webnovel

Kenangan Indah

(Noah Chandra)

Aku Noah Chandra. Aku orang yang ceria, dan aku orangnya jahil agar bisa menarik perhatian semua orang. Di balik ceriaku, tersimpan kesedihan dan kesendirian yang aku alami. Aku tidak punya orang tua, kedua orang tuaku meninggal dalam kecelakaan saat umurku baru satu tahun. Aku selamat dalam kecelakaan itu, tetapi tidak dengan orang tuaku. Sejak saat itu, aku diasuh paman dan tanteku yang kejam, dan membenciku. Tapi aku sangat bersyukur, mempunyai teman-teman yang mau berteman denganku, menerimaku dengan apa adanya.

Ryan, anaknya memang dingin dan kalau bicara kasar sekali, tetapi aku tahu kalau dia itu sebenarnya baik.

Hari ini Ryan pindah ke Penthause, tempat tinggalnya yang sekarang sangat mewah sekali. Si keren itu hidup dengan bergelimang harta, sayangnya tidak ada kasih sayang dan kenyamanan di keluarganya. Padahal aku sangat mengharapkan itu dari Paman Adrian dan Tante Monica. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tua kandungku, meski mereka selalu memperlakukan buruk padaku.

Kebersamaan di meja makan yang terasa hangat sekali. Eriska yang lembut dan baik hati, membawakan cemilan buatannya dan membagi-bagikannya padaku, Ryan dan Sarah.

"Terima kasih Eriska." Aku mencomot kue bolu buatan gadis itu.

Kue buatan Eriska selalu paling enak. Pantas saja Ryan begitu sangat mencintai Eriska, gadis baik itu pandai membuat kue. Eriska selain pandai membuat kue, dia juga gadis yang cantik. Tapi aku tidak menyukainya, aku hanya menganggapnya sebatas teman. Satu-satunya gadis yang paling aku sukai. Gadis kasar dan galak, tetapi sebenarnya perhatian padaku. Sarah, dia menjadi gadis pertama yang memikatku sejak lama.

Sayangnya, Sarah tidak memiliki perasaan padaku. Cintanya hanya pada Ryan dan pupus setelah Ryan dan Eriska berpacaran. Aku bisa melihat dari raut wajah Sarah yang senduh. Aku menyukai Sarah, tetapi aku tidak bisa memaksakan Sarah menyukaiku.

"Kue bolu buatan Eriska memang yang paling enak." Mulutku terus saja mengunyah dan penuh, betapa enaknya kue bolu.

"Oh. Kue bolu buatan aku memang tidak enak?"

Sepertinya aku sudah membuat Sarah marah. Wajahnya mengerikan sekali.

"Enak kok, enak sekali," kataku memaksakan senyuman.

"Kalau begitu, makan kue buatan aku."

Sarah menjejalkan satu buah kue bolu lumayan besar ke dalam mulutku. Aku tersedak parah, saat kue bolu ukuran besar berada di mulutku, belum lagi rasanya yang masam. Aku paksakan mengunyah dan menelan sisa kue ke dalam tenggorokanku. Susah payah aku telan, kepalaku pening dan rasa tidak enak.

"Bagaimana, enakkan kue buatan aku?"

"Enak." Kepalaku tertunduk. Hanya satu kata itu saja, dari pada harus jujur dan Sarah akan mengeluarkan aura seram yang membuatku takut setengah mati.

Hanphone ku berbunyi di saku jeans. Aku mengambil dan melihat pesan masuk dari Kakek Julian, seketika hatiku merasa senang. Kakek Julian sudah pulang ke Indonesia dan beliau berada di rumah Paman Adrian.

"Aku pulang dulu ya," pamit ku pada Sarah, Ryan dan Eriska.

"Mau kemana Noah?" tanya Eriska.

"Kakek aku ada di Jakarta, baru pulang dari London."

"Ya sudah, ini aku bawakan kue bolu buat kamu sama Kakek Julian."

Eriska memasukkan dua kotak kue ke dalam kantong kertas dan memberikannya padaku.

"Terima kasih Eriska."

Hanya rasa terima kasih dan senyuman ku yang lebar. Menggambarkan rasa terima kasih pada Eriska yang sangat baik sekali padaku.

"Sana pergi." Ryan dengan wajah datar, mengusirku.

Dasar teman menyebalkan. Kalau bukan teman, sudah aku hajar wajah sok kerennya itu. Aku memalingkan muka dan berpamitan.

Menaiki lift khusus tamu, sampai di lobby. Aku melihat Clarissa bersama seorang laki-laki jangkung dan berwajah teduh. Aku tahu laki-laki di samping Clarissa. Chenoa Lim, kakak laki-lakinya Clarissa. Clarissa sepertinya tengah ribut dengan seorang wanita. Kebetulan pintu keluar ada di depan, mau tidak mau aku melewati mereka. Clarissa tengah bertengkar dengan ibunya. Aku tidak sengaja mendengar pertengkaran mereka.

"Aku sudah bilang, jangan urus aku lagi. Urus saja putri Mama yang sakit itu."

