webnovel

2. Selembar Foto

Reygan berhenti di putaran ke sembilan. Dia merasa sesak jika meneruskan berlari. Napasnya putus-putus. Dia dan Aneska sudah jadi tontonan sejak tadi.

Dia melihat Aeska yang berlari melewatinya. Setahunya Bu Ida tidak pernah tega dengan murid perempuan.

"Bu Ida nggak pernah hukum murid perempuan lari lapangan." Reygan mneyusul, Aneska memelankan larinya. "Paling-paling lo cuma disuruh nyapu lapangan kalau nggak bersihin perpus," katanya lagi.

"Lo kan yang ngadu ke Bu Ida kalau gue telat?"

"Di depan ada CCTV kali. Ngapain gue ngadu?"

Aneska mendengus. Lihat saja kalau lelaki ini berbohong. Gadis itu sibuk menggerutu tanpa memperatikan langkah di depannya. Tanah yang tidak rata dan tergenang air membuat kakinya tergelincir. Menyebabkan dia jatuh tersungkur di rumput. Sekajap mata. Aneska tidak bisa menghindar apalagi mencari pegangan. Reygan juga tidak sempat menolong.

Itu posisi jatuh yang sama sekali tidak elit. Sebenarnya tidak ada posisi jatuh yang elit-kecuali disengaja atau latihan lebih dulu. Aneska sungguhan mencium lapangan. Dia kalau cengeng, mungkin akan menangis di tempat. Bajunya basah karena dia jatuh persis di genangan air yang lebar. Beruntung airnya tidak terminum.

Reyga yang paham segera berdiri di belakangnya. Menutupi pandangan orang ke sisi tubuh Aneska. "Bangun atau lo mau jadi tontonan."

"Tapi baju depan gue basah!" serunya sebal.

"Duduk!"

Aneska menurut, dia bangun dan duduk. Sambil kedua tangannya menyilang di depan dada.

Reygan berlari kecil mencari tasnya yang dia letakkan begitu saja di tepi lapangan. Dengan berlari, dia kembali ke Aneska dengan jaket di tangan.

"Nanti lo cuci bersih, besok balikin. Harus besok." Reygan berkata cepat dan berbalik pergi.

****

"Jaket siapa, Dek?"

"Jaket temenku, Mas. Jangan diapa-apain!" serunya dari kamar. Dia baru saja mencuci dan menjemur jaket di balkon. Terpaksa. Di luar hujan lagi.

"Jaket pacarmu, Nes?" Gantian Mbak Maya yang bertanya.

Aneska yang rusuh mencari hair dryer malas menjawab lagi. Seharusnya kakaknya itu sudah dengar jawabannya ketika Mas Kinan tanya tadi. Ini malah tanya lagi. Nggak efisien. Kalau Mas Kinan maish di sana, sehrausnya berbaik hati bantu menjawab.

Aneska menyerah mencari hair dryer yang entah meghilang ke mana. Sementara meminjam ke Mbak Maya juga bukan ide bagus. Semua barang miliknya tidak boleh disentuh siapapun, termasuk adiknya sekalipun. Kamarnya yang serba pink itu harus steril. Aneska sering diusir dari kamarnya. Bahkan beberapa hari ini sudah ada plakat di depan pintunya kalau Aneska tidak boleh masuk. Cukup ketuk pintu. Mas Kinan? Jangan tanya. Mas Kinan bahkan sudah sadar diri dengan tidak menginjakkan kaki di kamar Mbak Maya.

Mbak Maya dan segala kegilaannya tentang kebersihan.

Jadilah dia mengangkat kipas ukuran tanggung dari kamar Mas Kinan. Berbanding terbalik dengan Mbak Maya, kakak laki-lakinya itu bahkan tidak bisa tidur dengan AC. Dia lebih suka kipas angin. Yang ternyata sekarang berguna. Kalau sama Mas Kinan, dia tidak perlu minta ijin. Asal nanti kembali ke tempat semula.

"Kamu ngapain sih, Nes? Mama lihat sibuk banget." Mama yang menata makanan di meja bertanya heran. Dia sejak tadi membiarkan anak bungsunya mencuci jaket entah milik siapa dengan tangan. Karea Aneska tidak pernah mencuci pakaian seniri. Selama Mama masih bisa mnegerjakan pekerjaan rumah, ketiga anaknya tidak perlu khawatir. Sebenarnya Mama juga yang terlalu memanjakan mereka. Dan sekarang anak bungusnya itu sibuk menggotong kipas ke balkon.

