"Hei pemalas, kamu sudah bangun?!" Evan berjalan ke arah nakas seraya meletakkan sekeranjang buah apel di atasnya lalu ia menghampiri Peter dan duduk di samping ranjang.
" ...." tidak ada jawaban yang terlontar dari mulut Peter, namun pria itu hanya menatap Evan dengan nanar seperti hendak bertanya sesuatu.
"Apa? Kenapa kamu menatapku dengan tatapan seperti itu? Jangan pernah bertanya, aku ada dimana? Berapa lama aku sudah tak sadarkan diri? Dan jangan pernah bertanya kepadaku, kamu siapa? Semua pertanyaan itu sudah klise dan sering dipertanyakan dalam film-film saat aktor dan aktrisnya baru tersadar dari koma dan berada di rumah sakit. Dan kepalamu juga tidak terbentur, kamu hanya tertembak di perut, jadi kamu tidak akan mengalami amnesia," cerocos Evan seolah tahu apa yang akan Peter tanyakan.
Peter hanya tersenyum menanggapi lelucon Evan, setelah itu ia meringis kesakitan sambil memegangi perutnya.
"Aku tidak amnesia, Evan! Tapi, saat aku terbangun dan membuka mata. Aku pikir kamu adalah malaikat pencabut nyawa, melihat wajahmu yang sangat menyeramkan dengan pakaian yang serba hitam. Aku pikir sedang berada di neraka," seloroh Peter yang membalas perkataan Evan.
"Sialan! Kalau aku adalah malaikat pencabut nyawa, maka kamu adalah asisten malaikat pencabut nyawa." Evan tersenyum, ia kemudian berjalan ke arah nakas lalu mengambil buah apel berukuran sedang yang sengaja ia beli untuk Peter lalu melemparnya ke arah Peter.
"Peter! Apel terbang."
Melihat apel yang sedang melayang dan akan jatuh menimpa perutnya, tangan Peter reflek menangkap apel yang dilemparkan Evan ke arahnya. Meskipun terlihat keren karena gerakan Peter yang cepat dan tanggap, akibatnya pria itu harus merasakan kesakitan yang teramat sangat karena otot perutnya yang tiba-tiba ikut tertarik saat tangannya terangkat untuk menangkap apel.
"AKKKH!! Hei, aku ini pasien yang baru saja sadar setelah operasi. Kenapa kamu malah menyiksaku? Dasar pemimpin kejam," protes Peter yang membuat Evan tergelak.
"Aku bukannya menyiksamu! Aku hanya ingin tahu apa kamu sudah benar-benar sadar apa belum? Dan sekarang aku sudah yakin kalau kamu sudah sepenuhnya sadar," kilah Evan.
"Dasar raja tega, kamu," sewot Peter sambil meringis menahan rasa sakit.
"Masih untung aku melemparmu dengan apel, bagaimana kalau aku melemparimu dengan emas satu peti? Mungkin kamu bisa langsung bertemu dengan malaikat pencabut nyawa yang asli di neraka tanpa harus susah payah menahan sakit karena terkena tembakan si tua bangka itu," ucap Evan sembari menggigit buah apel.
"Hei, bukankah kamu beli buah apel itu untukku? Kenapa malah kamu makan? Dasar pemimpin pelit, cepat panggilkan suster dan dokter untukku," suruh Peter kepada Evan yang masih asyik memakan apel.
"Untuk apa?"
"Untuk mengusirmu! Kamu benar-benar tega sekali, Evan! Aku baru saja tersadar setelah menjalani operasi pengangkatan peluru, dan kamu malah terus-terusan menggangguku," kesal Peter yang mulai gemas dengan kelakuan Evan.
"Aku hanya ingin membantumu, apakah kamu cepat tanggap atau tidak. Siapa tahu malam ini si Fellix atau Julian akan datang ke sini untuk mencelakaimu. Sangat berbahaya sekali kalau kamu tidak waspada."
Peter memutar bola matanya. "Kenapa aku harus khawatir? Kan ada kamu dan orang-orangmu yang akan menjagaku, aku hanya perlu beristirahat seperti snow white agar cepat pulih. Untuk masalah pekerjaan dan yang lainnya, sebaiknya kamu kerjakan sendiri dulu sampai kondisiku benar-benar pulih," ucapnya enteng.
Evan hanya terdiam, bukan karena memikirkan ucapan Peter. Melainkan ia sedang mengkhawatirkan keadaan Peter yang saat ini masih lemah, tak mungkin Peter bisa melawan, jika benar Julian atau Fellix benar-benar menyerang Peter di rumah sakit nantinya.
"Kenapa kamu hanya diam saja? Tadi kamu terus menggangguku lalu tiba-tiba terdiam, senang sekali kamu membuat pusing orang lain," protes Peter.
