan suaranya.
Tahanan lain yang berada di sebelah selnya pun merasa penasaran akan apa yang terjadi. Sayangnya mereka tak bisa melihat bagaimana isi sel Qelia saat ini.
"Be–beraninya kau meninggikan suara di hadapanku!" Jennice menyembunyikan rasa takut dan terintimidasinya, lalu mengangkat tangan. Mencoba untuk menampar Qelia sekali lagi.