Di saat-saat genting seperti ini keahlian melempar pisau Alice nyatanya sangat berguna sekali untuk melawan musuh. Bukan hanya kecepatan, ketepatan, tapi juga kecermatan dalam memperhitungkan target sasaran juga sangat dibutuhkan, dan hebatnya lagi lemparan pisau Alice tidak pernah meleset sama sekali.
Hanya dalam sekali lemparan, pisau Alice mampu melumpuhkan William, pimpinan pembunuh bayaran itu memekik kesakitan dan reflek melempar pistolnya ke jalan.Darah segar seketika mengucur deras saat lelaki berwajah bengis itu mencabut pisau milik Alice,
William dan ketiga anak buahnya langsung berlindung di balik mobil mereka saat Alice mulai menembaki keempat penjahat suruhan Julian dan Matteo, sedangkan Alice dan Peter saat ini tengah berlindung di balik mobil milik Peter agar tidak terkena tembakan. Baku tembak di Antara kedua kubu pun tak bisa terelakkan, karena kedua kubu berusaha untuk mempertahankan hidup masing-masing.
Mobil Peter terlihat dipenuhi lubang akibat tertembus peluru musuh yang terus berterbangan ke arah Peter dan Alice.
"Alice, lindungi aku!! Aku akan bergerak maju untuk mengambil Evan," titah Peter.
"Apa kakak sudah gila?!! Mana mungkin Kak Peter bisa sampai di sana tanpa tertembus peluru," pekik Alice.
"Kita tidak punya pilihan, Alice!! Apa kau mau Evan mati tertembak di sana?! Tidak, aku tidak akan membiarkan itu terjadi."
Sebuah peluru hampir saja menembus tubuh Alice jika saja tubuh gadis itu miring walau hanya satu senti. Gadis itu tampak sedang mengatur napasnya yang sedang tidak beraturan, saat ini ia sedang memikirkan satu cara untuk bisa menyelamatkan Evan.
"Kak Peter alihkan perhatian mereka," ujar Alice.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Peter.
"Melakukan serangan frontal," jawab Alice.
"Maksudnya?" tanya Peter
"DON'T THINK JUST SHOOT!!"
Tangan kanan Alice memegang pistolnya, gadis itu kemudian berlari kencang menuju ke mobil Evan yang keadaannya sudah sangat ringsek. Hanya dalam hitungan detik saja Alice sudah berhasil mencapai mobil Evan dan langsung berlindung di baliknya, gadis itu berusaha menarik tubuh Evan dan mengamankannya agar tidak terkena tembakan.
"Bagus Alice, kakak bangga kepadamu," lirih Peter dan kemudian kembali menembak.
Alice saat ini sedang membidik salah satu anak buah Willian, gadis itu menarik pelatuk pistolnya dan peluru yang ditembakkan Alice berhasil menumbangkan salah satu anak buah William, dan Peter juga berhasil menumbangkan salah satu anak buah Wiliam yang kini hanya tersisa dua orang saja.
Indra penciuman Alice tiba-tiba mengendus bau bahan bakar mobil Evan yang kini sedang menetes keluar dari tangki mobil dan mengalir di jalanan beraspal, ekspresi wajah Alice seketika menegang saat melihat aliran bahan bakar mobil tersebut. Mobil Evan yang kini ia pakai untuk berlindung bisa sewaktu-waktu meledak, saat ini Alice terjebak dalam pilihan yang sangat sulit, jika ia tetap tinggal dan berlindung di balik mobil Evan maka dirinya pasti akan celaka.
Akan tetapi jika ia nekat berlari ke arah mobil Peter dengan membawa Evan yang tengah terluka, maka risiko yang harus ia hadapi adalah tertembak. Dan Alice harus segera mengambil keputusan kalau ia tidak ingin mati konyol.
"Kak Evan!! Kak Evan, sadarlah!! Apakah kak Evan bisa mendengarkanku? Kak Evan," panggil Alice tang mencoba untuk menyadarkan Evan.
