"Sekarang, Tuan sudah berhasil melakukannya. Aku hanya perlu memperhatikan dia dan dua Tuan muda saja," gumam Xevanus sangat pelan sekali, hanya dia saja yang bisa mendengarnya.
Serupa kata yang Xevanus ucapkan. Qelia merasakan kalau feromon yang ada di sekitarnya ini mulai melemah, tak lagi sepadat tadi. Langkahnya pun semakin cepat. Namun, keadaan goa saat dia semakin jauh semakin minim akan cahaya.
Bisa dibilang hampir tidak ada cahaya satupun. "Aku tak bisa melihat lagi di dalam sini," gumam Qelia dengan aksen yang terdengar sedang sangat resah. "Aku harus memfokuskan pikiran untuk mencari asal feromon ini!" sambung Qelia mengepalkan tangan.
Dia menutup kedua mata dan mulai fokus. Kakinya tetap melangkah, mendekat menuju tempat di mana feromon Alpha ini semakin kuat terasa. "To–tolong." Suara yang sangat lirih, hampir seperti tak ada tenaga itu terdengar.
Qelia membuka kedua matanya dan melihat ke arah kanan, di mana asal dari suara itu terdengar. Walau tak bisa melihat, tapi Qelia bisa merasakan dan mendengar. 'Di sini!' tebaknya.
Benar saja. Tak lama, kakinya tersandung sesuatu dan tubuhnya ambruk ke depan. "U–uuughh! Sa–sakit!" suara keluhan sakit pun langsung terdengar. Di mana Qelia langsung sadar, kalau dia sedang menimpa tubuh Alpha yang sedang dicari.
Tangannya pun bergerak spontan untuk mencari tempat sandaran, agar bisa bangkit. Namun, tanpa sengaja tangannya menyentuh sesuatu. Sesuatu itu langsung menonjol, padahal bukan bakat.
"Aaak, maaf!" teriak Qelia terkejut sendiri. Dia langsung menyingkirkan tangannya dan memegang tanah, lalu berdiri. "Saya di sini untuk menyelamatkan Anda, Tuan," jelas si Qelia, berharap sekali kalau Alpha di depannya itu tak salah paham.
Tanpa banyak omong. Qelia langsung menarik tangan orang yang sedang sekarat itu dengan lembut, setelah itu memautkan tangan si pria di lehernya untuk berjalan keluar. "Bertahanlah Tuan!" pinta Qelia mempercepat langkahnya.
Di saat dia membantu pria itu. Entah mengapa, Qelia tak merasa bahwa tubuh pria itu berat. Malah terasa ringan, seakan dia mampu membawa tubuh Alpha yang sedang dipapah ini dengan gaya bridal style, khas pengantin baru.
'Apa yang kau pikirkan! Hapus pikiran itu!' batin Qelia menggelengkan kepalanya.
Si pria Alpha yang mendengar kalimat Qelia hanya mengangguk pelan. Dia mencoba mempertahankan kesadarannya sendiri, agar tak pingsan. 'Dia perempuan?' tebak si pria, setelah mendengar kalimat dari Qelia tadi.
Sebenarnya pria itu menderita Sindrom Asperger. Di mana, dia merasa jijik atau bahkan menjadi emosi ketika disentuh oleh seorang perempuan yang bukan keluarnya. Entah itu tua atau bahkan muda.
Dikarenakan hal ini, dia menjadi agak sulit untuk berkomunikasi dengan para perempuan. Sehingga, siapapun perempuan yang mendekatinya. Dia akan menolak mereka dengan tegas. Bahkan tak segan untuk menampar perempuan, ketika dianggap telah melewati batas.
Untuk pertama kalinya, dia mencoba menahan diri untuk tidak jijik terhadap perempuan yang sedang menyelamatkannya ini. Sebab, dia sendiri yang meminta diselamatkan.
'Tak pernah terkira olehku, bahwa aku akan diselamatkan oleh perempuan,' batin si pria tersenyum ironis, sebelum dia benar-benar kehilangan kesadaran.
Beberapa waktu yang cukup kemudian, di bibir goa ....
"Kenapa Mama lama ya Kak?" tanya Vesko dengan nada ingin merajuk. Entah berapa lama dia menunggu, hingga merasa bosan. Matahari yang sudah mulai terbenam membuat tempat di sini menjadi agak gelap dan sedikit dingin.
