webnovel

Bab 19. Serangan Rahasia Julian.

Iris membaca lembar demi lembar dokumen kasus Rhea, perasaannya tiba-tiba terasa tidak enak. Gadis itu merasa deja vu saat melihat foto Rhea, ia juga merinding saat membaca laporan yang menyatakan bahwa jantung dan kornea mata Rhea telah diambil.

"Siapa pembunuhnya? Kenapa pembunuh Rhea begitu kejam? Apakah ini ada hubungannya dengan sindikat penjualan organ tubuh manusia? Semoga saja kak Julian tidak ada hubungannya dengan sindikat penjualan tubuh manusia seperti ini," gumam Iris.

"Investigator Malvino, bisakah kau carikan aku data tentang kasus penjualan organ tubuh manusia selama 5 tahun terakhir ini kepadaku? Dan juga tolong cari tahu, apakah ada kelompok mafia tertentu yang terlibat dalam kasus perdagangan organ tubuh manusia," titah Iris.

"Bisa, saya akan berikan laporannya secepat mungkin kepadamu," sahut Malvino cepat.

"Oh iya satu lagi, tolong carikan informasi tentang Evan Luciano–calon suami Rhea Marino. Aku mau ke ruangan Jaksa Diego sebentar," pinta Iris seraya mengambil dokumen kasus Rhea.

Iris keluar dari kantornya, ia berjalan menuju kantor Diego–jaksa senior yang sudah mengabdi selama hampir 8 tahun lamanya. Diego dikenal sebagai jaksa yang handal, ia selalu menang dan tak pernah kalah di persidangan.

Bahkan ia dijuluki sebagai jaksa iblis karena ia adalah jaksa yang tidak terkalahkan, dan sebagai senior. Diego sangatlah baik , ia tidak pelit ilmu dan suka sekali membantu rekan-rekannya sesama jaksa.

Ruangan Diego sangatlah dekat dan hanya berjarak beberapa meter saja dari ruangan Iris, semua ruangan jaksa senior ataupun junior saling berderetan dan terletak di satu lorong yang panjang. Hari ini semua jaksa terlihat sangat sibuk, bahkan beberapa diantaranya sedang melakukan interogasi yang sampai menggebrak meja hingga membuat Iris terlonjak kaget saking kerasnya suara gebrakan mejanya

Iris kini sudah berada di depan kantor Diego, pria itu terlihat sedang sibuk mempelajari dokumen kasus yang kini sedang ditanganinya. Karena Diego tidak sedang melakukan interogasi, Iris pun memberanikan diri untuk mengetuk pintu kantor Diego.

"Masuk," sahut Diego seraya membalik halaman dokumen.

"Maaf mengganggu waktunya, saya ingin menanyakan tentang satu kasus kepada Jaksa Diego," ucap Iris yang masih berdiri di ambang pintu.

Diego tersenyum lalu menutup dokumennya, netranya kini beralih ke arah Iris. "Boleh, silakan masuk dan duduklah. Jangan sungkan-sungkan kalau ada yang ingin kau tanyakan kepadaku," sahutnya.

Iris berjalan masuk lalu duduk di kursi tepat di hadapan Diego.

"Umm ... kasus apa yang sedang kamu tangani?" tanya Diego ramah.

"Jaksa Diego, saya tadi baru mendapatkan kasus tentang kematian seorang wanita yang bernama Rhea. Dan dari laporan medisnya tertulis kalau jantung dan mata Rhea hilang, saya pikir ini adalah kasus penjualan organ tubuh manusia. Akan tetapi, ada yang aneh dari kasus ini. Kalau benar ini adalah kasus penjualan organ tubuh ilegal, tapi kenapa hanya jantung dan mata Rhea saja yang diambil? Sedangkan organ lainnya seperti hati, ginjal dan yang lainnya tidak," papar Iris yang diangguki oleh Diego.

"Mungkin ini salah satu ulah dari sindikat penjualan organ ilegal, saya kemarin juga mendapatkan laporan kalau ada kasus sama persis seperti yang kamu tangani saat ini. Yang diambil hanyalah jantung dan juga mata saja sedangkan organ lainnya masih utuh," ungkap Diego.

"Lalu ... apakah pelakunya adalah orang yang sama?" tanya Iris

"Bisa jadi, karena polanya juga sama. Tapi, bisa juga kalau kasus ini bermotif dendam. Karena kalau ini untuk bisnis, jelas semua organ yang bisa menghasilkan uang akan diambil semua, bukan hanya jantung atau mata saja," duga Diego.

