webnovel

Karena yang Baik akan Selalu Apik

====

GURINDAM

Jangan lupa niat di pesantren untuk taat

Agar ilmu yang kita dapat menjadi manfaat

====

"Kamu kenapa tidak main ke rumah? Aku tungguin padahal."

"Eh, maaf banget, aku tidak sempat mampir. Pulangan kan cuma satu minggu."

"Main ke mana saja, pulangan kemarin?"

"Aku ke pantai dengan teman di rumah. Seru banget!"

Kanan kiri, bahkan dari segala arah terdengar suara teman-teman santri yang lagi asyik bercerita tentang pulangan. Ada yang sebagian bercerita tentang bermain bersama teman, ada pula yang bercerita tentang percintaan.

Bermacam-macam warna cerita mereka yang berseru tentang pulangan. Hanya aku, yang masih tidak tahu arah mau ke mana malam ini. Sementara sosok santri yang tegar itu, kupandangi sangat sibuk mengurus santri-santri yang baru kembali ke pesantren. Sengaja tak aku sapa, tidak mau mengganggu, meski sekadar bertanya-tanya.

Suasana pesantren di sore hari perlahan mulai gemuruh, berbondong-bondong dengan bawaan dari rumah. Liburan pesantren yang berkisar satu minggu, begitu mengesankan. Setidaknya, bisa menghirup udara segar di rumah.

Lantunan arab itu kembali mengiringi perjalanan santri menuntut ilmu, pembacaan Selawat berjamaah selesai Azan Magrib, menunggu pengasuh datang, mengimami.

"Aku minta maaf, ya, Min. Bagaimana pulangan kemarin?" sapa Arif, teman satu kelas, sembari berjabat tangan.

"Alhamdulillah, baik. Kamu bagaimana?"

"Ya begitulah, Min. Kita ke kantin, yuk, ngobrol di sana!"

Arif. Teman yang satu ini baik, dan perhatian. Dia menghampiriku di saf pertama, berbincang-bincang tentang pulangan, juga saling bertanya tentang keluarga. Kendatipun, ia juga termasuk bagian teman kelas yang masih suka melanggar peraturan, merokok. Sikapnya apik, tidak menampakkan sikapnya yang diam-diam menciptakan kisah di bawah pohon bambu.

Beberapa menit menunggu kiai, akhirnya kiai datang, suasana di masjid perlahan hening. Berjajar dengan penuh sambutan kepada kiai, menuju mihrab. Semuanya mengarah ke langkah kiai untuk bersalim, bergantian.

Seperti biasanya, selesai Salat Magrib pembacaan Surat Yasin terdengar penuh tartil. Pemandangan indah menghiasi masjid, dengan pakaian putih, yang dipimpin langsung oleh Kiai Hamid, penuh ketenteraman.

***

"Tujuan kamu di sini apa, Min?" tanya salah satu guru, yang biasa dipanggil Ustaz Malik.

"Mencari ilmu, Ustaz."

"Kamu harus giat dalam belajarnya, ya. Kamu sudah pernah belajar bersama Herman, dan selama dia jadi santri di sini tidak pernah dia tidak juara. Kalau tidak juara satu, ya dua. Jadi kamu harus meniru apa yang pernah Herman ajarkan."

Sekitar 15 menit ngobrol di kantin dengan Arif. Ustaz Malik memanggilku yang tidak sengaja lewat di depan kantor. Beliau menasihati, sedikit memotivasi agar jangan sampai melupakan apa yang pernah dialami saat bersama Herman. Poin penting yang sangat aku ingat dari Herman, tentang 'teman' yang mampu mengubah semua kebiasaan-kebiasaanku.

'Jangan menyalahkan orang lain yang selalu menyangka sikapmu buruk, kalau kamu masih bergaul dengan teman buruk. Kata ulama; kalau mau melihat karakter seseorang, lihatlah siapa temannya.' Kata Mutiara yang masih aku ingat dari Herman.

Dapat dipetik kesimpulan. Bahwa sekuat apa pun diri ini berjuang untuk kebaikan, kalau teman yang buruk ini masih berlabuh dalam hati, jiwa ini akan luluh juga. Bukan mengajarkan untuk suuzan terhadap seseorang, melainkan banyak kemungkinan memang seperti itu.