Hening, tak ada jawaban. Vesko pun melihat ke wajah Aksvar yang sedang terdiam dengan raut yang dipenuhi emosi terpendam. 'Kenapa ekspresi kakak seperti itu?' tanya Vesko dalam hati.
Dia pun mengikuti arah pandangan sang kakak, lalu menemukan kalau mama mereka sedang memapah seorang pria. "Mamaaa!" teriak Vesko dengan nada bahagia. Dia menyembunyikan rasa kesalnya ketika melihat itu.
Vesko bangkit dari duduknya dan berlari menuju Qelia yang baru saja keluar dari goa. Aksvar tersadar dari lamunannya, dia juga ikut meneriakkan kata 'mama' dan berlari menuju sang mama.
'Akan kusingkirkan pria itu!' tekad keduanya secara bersamaan dalam hati.
"Peluk Maa!" teriak Vesko dan Aksvar serentak, merentangkan kedua tangan mereka. Qelia melihat ke arah kedua bocah itu. Dia terbelalak dan ingin menolak, sebab sedang memapah pria yang sedang sekarat. Namun apa daya, keduanya sudah dekat dan langsung loncat.
'Tak ada cara lain!' batin Qelia sambil tersenyum manis ke arah kedua bocahnya.
Saat itu juga, dia melepas tangan pria yang sedang dipapah. Kemudian menangkap tubuh Vesko dan Aksvar secara bergantian ke dalam pelukannya. Sementara pria Alpha tadi?
Pria Alpha itu terjatuh tak sadarkan diri, hingga terdengar suara tubrukan dengan tanah yang cukup keras. Qelia sontak menoleh. "Eh? Dia tak sadarkan diri?" tanya Qelia pelan dengan mata terbelalak.
'Darah?' batin Qelia terbelalak tak percaya dengan reaksi terkejut.
Bagaimana tidak terkejut? Pria yang diselamatkannya barusan itu, sepertinya sedang memiliki luka pada bagian pinggang, karena darahnya mengalir dari arah pinggangnya.
"Ma, kenapa lama banget di dalam goanya?" tanya Aksvar dengan nada manja, bergelayutan dalam pelukan sang mama. Vesko tak mau kalah, dia mencoba dengan nada lebih manja. Bahkan sampai memasang wajah memelas, berharap mendapat elusan dari sang mama.
"Sayangnya Mama yang tampan-tampan. Turun dulu ya, Paman ini sepertinya sedang terluka dan sekarat. Jadi harus dibawa ke gubuk dulu, untuk diselamatkan!" jelas Qelia dengan nada lembut pada Aksvar dan Vesko.
Keduanya pun diturunkan dari pelukan Qelia. Tanpa disadari, Aksvar dan Vesko merajuk dalam hati. Mereka melihat ke arah pria Alpha yang baru saja diselamatkan oleh sang mama.
Tatapan penuh kebencian yang murni nan polos itu terarah pada sosok tak sadarkan diri. Qelia mengambil tangan pria itu, lalu memapahnya seperti apa yang dilakukan sebelumnya.
"Aksvar, Vesko. Ayo kita pulang ke gubuk dulu!" ajak Qelia kepada kedua bocah yang sedang merajuk, tanpa disadarinya itu. "Kalian berdua, jalan lebih dulu ke arah gubuk. Kasih liat Mama jalannya," sambung Qelia dengan nada perintah.
Bukan karena dia lupa jalan pulang. Hanya saja, dia khawatir kalau berjalan lebih dulu. Kedua bocah itu akan tersesat, terlebih kalau hari sudah mulai gelap. Sekitar 20 menit mereka menyusuri hutan, akhirnya mereka kembali ke gubuk.
Qelia langsung menurunkan tubuh pria itu ke atas matras yang sangat tipis, lalu melirik ke arah Aksvar dan Vesko yang sedang melihat. "Sayang, kalian berdua berbalik dulu. Jangan melihat ke arah sini, soalnya Mama takut kalau nanti kalian trauma sama darah!" tegas Qelia dengan nada perintah.
Dua bocah kembar itu memiringkan kepala, tapi setelahnya mengangguk seakan mengerti perintah dari Qelia. Akhirnya, mereka membalikkan badan sambil memikirkan apa arti dari kata trauma.
Wajar saja, sebab keduanya bukanlah anak yang belajar di sekolah. Tetapi anak yang sedang beradaptasi di hutan, dan menghabiskan lima tahun kehidupan awalnya di hutan.