"Kalian berdua tanggung jawab mama, anak-anak mama. Meski putri kandung mama terbaring sakit. Mama sayang kalian, seperti mama sayang putri mama."

Aku melihat wajah Clarissa yang tegang. Berbeda sekali dengan wajahnya selalu menampilkan keangkuhan dan sombong. Entah apa yang disembunyikan Clarissa dan ibunya Clarissa ternyata punya anak yang sedang sakit. Aku selama ini tidak pernah tahu dan memang, aku tidak dekat dengan Clarissa, dan Ryan juga tidak begitu banyak menceritakan keluarganya yang rumit.

Dari pada aku berlama-lama di sini, sebaiknya aku cepat-cepat pulang. Aku sudah sangat rindu Kakek Julian. Motor scoopy aku taruh di parkiran, motor ini hadiah dari Kakek Julian, saat usiaku menginjak 16 tahun, sampai sekarang aku memakainya kemana-mana. Aku pulang ke rumah tepat pukul sepuluh malam. Pak Tarno, satpam yang telah bekerja di rumah Paman selama 5 tahun. Pak Tarno membukakan gerbang dan mempersilahkan aku masuk.

"Baru pulang Nak Noah?" tanya Pak Tarno ramah.

"Ia Pak, habis main di rumah teman."

"Nak Noah senyum-senyum seperti ini, pasti tidak sabar ingin bertemu Tuan Besar ya?"

Pak Tarno ini bisa saja, seperti seseorang yang bisa membaca isi hati manusia. Aku tersenyum-senyum, memperlihatkan deretan gigi-gigiku yang rapih.

"Aku masuk dulu ya Pak."

Aku masuk ke dalam rumah. Rumah yang tidak ada kenyamanan, hanya ada kesuraman. Namun, saat aku berjalan ke ruang tamu. Aku melihat raut wajah tua itu membentuk senyuman hangat. Seorang pria tua yang rambutnya telah beruban, badannya sedikit besar dan gemuk. Kakek Julian berdiri dan merentangkan kedua tangannya. Tanpa sungkan, aku menghambur ke dalam pelukannya. Kehangatan yang diberikan Kakek Julian tidak bisa tergantikan oleh apa pun. Aku sangat menyayangi Kakek Julian. Tidak peduli tatapan tidak suka Paman Adrian dan Tante Monica padaku. Satu-satunya orang yang menyayangiku seperti keluarga hanyalah Kakek Julian.

Aku melepas pelukan dan menatap wajah Kakek Julian yang kian hari makin keriput, karena usia yang sudah tua.

"Noah sudah besar sekarang. Dulu masih enam belas tahun, sekarang sudah dewasa."

Aku tertawa senang dengan pujian yang diberikan Kakek Julian. Aku melihat seseorang yang aku kenal. Paman Bash yang bekerja sebagai pengacara dan pengajar di akademi, Paman Bash juga seorang Spirit Magis.

"Noah, bagaimana kabarmu?" tanya Paman Bash, menyapaku.

"Aku baik-baik saja Paman."

"Noah akan saya bawa tinggal bersama saya sementara waktu, sebelum saya kembali lagi ke London." Kakek Julian menatap masam Paman Adrian dan Tante Monica.

Paman dan Tante hanya diam saja, sesekali ikut berwajah masam dan takut-takut pada Kakek. Mungkinkah Paman Bash sudah bercerita pada Kakek, bagaimana perlakuan buruk mereka padaku, sehingga Kakek Julian rela kembali lagi ke Jakarta. Aku bersyukur saja, dengan ini Paman dan Tante tidak menggangguku.

Aku hanya membawa satu buah tas dan koper kecil. Aku akan tinggal sementara bersama Kakek, setelah Kakek Julian kembali ke London. Aku akan tinggal lagi bersama Paman dan Tante lagi. Aku sebenarnya tidak menginginkan ini. Ingin sekali ikut bersama Kakek, tetapi mau bagaimana lagi. Aku mematuhi keinginan Kakek Julian yang memintaku tetap tinggal di Indonesia.

Masuk ke dalam mobil, malam ini aku akan tinggal bersama Kakek Julian. Aku dan Kakek duduk di belakang, dan Paman Bash di depan, bersama seorang supir pribadi Kakek Julian mengantarku ke suatu tempat.

"Kakek mau bawa aku kemana? Ke rumah Kakek?" tanyaku penasaran.

"Nanti juga kamu tahu. Kakek mau kasih kamu hadiah, hadiah spesial buat kamu." Kakek Julian tersenyum-senyum.

Aku jadi penasaran, hadiah apa yang akan Kakek Julian berikan. Dan kenapa Kakek Julian selalu memperlakukan aku seperti anak kecil?

"Aku bukan anak kecil lagi Kek." Aku menggembungkan pipiku kesal. Kakek Julian malah makin tertawa dan mengacak rambut aku yang sudah berantakan, makin berantakan.

"Kakek tetap anggap kamu anak kecil, cucu kesayangan Kakek sampai kapan pun."

Aku sekali lagi tersenyum senang dan tidak bisa lagi menampilkan ekspresi bahagia apa lagi, hanya senyumanku yang membuat Kakek selalu sayang padaku.