"Peter! Aku kamu bisa bangun? Hari ini juga aku akan mengatur semuanya agar kamu bisa cepat pulang ke rumah, sebaiknya kamu dirawat di rumah saja. Aku akan tugaskan perawat kepercayaanku untuk merawatmu," ucap Evan.
"Kenapa tak sekalian saja kamu menyuruhku untuk ikut olimpiade berlari 1.000 mil? Atau sekalian ikut olimpiade berenang," seloroh Peter, ia semakin dibuat bingung oleh tingkah Evan yang selalu tidak bisa ia tebak.
"Aku serius, Peter!"
"Aku tahu, saat ini kamu sedang mengkhawatirkan keadaanku, bukan? Kamu takut kalau Julian atau pun Fellix bisa menyerangku kapan saja saat aku sedang lengah dan tidak berdaya, tapi aku pikir. Kamulah yang lebih kejam dari Julian dan Fellix. Saat ini aku hanya takut kepadamu yang terus-terusan menggangguku, bagaimana kalau lukaku ini berdarah lagi karena terlalu banyak bergerak?"
"Kalau berdarah tinggal dioperasi lagi, dijahit. Lalu ... letak susahnya dimana? Sudahlah! Kamu tidur saja, aku mau membeli makanan dulu sebentar," ucap Evan dengan santainya.
"Hmm ... baguslah! Beli makanan yang banyak untukku, pergi yang lama juga tidak apa-apa supaya aku bisa tidur dengan nyenyak," suruh Peter dengan mata yang terpejam.
Evan memutar bolanya. "Peter," panggil Evan.
"Apa? Apa? Apa?" tanya Peter yang mulai emosi.
"Jangan makan apapun sebelum aku pulang! Bagaimana kalau mereka membubuhkan racun di dalam makananmu? Juga jangan tidur! Bagaimana kalau anak buah Julian menyamar sebagai suster atau dokter lalu mereka menembakmu saat sedang tertidur?" Evan tersenyum tanpa memperlihatkan giginya dan sukses membuat Peter bertambah geram.
"HEISSHH!!" Peter mendesis.
Evan berlalu pergi keluar dari pintu meninggalkan Peter sendirian yang masih merasa kesal akan ulah sang pimpinan yang kadang suka kelewatan kalau sedang mengerjainya.
"Perketat penjagaan dan jangan sampai lengah! Aku akan segera kembali," titah Evan kepada anak buahnya tanpa membalikkan badan, setelah memastikan situasi sudah aman, Evan pun berlalu pergi.
5 menit kemudian, suster datang membawa makanan untuk Peter. Karena memang saat ini sudah masuk jam makan siang, netra Peter terus bergerak menatap suster penuh dengan rasa curiga setelah apa yang Evan katakan tadi.
Cacing di perut Peter sedang meronta-ronta dan meraung-raung mengadakan aksi protes karena Peter tak kunjung memberi mereka makanan, Peter hanya bisa menelan saliva saat melihat makanan yang sudah tersaji di hadapannya, ia ingin sekali makan tapi urung dilakukannya karena perkataan dari Evan.
Tak ayal di dalam tubuh Peter kini sedang terjadi perang nuklir antara sel-sel di otaknya dengan cacing-cacing di perutnya.
"HAAIIISSHHH!!" Peter terlihat sangat kesal karena selera makannya seketika menghilang berkat kata-kata Evan, Peter kemudian menutup kembali makanannya dengan tudung saji dan menjauhkan makanan yang diberikan oleh suster tadi, peperangan pun dimenangkan oleh sel-sel otak Peter yang mencegahnya untuk makan.
****
D' Angelo Caffe, Roma, Italy
Kafe yang berada di pusat kota Roma, terlihat sangat ramai pada jam-jam makan siang. Para pelayan terlihat sibuk mondar-mandir mengantarkan makanan atau hanya secangkir kopi dan melayani pesanan para customer.
Netra Evan sesekali terlihat bergerak mengawasi setiap sudut kafe dari tempat duduknya yang berada di pojokan yang berdekatan dengan jendela kaca. Dari dalam ruangan, Evan bisa dengan jelas melihat pemandangan luar namun orang-orang dari luar tidak akan bisa melihat ke dalam ruangan.
Di mejanya, Evan terlihat sedang menyeruput espresso yang baru saja diantarkan oleh pelayan, ini adalah cangkir espresso kedua Evan setelah satu cangkir pertamanya ludes dan langsung diangkut oleh sang pelayan.
Setelah pertemuannya dengan salah satu rekan bisnisnya untuk membahas tentang bisnisnya itu selesai, Evan tak langsung kembali ke rumah sakit. Ia ingin duduk sejenak untuk beristirahat sambil menunggu makanan yang ia pesan untuk Peter selesai.
"Apa kamu sudah memindahkan emas-emas milik Fellix ke tempat yang aman?" tanya Evan kepada anak buahnya.
"Sudah, Tuan. Saya sudah melakukan semua yang tuan perintahkan," jawab sang anak buah.