Kelopak mata Evan terbuka, namun pria itu lemah dan pria itu hanya bisa menggumam seperti mencoba untuk berbicara namun tidak jelas apa yang ingin ia bicarakan.
"Kita harus segera pergi dari sini, kak Evan bisa berjalan, 'kan?" tanya Alice.
Namun sayangnya Evan tidak terlalu merespon, dan Alice bergegas melingkarkan tangan Evan ke pundaknya lalu ia membantu pimpinan Cosa Nostra itu berjalan menuju ke tempat perlindungan Peter meski tembakan peluru sedang berterbangan. Di saat Alice tengah memapah Evan, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di dekat mobil Peter, seorang pria langsung turun dari mobilnya dan melepaskan tembakan ke arah William untuk mengalihkan perhatian pembunuh bayaran itu agar tidak menembaki Alice.
Satu tembakan pria itu berhasil mengenai tubuh Willian, sehingga pimpinan pembunuh bayaran itu langsung mundur untuk menyelamatkan diri, Peter bergegas membantu Alice dengan membawa tubuh Evan.
"Alice, kamu baik-baik saja, 'kan?" tanya Peter sembari membopong tubuh Evan.
"Cepat bawa masuk ke mobilku," titah sang pria tersebut kepada Peter.
Dan tanpa berpikir panjang, Peter segera memasukkan Evan ke dalam mobil.
"Ar–thur," lirih Alice.
"Alice, apakah kamu baik-baik saja? Apa kamu terluka?" tanya Arthur.
Namun Alice tidak menjawab ataupun merespon pertanyaan dari Arthur, dan sepersekian detik berikutnya tubuh Alice tiba-tiba tumbang tepat di pelukan Arthur.
"Alice!! Alice!! Ada Apa? Apa yang terjadi kepadamu?"
Suara pekikan Arthur membuat Peter terkejut, kakak kandung Alice itu langsung berlari menghampiri Arthur dan Alice. Jantung Peter rasanya ingin mencelos keluar dari dadanya saat melihat bahu bagian belakang adik perempuannya sudah basah oleh darah, saat Alice memapah tubuh Evan, gadis itu terkena tembakan peluru William yang membuat Alice kini tidak sadarkan diri.
Arthur dengan cepat menggendong Alice, mendudukkan gadis itu di bangku depan lalu memakaikan sabuk pengaman ke tubuhnya, setelah itu ia berlari ke sisi mobil satunya dan segera duduk bangku kemudi menunggu Peter masuk ke dalam mobil.
"Apakah kau punya dokter pribadi?" tanya Arthur kepada Peter.
"Bawa ke rumah sakit saja," jawab Peter cepat.
"Jangan!! Karena di rumah sakit terlalu berbahaya terlebih jika pasiennya terluka tembakan peluru," sahut Arthur cepat.
"Apa kau hanya akan diam saja melihat keduanya sekarat?! Cepat ikuti saja arahanku, kita akan pergi ke rumah sakit milik keluarga Evan," bentak Peter yang sudah kesal kepada Arthur.
Arthur tidak lagi berdebat, ia kemudian menstarter mobilnya dan mengemudikan mobilnya menuju ke rumah sakit yang diarahkan Peter. Arthur mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi agar cepat sampai ke rumah sakit, 20 menit kemudian mobil Arthur sudah sampai di depan rumah sakit sesuai arahan Peter.
Arthur bergegas menggendong Alice sedangkan Peter membopong Evan memasuki rumah sakit, beberapa dokter jaga serta perawat dengan sigap melakukan penanganan Alice dan Evan. Sedangkan Arthur dan Peter saat ini sedang menunggu di ruang tunggu.