Kami sampai di sebuah rumah besar, bahkan lebih besar dari rumah Paman dan Tante. Keluar dari mobil, menatap takjub rumah ini yang sangat mewah sekali.

"Ini rumah siapa Kek? Ini rumah Kakek?" Aku bertanya dan sesekali menatap takjub rumah mewah ini.

Kakek tidak menjawab pertanyaanku dan menyuruhku masuk ke dalam. Sekali lagi aku menatap takjub isi di dalam rumah ini yang sangat mewah sekali. Seorang pelayan wanita menghampiri aku dan Kakek Julian, membungkukkan badan, dan membawakan tas dan koperku ke kamar baruku.

"Noah, Kakek sudah berjanji akan memberimu hadiah spesial."

"Hadiah apa Kek? Aku tidak sabar?" Mataku yang berbinar cerah, penuh rasa senang menantikan hadiah dari Kakek Julian.

"Ikut Kakek."

Aku mengikuti Kakek Julian ke halaman belakang. Ternyata di halaman belakang di jadikan taman. Ada air mancur di tengah-tengah taman, lampu-lampu yang menyala di tengah membuat kesan indah saat air mancur meluncur ke atas dan jatuh kembali ke kolam. Taman ini indah sekali dan aku merasakan ada kehangatan yang entah datang dari mana. Taman ini makin di percantik dengan dekorasi tanaman yang kebanyakan adalah bunga sedap malam. Aroma bunga yang tercium wangi sekali.

Di depanku, aku melihat sebuah bangunan seperti pendopo khas rumah-rumah Jawa. Aku mengikuti Kakek Julian yang melepas sepatu, masuk ke dalam rumah adat Jawa itu. Saat masuk, aku hampir saja terjungkal saat tak sengaja tersandung pembatas pintu yang terlalu tinggi. Memang rumah khas Jawa, setiap pintu masuk ada pembatas pintu. Aku masuk ke dalam, di dalam sedikit gelap. Seberkas cahaya bulan masuk menyirami ruangan ini.

Kakek menyalakan lampu, seketika ruangan ini bercahaya terang. Mataku tak berkedip saat melihat sesuatu di dalam ruangan ini. Banyak sekali lukisan-lukisan yang terpajang, seperti membentuk lingkaran. Aku melihat lukisan pertama. Seorang pria dan wanita memakai pakaian pernikahan adat Jawa. Pria dan wanita itu bahagia sekali, senyuman kebahagiaan mereka. Aku beralih ke lukisan selanjutnya. Pria dan wanita sama, bedanya wanita itu perutnya membesar. Mungkin sedang hamil, dan pria itu mendekatkan telinganya ke perut sang wanita. Seperti tengah mendengarkan suara anak mereka.

Berlanjut, aku melihat wanita itu menggambarkan raut kelelahan, tetapi ada rasa bahagia yang begitu besar. Tersenyum pada sosok bayi mungil di sampingnya. Entah ada dorongan apa, aku mengusap lukisan wajah wanita itu. Ada rasa rindu yang entah datang dari mana, mengingatkan aku dengan kedua orang tuaku yang belum pernah aku lihat wajahnya seperti apa.

Dan lukisan terakhir. Pria dan wanita itu memeluk sosok bayi mungil di dekapan wanita itu. Tak terasa air mata mengalir di pipiku.

"Silva, Irene. Ini hadiah yang ingin ayah dan ibu berikan padamu, Noah."

Aku tidak tahu ingin berekspresi apa. Tertawa bahagia atau menangis, bisa melihat wajah orang tuaku yang selama ini ingin sekali aku lihat. Kakek Julian tidak pernah memberitahuku seperti apa wajah orang tuaku, Paman dan Tante malah membenciku.

Mungkin ini tawa bahagia, karena aku bisa melihat wajah orang tuaku. Aku mengelus lukisan wajah ayah dan ibu, dua orang yang sangat aku rindukan.

"Silva sangatlah pintar, tetapi dia mewarisi rambut berantakan dan mata cermelangnya padamu. Irene, dia wanita cantik dan sifatnya yang periang, pandai melukis. Kamu mewarisi sifat ceria ibumu. Orang tuamu seorang Spirit Magis, bakat itu juga diturunkan padamu."

"Aku awalnya tidak tahu, kalau aku seorang Spirit Magis. Tapi, aku tidak seperti ayah yang hebat dalam ilmu bela diri, tidak pandai menggunakan kekuatan spirit seperti ibu. Aku hanya anak bodoh," kataku tersendat-sendat di sela Isak tangis ku.

"Tidak juga, Noah. Cucu kakek juga hebat."

Kakek Julian terdiam sebentar dan kembali melanjutkan ceritanya. "Dan satu lagi. Ayah dan ibumu tidak meninggal karena kecelakaan, tetapi sesuatu yang menyebabkan mereka meninggal. Ada orang yang telah membunuh orang tuamu."

"Siapa Kakek? Apa penyebab ayah dan ibu meninggal?"

Nächstes Kapitel