"Dendam?" tanya Iris mengulangi perkataan Diego.

Diego mengangguk perlahan."Benar."

" Kamu harus melakukan investigasi lebih lanjut, tapi kamu harus ekstra berhati-hati. Karena kalau ini benar menyangkut sebuah organisasi mafia ataupun sindikat yang paling kejam, kamu tidak boleh melakukan satu kesalahan sekecil apapun. Karena bisa jadi dibalik perdagangan organ tubuh manusia secara ilegal ada banyak orang yang mempunyai kekuasaan turut mengambil andil yang melindungi mereka," imbuh Diego.

"Baiklah, saya mengerti," ucap Iris.

"Kalau kamu mau, aku bisa membantumu untuk menangani kasus ini. Tapi, aku harus meminta izin dulu kepada kepala Jaksa. Setelah aku mendapat persetujuan, baru aku bisa membantumu," ucap Diego menawarkan bantuan kepada Iris.

"Benarkah? Jaksa Diego mau membantuku? Kalau begitu saya juga akan meminta izin kepada kepala jaksa," tanya Iris memastikan, matanya tampak berbinar.

"Benar, karena aku pribadi ingin sekali menangani kasus penjualan organ tubuh manusia ini sejak lama. Bahkan aku juga sudah mulai melakukan penyelidikan secara diam-diam, jadi, aku harap kita bisa bekerja sama dengan baik setelah mendapat persetujuan dari kepala jaksa," jawab Diego.

"Baiklah, mari kita bekerja sama dengan baik."

Iris merasa sangat beruntung karena mempunyai senior yang sangat baik dan bisa diajak kerja sama seperti Diego. Setelah berbicara dengan Diego, Iris kembali ke ruangannya.

"Investigator Malvino, apakah kamu sudah mendapatkan informasi tentang Evan Luciano?" Tanya Iris yang baru saja sampai di ruangannya.

"Sudah!! Ini dia semua catatan tentang Evan Luciano seperti yang Jaksa Iris minta tadi," jawab Malvino seraya berjalan ke meja Iris dengan menyerahkan beberapa lembar kertas kepada Iris.

"Oke, terima kasih." Iris langsung memeriksa dokumen yang diserahkan oleh Malvino kepadanya.

Netra Iris bergerak ke kanan dan ke kiri saat membaca dokumen yang berada di tangannya saat ini. Tidak lama, hanya beberapa menit waktu yang dihabiskan Iris untuk memeriksa dokumen Evan.

"Evan Luciano, seorang pimpinan Cosa Nostra. Mempunyai bisnis di bidang perhotelan dan juga klub malam, dan untuk catatannya bersih karena tidak melakukan pelanggaran. Apakah data ini valid?" tanya Iris memastikan.

"Benar, data itu valid. Catatan kriminal Evan Luciano bersih, bahkan Jaksa Diego pernah menyelidiki Evan Luciano. Dan semua catatan kriminalnya bersih, bahkan Evan menentang human trafficking secara terang-terangan dan dia juga tidak menyelundupkan narkotika. Bukankah dia mafia yang yang sangat aneh?!" Malvino tersenyum mengejek saat menjelaskan tentang jati diri Evan, namun Iris Kini terlihat sedang termenung.

"Evan Luciano ... Evan Lucia–no .... Pria macam apakah kau sebenarnya? Rhea–Evan," gumam Iris.

Iris langsung menyambar ponsel, tas dan juga kunci mobilnya. Iris kini sedang bersiap untuk pergi.

"Jaksa Iris mau kemana?" tanya Malvino.

"Aku ada urusan sebentar, nanti kalau kepala jaksa bertanya. Bilang saja aku keluar sebentar," jawab Iris yang langsung bergegas keluar dari kantornya.

*****

Mansion Luciano ..

"Evan, apa kau sudah tahu? Salah satu anak buah Julian yang berada dalam daftar hitam pembunuhan Rhea, kini ia sedang mengintai di sekitar klub malam D'Ellio?" tanya Peter.

"Aku tahu," jawab Evan santai.

"Sepertinya Julian mulai bergerak melancarkan serangan balasan kepada kita untuk membalas dendam atas kematian Papanya," ucap Peter.

"Aku tahu," sahut Evan santai.