"Bagus!! Nanti malam aku mau menginspeksi semua club malam, perketat keamanan dan jangan sampai lengah dengan membiarkan penyusup masuk dan membuat kekacauan," titah Evan kembali mengangkat cangkir dan menyeruputnya sampai tinggal setengah.
Netra Evan tiba-tiba terpaku kepada sosok gadis berambut panjang dan selalu memakai dress selutut, tapi kali ini ia memakai dress berwarna pastel dengan renda-renda yang indah, gadis itu terlihat sibuk mematut penampilannya di depan kaca tepat di hadapan Evan tanpa tahu kalau Evan sedang memperhatikannya dari dalam.
Evan terus saja memperhatikan gadis berwajah cantik dan bertubuh mungil itu dengan seksama, melihat tingkah polah gadis itu, Evan sempat mengira kalau dia adalah Rhea. Tapi di detik berikutnya pria itu tersadar kembali akan kenyataan pahit kalau Rhea sudah meninggal, dan gadis itu adalah Iris, gadis yang selalu bertemu dengannya karena ketidaksengajaan.
Iris berjalan pergi, Evan sontak beranjak dari duduknya dan berniat mengikuti sang gadis karena rasa penasaran yang selalu menggelitik Evan setiap kali melihat Iris
"Kamu tunggu di sini sampai makanan untuk Peter diantar, aku akan segera kembali," titah Evan kepada sang anak buah kemudian berlalu pergi.
Evan terus mengikuti langkah sang gadis yang sedang berjalan tanpa arah, mungkin Iris hanya ingin berjalan-jalan saja menikmati suasana kota yang cerah.
Karena terlalu bersemangat jalan-jalan, Iris tak sadar kalau ia sedang dikuntit oleh seorang pria yang sedang mengincar tas miliknya. Dan sepersekian detik berikutnya pria itu berhasil merampas tas milik Iris lalu pria itu mendorong Iris dengan keras hingga terjatuh ke tanah kemudian berlari.
Evan yang sedari tadi mengamati Iris langsung berlari menghampiri Iris untuk menolongnya.
"Kamu tidak apa-apa?"
"Aku tidak apa-apa, tolong aku. Pria tadi telah merampas tasku," ucap Iris panik.
"Tunggu disini!"
Evan berlari kencang mengejar pencopet tas Iris hingga pencopet itu salah masuk gang yang ternyata adalah sebuah gang buntu, pria pencopet itu akhirnya terpojok.
"Mau lari kemana kamu? Cepat serahkan tas itu kepadaku! Atau aku tidak akan segan-segan untuk berbuat kejam kepadamu," ancam Evan.
Sang pencopet yang sedang terpojok dengan cepat mengeluarkan pisau lipat dari balik bajunya untuk melawan Evan, tapi Evan sedang malas berkelahi sekarang ini, mau tak mau ia harus melumpuhkan sang pencopet dan mengambil kembali tas Iris.
Evan dengan santainya menunggu sang pencopet itu untuk menyerang duluan, saat pencopet itu menyerang Evan, Evan bisa dengan mudah mengelak lalu menghajar sang pencopet hingga babak belur dalam waktu yang sangat singkat dan membuat sang pencopet tak sadarkan diri.
Setelah mengambil tas milik Iris, Evan pergi meninggalkan pencopet yang masih tak sadarkan diri itu di gang buntu dan kembali ke tempat Iris menunggu.
"Ini tas milikmu," ucap Evan dingin sambil melemparkan tas buatan tangan dari kulit buaya asli keluaran negara Paris itu ke tubuh Iris.
"Grazie," ucap Iris namun Evan tak ditanggapi oleh Evan.
"Kenapa kamu tidak menjawabku?" tanya Iris kemudian karena merasa diabaikan oleh Evan.
"Apa yang kamu inginkan lagi dariku?" tanya Evan dengan ekspresi wajah dingin tanpa menoleh ke arah Iris
"Aku hanya ingin mendengar suaramu saja, Evan."
Evan seketika menoleh memandang Iris setelah suara lembut gadis itu memanggil namanya.
"Dari mana kamu tahu namaku?" tanya Evan Ketus yang membuat Iris salah tingkah.
"Da–dari temanmu yang selalu bersama denganmu, bukankah ia selalu memanggilmu dengan nama Evan," jawab Iris.
Evan berdecak dan paham kalau yang dimaksud Iris adalah Peter.
"Jangan pernah sebut namaku lagi, Rhea! Aku sangat membencinya! Aku juga sangat membencimu," bentak Evan kasar.
"Namaku Iris, bukan Rhea! Dan kenapa kamu sangat membenciku? Apa aku pernah berbuat salah kepadamu?"
"Shit!! Come on Evan! She is Iris Not Rhea! Kenapa aku selalu saja menganggap dia adalah Rhea?" Evan berucap di dalam hati.
To be continued.