webnovel

Hampir Tiada

"Mas, apa gak sebaiknya, Mas Fadil dan Istri menginap saja di rumah saya. Karena ada kami yang akan menemani kalian. Kami mengerti, kejadian tadi pasti sangat mengerikan. Kematian Aki terjadi di depan kalian, saya gak tega." Pak RT menghampiri kami.

Wajah pria dengan kulit sawo matang itu, nampak meringis. Tetlihat guratan wajahnya yang tak biasa. Aku tak tahu harus berkata apa lagi selain setuju. Iya, aku tak sanggup kalau hanya berduaan saja dengan Mas Fadil setelah kejadian ini. Rasa terkejut masih tertinggal di benak, menambah ketakutanku akan kembalinya suara-suara menyeramkan itu lagi.

Aku menengok ke arah Mas Fadil. Mencoba mendorongnya untuk setuju saja. Dia juga menatapku cukup lama. Aku berjanji akan berontak sejadi-jadinya jika dia masih saja tak mau mengerti apa yang kuinginkan.

Mas Fadil mengalihkan pandangannya ke arah Pak RT, dengan embusan napas yang panjang, dia mengangguk.

"Terima kasih atas tawarannya, Pak. Kami akan menginap. Maaf, jadi merepotkan," ujarnya, setelah itu tersenyum. Meskipun hanya sesaat dan dia kembali ke mimik wajah sebelumnya yang datar.

Aku tak perduli, meskipun aku merasa tak nyaman. Lebih baik pura-pura bodoh saja, dia juga tak perduli jika aku menanyakan keadaannya.

"Syukurlah. Saya senang Mas Fadil gak nolak. Lebih baik kita pergi ke rumah saya sekarang, dan Mas serta Mba Fira bisa berjalan ke rumah saya sekarang. Saya temani, karena sudah larut malam."

Aku senang. Akhirnya doa dan harapanku bisa dijawab. Setidaknya aku dan Mas Fadil punya penengah dan tak perlu berduaan sepanjang waktu. Tapi entah mengapa, aku merasakan beberapa kali Mas Fadil menatap tajam ke Pak Rt, tetapi tak digubris.

Kami beriringan berjalan bertiga. Aku afa di tengah Mas Fadil dan Pak RT. Kami hanya diam saat menapaki kaki di jalanan desa yang masih berbatu. Untung malam ini cuacanya mendukung. Tidak hujan, sehingga kami semua bisa menjaga jarak.

Hingga saat kami melihat sebuah rumah yang terletak di sebelah kanan jalan. Rumah itu seperti terasa tak asing. Tapi suasananya sangat mencekam dan menurutku tidak terlihat aman sama sekali. Dalam benak berharap kalau rumah itu bukanlah kediaman Pak RT.

Iya, baru saja aku berharap, tetapi tak ada yang bisa aku katakan selain rasa kesal yang memuncak. Ternyata Mas Fadil berbelok dan ini sudah pasti rumah milik Pak RT.

Aku mendekat pada akhirnya. Aku berbisik menanyakan penasaranku kepadanya.

"Mas, serius ini rumah Pak RT?" tanyaku. Kemudian semilir angin terasa mengelus wajah serta leherku. Bulu kuduk meremang. Rasa menggigil datang dalam sekejap. Aku tak tahu, apa yang telah membuat diriku begini terus menerus. Kenapa aku menjadi orang yang peka terhadap hal-hal ghaib yang nyatanya merugikanku.

Mas Fadil tak menjawab, aku tak tinggal diam dan berusaha menahan gerakkannya. Dia tak boleh begini. Tak boleh mengulang kebodohannya seperti di rumah.

Bau darah. Iya, pertama kali yang tercium ketika kupijakan kaki di atas lantai rumah yang berlumut. Ini baru terasnya. Kami belum masuk ke dalam bangunan kumuh itu sepenuhnya.

Pintu yang terlihat reot, dengan kayu yang mulai mengelupas, menyambut mataku yang sebenarnya enggan untuk menatap ke depan. Namun, apa yang terjadi adalah kejadian kebalikannya. Tak ada yang bisa kulakukan ketika perlahan Mas Fadil mulai berulah lagi. Dia memaksaku untuk ikut ke dalam.

"Aku gak mau, ya!" kataku. Mencoba menolak dan menarik diri.