"Besok harus aku balikin, Ma. Makanya malam ini harus kering."

"Punya siapa?"

"Temen." Aneska tanpa berbalik, menggeleng. "Anggap aja musuh, Ma."

"Pacar, Ma." Mbal Maya bergabung ke meja makan. Ikut membantu menuangkan air putih.

Aneska menoleh dengan tajam. Tapi percuma, semua orang di rumah ini tidak pernah menganggap serius marahnya Aneska. Malah seringnya berbalik jadi bumerang, kedua kakaknya akan kompak mengejeknya.

"Mama nggak setuju kamu pacaran sekarang, Nes." Mama berkata lembut. Kali ini Aneska menoleh dan mendekat ke meja makan. Meninggalkan jaket di balkon.

"Iya, Ma. Siapa juga yang punya pacar. Mbak Maya tuh yang tadi--" Aneska mencicit pelan di tempatnya. Maya menatapnya tajam dan ini serius. Kebalikan dengan Aneska, marahnya Maya tidak bisa dieremehkan. Sekali tatap saja Aneska sudah takut.

"Kalau di lihat dari jaketnya sih, anaknya pasti keren." Gara-gara ucapan Mbak Maya barusan semua orang di meja amakn menoleh ke balkon yang masih terbuka. Menatap jaket di jemuran yang melambai terkena kipas angin.

"Jaket siapa, Nes?" Papa bertanya hal yang sama.

"Temen, Pa. Tadi aku pinjem."

"Oh." Papa pekmbali makan, tidak tertarik menggoda seperti kedua kakaknya yang sekarang meliriknya penuh makna. "Laki-laki?" lanjutnya.

Aneska menelan ludah. "Iya."

"Bukan pacar, kan?"

"Bukan, Pa. Serius!"

Papa tersenyum. Dia menerapkan satu aturan keras di rumah; ketiga anaknya tidak boleh pacaran kalau belum mapan. Itulah alasan kenapa Mas Kinan baru punya pacar sebulan yang lalu, ketika kakaknya itu sudah mendapat pekerjaan mapan. Dan itulah alasan kenapa Mbak Maya memilih untuk diam-diam menjalin hubungan dengan teman kampusnya.

Selesai membantu Mama membersihkan meja makan, Aneska melangkah ke balkon. Tapi sesuatu membuatnya berhenti. Dia menunduk, menatap selembar kertas di bawah kakinya. Dia memungutnya. Yang ternyata hanya kertas tebal biasa. Tapi begitu dilihat lebih dekat. Dia bisa melihat tulisan kecil di sudut yang sedikit luntur.

Bandung, 28 September 2005

Aneska membalik kertas itu, yang sempat dia kira kertas tebal biasa. Yang ternyata adalah potret sebuah keluarga. Sofa panjang yang bersisi dua orang dewasa dan satu anak berumur empat tahun duduk di tengah. Sang Ibu memangku seorang bayi kecil, yang ikut tersenyum ke kemera.

Tapi foto siapa? Aneska sampai harus berjalan ke bawah lampu di ruang tengah, karena di balkon minim cahaya. Dia mendekatkan fotonya agar lebih jelas.

Yang jelas foto ini bukan foto kelurganya, juga bukan sanak familinya yang nyasar di sini. Aneska menoleh ke balkon, foto ini jatuh di sana. Jadi kemungkinan besar foto itu tadinya ada di saku jaket dan tidak sengaja jatuh. Mungkin ini foto keluarga Reygan. Ya, itu kemungkinan paling mungkin.

Aduh! Tapi masalahnya, foto usang ini makin mengenaskan, bentuknya makin hancur sana-sini. Aneska tadi seharusnya mengecek dulu saku jaket sebelum mencuci.

****

"Reygan itu anak kelas berapa, ya?"

"Reygan yang mana?" Rani sibuk menyalin PR, tanpa mneoleh, menjawab.

"Yang mana, ya? Pokoknya yang tinggi, putih..." Aneska mencoba mengingat. "Rambutnya agak kecoklatan, tapi bukan bule."

Rani meletakkan bolpoinnya dan menoleh kaku. "Reygan yang itu?"

"Iya, Reygan itu kelas apa?"

"Yakin?"

"Buruan, Ran. Kelas apa dia? Keburu bel masuk."

"Mau ngapain cari dia?" Rani masih menatap tidak percaya.

"Balikin jaket."

Nächstes Kapitel