"Kalau kamu sudah tahu, kenapa kamu tidak mengambil tindakan? Bagaimana kalau anak buah Julian menyerang kita terlebih dahulu? Biar aku saja yang akan membereskan anak buah Julian. Kalau hanya membereskan satu kucing kampung saja, itu adalah urusan yang sangat mudah," ucap Peter dengan entengnya.

"Tidak semudah itu Peter, mungkin saja Julian hanya menggunakannya sebagai pion untuk mengecoh perhatian kita saja," timpal Evan cepat.

"Maksud kamu, Julian saat ini sedang merencanakan satu serangan besar yang mematikan, tapi dia menggunakan anak buahnya sebagai umpan agar perhatian kita terfokus kepada anak buahnya? Dan di saat perhatian kita sudah benar-benar terfokus pada anak buahnya itu, Julian akan menyerang habis-habisan. Itu 'kan maksudmu?"

"Tepat sekali!! Tapi ... kalau ini menyangkut Julian–mafia yang terkenal sangat licik, kita tidak bisa asal menduga begitu saja. Bisa saja dia akan menyerang kita dari berbagai arah secara serentak, iblis seperti Julian pasti akan melakukan segala cara untuk bisa menyerangku sampai benar-benar hancur. Tapi, aku tidak akan pernah membiarkan Julian menang begitu saja," jawab Evan.

"Kalau begitu, bagaimana kalau kita menyerang Julian terlebih dahulu? hitung-hitung sebagai serangan peringatan saja," usul Peter.

"Hmm, ide bagus. Nanti malam kita akan menangkap anak buah Julian yang sudah mengintai kita, dan kita bisa menggunakannya untuk mengorek informasi tentang Julian. Bersiaplah, Peter. Nanti malam kita akan menjalankan misi," titah Evan sembari berjalan keluar dari ruang kerja diikuti Peter dari belakang.

"Oke," ucap Peter singkat.

Evan dan Peter saat ini tengah berjalan menuju ke ruang keluarga, namun langkah kaki kedua pria itu terhenti seketika saat melihat Alice sedang melakukan hal yang aneh. Gadis itu sedang tiduran di sofa dengan posisi kepala yang menggantung ke bawah hingga rambut panjangnya menyentuh lantai sedangkan kedua kakinya berada di atas,

"Anak itu sedang apa sih? Apakah dia sedang mencoba tidur ala-ala Batman? Atau mungkin di sedang mempraktekkan yoga model terbaru?" tanya Peter dengan dahi mengernyit..

"Hmm, bisa jadi Alice terinspirasi dari film Batman yang sedang booming. Adikmu 'kan suka melakukan hal yang aneh-aneh, sama sepertimu. Kenapa kamu jadi bingung seperti itu? Bukankah kakak dan adik itu pasti punya kemiripan? Dan kemiripan kalian berdua itu mutlak, semuanya sama, tidak ada bedanya sama sekali," jelas Evan seraya berjalan mendekat ke arah Alice.

"Mirip ...??!!!" Peter menunjuk dirinya sendiri dan ia merasa sangat kesal karena Evan mengatai dirinya sama anehnya dengan Alice.

Peter lantas mencebikkan bibirnya, ia merasa kesal kepada Evan yang selalu saja mengatainya. Meskipun perkataan Evan 99% benar, tapi setidaknya Evan bisa sedikit berbohong untuk menyenangkan hati Peter.

"Hei!! Aku bisa dengar pembicaraan kalian dari sini," sahut Alice dengan nada bicara yang terdengar kesal.

Peter berjalan menghampiri adiknya, ia lalu menurunkan kaki Alice dengan kasar sehingga adiknya itu hampir saja terjatuh ke lantai. Dan tentu saja setelah ini pasti akan terjadi huru-hara akibat perbuatan usil Peter.

"Aduuh!! Dasar kakak durhaka!! Kalau aku sampai terjatuh ke lantai bagaimana?! " Alice yang merasa kesal langsung menghadiahi kakaknya dengan cubitan di pinggang yang membuat kakaknya meringis kesakitan.

"Apanya yang bagaimana? Kalau jatuh ya tinggal jatuh saja, lalu masalahnya apa?" ucapan Peter yang menjengkelkan semakin membuat Alice jengkel dan kesal.

"Uuh!! Dasar kakak durhaka," kesal Alice yang kembali mencubit pinggang Peter.