Rupanya suamiku sudah membaca gerakkanku. Dia menahan tanganku dengan erat. Tangannya menggamit lenganku dan menguncinya agar tak bisa melepaskan diri. Tentu tenaganya jauh lebih besar. Aku mana mampu untuk melawan pria ini.

"Ada apa denganmu, Fira?!" bentaknya.

Karena dia terus saja mendapatkan penolakan dariku, Mas Fadil marah dan dia mendelik sambil menahan aku agar tak berontak.

"Mas, ini rumah siapa lagi?! Aku gak mau kamu bawa ke rumah berhantu ini! Lepasin atau aku akan teriak!" ancamku padanya.

Mas Fadil terlihat tambah marah. "Cukup! Cukup hinaaanmu itu!"

Aku mematung. "Apalagi. sih, Mas?" tanyaku keheranan. "Rencana apa lagi yang kamu lakukan kepadaku." Aku mulai tak tahan dengan sikapnya.

"Fira!"

Hingga sebuah suara membuatku tak paham dengan semua yang terjadi. Aku menengok ke arah suara yang sebenatnya tak kuharapkan ada dan memanggilku.

Perlahan tapi pasti aku melihat ke belakang dan betapa terkejutnya aku melihat Mas Fadil serta Pak RT yang berada tepat di belakangku. Keringat betcucuran di kening mereka.

Aku semakin tak paham dan memastikan apa yang kulihat adalah salah. Apa yang tampak di belakangku hanyalah halusinasi dan tak nyata.

Mencoba berani, atau lebih tepatnya ingin memastikan kalaua aku tak bermimpi atau mengalami pengelihatan ghaib seperti di rumah tadi.

Dengan sengaja aku menutup kelopak mata. Berharap kalau ada yang bisa menolongku. Aku tak tahu apa yang terjadi. Siapa yang benar, orang yang sedang memegang tanganku atau orang yang sedang berdiri di belakangku dan berusaha menyadarkan diriku. Entahlah apa yang terjadi. Aku hanya mau ini selesai.

Saat menengok kembali ke depan. Aku merasakan tubuh mulai enteng. Tak ada yang menahan lenganku dan tak ada yang bisa membuatku untuk masuk ke sana. Ke rumah tua yang menyeramkan.

Begitu aku merasa sudah berbalik, dan membuka mata, ternyata tidak ada apa-apa di depan. Tak ada satupun orang, apalagi bangunan menyeramkan itu. Hanya ada hamparan tanah kosong yang jika berjalan beberapa langkah lagi, adalah sungai yang deras. Astaga! Aku mundur selangkah demi selangkah hingga menubruk tubuh Mas Fadil.

"Kamu kenapa mau ke sungai?! Aliran airnya sedang sangat deras. Kita gak bisa nolong kamu kalau sampai jatuh Fira!?" Mas Fadil mengguncang tubuhku, sampai akhirnya Pak RT menahannya agar tak kebablasan berbuat yang aneh-aneh.

Mad Fadil mendekapku erat. Dia mengelus kepalaku dengan lembut. "Tolong Fira. Jangan lari kayak tadi lagi. Genggam tanganku dan kita teruskan perjalanan menuju ke rumah Pak RT yang sebentar lagi sampai. Aku harap kamu ngerti betapa khawatirnya aku ke kamu."

***

"Silakan masuk," ucap Pak RT saat mempersilakan kami masuk ke dalam rumahnya yang cukup luas. Aku bahkan tak menyangka ini rumah. Ruang tamunya sangat luas seperti aula. Namun, ya, aku tak nyaman bukan karena luasnya rumah ini, tetapi karena ada tatapan sinis dari seorang wanita yang menjadi istri dari Pak RT.

Wanita yang membalut dirinya dengan mukena itu, terlihat marah saat kami sampai di rumahnya. Ada apa lagi ini. Pak RT saja langsung dibawanya masuk ke rumah, dan aku diajak duduk di teras oleh Mas Fadil.

"Kamu tahu alasannya sekarang, kan?" tanya pria itu.

Aku tak mampu menjawabnya. Mencoba menatap ke arah lain dan terlihat sesosok pria yang telah memandangku lekat. Aku membalas pandanganya dan dia tersenyum, atau lebih tepatnya menyeringai.

Nächstes Kapitel