Arthur duduk di kursi dengan kedua tangan yang berlumuran darah Alice, netra pria itu menatap kosong ke arah lantai rumah sakit. Peter dan Arthur sama-sama terdiam tanpa bersuara ataupun mengucapkan sepatah kata pun, sekilas Peter sempat menatap ke arah tangan Arthur dan kakak kandung Alice itu dengan cepat mengeluarkan sebuah sapu tangan dari sakunya lalu ia berikan kepada Arthur.
"Pakai ini untuk membersihkan tanganmu," ucap Peter.
Arthur mengambil sapu tangan Peter, pria itu mulai mengusap darah di tangannya menggunakan sapu tangan Peter dan otomatis membuat warna kain yang semula berwarna putih itu seketika menjadi merah.
"Terima kasih," ucap Peter tanpa menoleh ke arah Arthur.
"Untuk?"
"Karena kau sudah menyelamatkan kami," jawab Peter cepat.
"Tidak perlu berterima kasih, aku hanya kebetulan saja melintas di jalan. Dan aku baru tahu kalau ternyata Alice sedang dalam bahaya, jadi aku ikut membantu kalian," jelas Arthur yang membuat Peter sontak menoleh ke arah Arthur.
"Apakah kau teman Alice? Kenapa Alice tidak pernah bilang kepadaku kalau dia punya teman seorang pria?" tanya Peter penuh selidik.
"Bukan teman, lebih tepatnya adalah atasan," jawab Arthur.
Pandangan Peter kini beralih ke arah lain, seperti sedang memastikan suasana sekitar lalu berkata. "'Apa kau tidak bertanya kenapa kami diserang oleh keempat pria itu secara brutal?"
"Tidak!! Ini bukanlah urusanku dan aku tidak mau terlibat ke dalam urusan lain,"' Jawab Arthur dengan wajah yang datar.
"Baguslah, jadi aku tidak lelah untuk mendongeng."
Arthur langsung menoleh ke arah Peter. "Apa?"
"Tidak apa-apa," jawab Peter.
Dan di saat yang bersamaan juga, kedua dokter yang menangani Alice dan Evan keluar. Peter bergegas menghampiri kedua dokter untuk menanyakan keadaan Evan dan juga Alice, ekspresi wajah Peter yang semula tampak sangat khawatir, kini sudah berubah tenang setelah mendapat penjelasan dari dokter. Dari tempatnya duduk saat ini, Arthur samar-samar mendengar nama Alice disebut dan dokter mengatakan kalau gadis itu baik-baik saja, dan setelah mendengar kabar itu, Arthur segera pergi meninggalkan Peter yang masih berbicara dengan dokter.
****
Sementara itu di kediaman Presiden ...
Benjamin Alfredo adalah Presiden Italia berusia 50 tahun yang sudah menjabat selama lebih dari 5 tahun, Benjamin dikenal sebagai seorang presiden yang baik, penyayang dan selalu rutin melakukan kegiatan amal dengan mendonasikan banyak uang untuk membantu rakyatnya, akan tetapi itu hanyalah sebuah pencintraan saja untuk menutupi kebusukan dan juga perbuatan kotornya untuk menarik simpati rakyat.
Dibalik kebaikan Benjamin, ternyata dia adalah seorang monster yang sangat kejam dan rela melakukan apa saja demi mendapatkan kekuasaan dan ia akan menyingkirkan siapa saja yang berani menghalanginya.
"Apa kau sudah menghancurkan semua dokumen yang aku perintahkan?" tanya Benjamin kepada asistennya.
"Sudah, Pak. Bahkan dokumen kematian 3 agen inteligen Italia–Agenzia Informazioni e Sicurezza Esterna (AISE) yang sempat diselidiki oleh pihak kejaksaan semuanya sudah dihancurkan. Sekarang, bapak tidak perlu merasa khawatir," jelas sang asisten.
"Bagus, bagus sekali. Dan singkirkan semua orang yang berani menghalangi jalanku," titah Benjamin dengan senyum yang menyeringai.
To be continued.