"Awwhh, sakit!! Kamu sekarang sudah berani mencubit kakak, hah?! Apa kamu mau uang jajanmu kakak potong?! Dasar bandel," ancam Peter seraya menjitak kepala Alice.

"Coba saja potong uang jajanku, setiap malam aku akan mengganggumu sampai tidak bisa tidur dan akan kubuat wajah kak Peter cepat keriput seperti nenek-nenek dengan membuatmu marah setiap hari," sengit Alice tidak mau kalah

Evan hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saat melihat pertengkaran Peter dan Alice yang seperti kucing dan tikus, kakak beradik itu kalau sudah bertemu memang tidak pernah bisa akur. Ada saja masalah yang selalu mereka ributkan saat sedang bersama, dan itu pun hampir setiap hari.

Malam harinya ....

Evan dan Peter bergerak keluar dari mansion untuk menjalankan misi seperti yang sudah mereka rencanakan, seperti biasa, mereka berdua memakai baju serba hitam dan mereka juga mengenakan topi hitam. Kedua lelaki itu tak lupa menyelipkan pistol mereka ke dalam baju dan mereka juga menyelipkan pisau untuk berjaga-jaga.

Evan dan Peter pergi dari mansion menuju ke klub malam tempat anak buah Julian, memata-matai mereka. Tidaklah sulit untuk menemukan dan menangkap si 'pengintai' yang terus saja mengawasi klab malam milik Evan.

Evan dan Peter segera memasukkan si mata-mata itu ke dalam mobil, dan mereka membawa si mata-mata itu ke sebuah tempat rahasia milik Evan, mengikatnya di kursi dengan mulut yang disumpal dengan kain.

"Aku tidak akan berbasa-basi ataupun bersikap lembut kepadamu, sekarang cepat katakan kepadaku, apa rencana Julian yang sebenarnya? Kenapa dia mengirimmu untuk memata-mataiku?" tanya Evan seraya mengambil kain yang ia gunakan sebagai sumpal dari mulut anak buah Julian.

Namun, anak buah Julian tersenyum sinis ke arah Evan. "Kenapa kalian tidak langsung membunuhku saja?! Bukankah kalian ingin membalas dendam atas kematian wanita itu? Apa kalian tahu? Wanita itu terus saja memohon pengampunan kepadaku karena dia sedang hamil, tapi siapa yang peduli?! Tidak ada!! Dan wanita itu akhirnya mati dengan tenang," akunya lalu tertawa terbahak-bahak.

Mendengar si perkataan si penjahat itu, emosi Evan seketika meledak. Evan menjambak rambut anak buah Julian dan menodongkan pistolnya ke kepala sanderanya.

"Dasar keparat!! Aku akan membuatmu merasakan kesakitan yang luar biasa, hingga kau sendiri yang memohon untuk dibunuh. Dan aku akan membuatmu mati perlahan-lahan," ujar Evan dengan rahang yang mengeras.

Evan mengambil pisau yang ia bawa tadi dan langsung ia tancapkan ke paha anak buah Julian, hingga lelaki itu berteriak kesakitan karena Evan terus menekan pisaunya hingga menancap semakin dalam, merobek daging paha lelaki itu semakin lebar.

"AAKKKHH!!" suara teriak kesakitan lelaki itu terdengar menggema di setiap sudut ruangan saat Evan langsung mencabut pisaunya dengan kasar sehingga membuat darah si lelaki itu mengucur deras dari pahanya.

"Cepat, katakan kepadaku!! Apa yang sedang Julian rencanakan, kalau tidak, aku akan merobek tubuhmu dengan pisau ini," ancam Evan seraya mengambil Ancang-ancang untuk kembali menusuk si pria.

"Tunggu!! Baik, aku akan mengatakannya. Malam ini, tuan Julian menyerang mansionmu dan mereka akan membunuh semua orang yang berada di mansionmu. Dan sekarang ini, mereka pasti sudah memulai penyerangan" aku anak buah Julian yang membuat Peter sangat terkejut.

"Alice .... Evan!! Alice dalam bahaya!! Kita harus pulang sekarang juga!!"

Peter dan Evan lantas berlari meninggalkan gudang dan anak buah Julian yang sedang kesakitan, mereka bergegas menuju ke mobil dan langsung tancap gas pulang ke mansion Evan.

Sedangkan di sisi lain, anak buah Julian bergerak masuk ke dalam mansion Evan. Mereka berjala masuk ke kamar Alice dan bersiap untuk menembak.

To be continued.

Nächstes Kapitel