"Lebih-lebih kamu jangan terlalu banyak tidur malam, karena waktu malam adalah waktu yang paling banyak berkahnya. Mungkin Herman sudah memberi tahumu, Min. Ya sudah, belajar sana! Jangan terlalu banyak pergaulan di sini." Ustaz Malik mengelus lembut pundakku, sebelum aku pamit meninggalkan beliau.

Malam pertama setelah kembalian pesantren, suasana pesantren heboh tiada hentinya. Baik dari santri putra, maupun putri. Karena di antaranya hanya berhalangan satu tembok. Belum puas bertukar cerita, sampai larut malam. Begitu pun dengan pengurusnya, memaklumi para santri untuk tidak diaktifkan dulu semua kegiatannya, seperti jam tidur, dan jam belajar. Hanya Salat Wajib yang masih berlaku di malam pertama ini.

"Sebentar lagi aku ujian akhir sekolah, dan aku tidak bisa lagi menemani kamu belajar malam. Karena kelasku sudah ada ruangan tersendiri untuk belajar bersama."

Herman menghampiri kesendirianku, yang sudah mulai aktif mengamalkan semua yang telah Herman ajarkan kepadaku. Dia prihatin melihat aku, seakan terlantar dari rombongan santri yang terlalu asyik dalam bercengkerama antar sesama. Meskipun sebenarnya, aku juga merasakan kehilangan sosok pahlawan yang telah rela meluangkan waktunya untuk mengajari aku mulai dari awal. Yang terkadang ada saja pelajaran yang belum aku pahami, biasanya Herman yang menjelaskan apa maksud dari pelajaran tersebut. Akan tetapi ... sudahlah, dia juga punya keinginan tinggi yang harus dia capai.

"Semoga sukses saja, Bos. Aku hanya bisa bantu doa," ucapku menanggapi.

"Amin."

"Kamu sudah makan? Apa mau masak mi?"

"Nanti saja. Kamu punya mi?"

"Ada, nanti kalau kamu mau, ambil saja di kardus, ya."

Bukan tetangga, apalagi saudara. Baru kali ini aku merasakan keindahan saling berbagi, tolong menolong. Berawal dari sikap acuh tak acuh, kini seperti bagaimana baiknya saudara kepadaku. Sampai kapan pun tidak akan pernah aku lupakan sesosok Herman yang sudah rela memberikan waktunya. Karena berkatnya, aku menemukan jalan yang sesungguhnya.

Dua hari berlalu. Kisah demi kisah tentang pulangan belum juga usai, dan memang tidak ada ujungnya kalau sudah bertukar cerita. Kegiatan sudah mulai aktif seperti biasanya, meski harus terlalu pintar bagi pengurus untuk menghibur para santri yang belum bisa melepas memori pulangannya. Namun, di pagi ini, tepat pada jam 09:00 WIS. Satu persatu dari banyaknya santri mulai rusuh, dan para pengurus pun mulai bergerak untuk mengontrol tempat demi tempat yang menjadi markas untuk melanggar. Merokok, main remi, dan hal-hal yang menjadi larangan pesantren.

"Kamu tidak punya asrama?" ucap pengurus itu, menggertaknya.

"Bau asap rokok," kata pengurus lainnya, mencoba mencari sumber dari bau asap itu berasal.

Sementara yang ada di lokasi, ada sebelas santri. Mereka tergopoh, tidak tahu lagi apa yang akan menjadi jawaban.

"Kalian merokok?" tanya pengurus itu.

"Tidak ada bukti, jangan asal tuduh," jawabnya santai, sembari membersihkan dedaunan yang mengotori tempat itu.

"Tidak mungkin ada bau, kalau tidak ada barangnya. Ngaku saja!" Suara lantang pengurus itu semakin menjadi.

"Kembali ke asrama. Malu-maluin pesantren saja!" ucap yang lainnya. Mereka segera beres-beres untuk meninggalkan tempat itu.

Pohon bambu di tepi sungai adalah tempat yang biasa dibuat untuk melanggar semua peraturan pesantren. Teduh, tidak terlihat dari jarak jauh. Hanya orang terpilih yang tahu tempat itu.

"Aku takut kalau nanti saya digundul, dan orang tuaku bisa tahu apa yang selama ini aku lakukan di pesantren. Bagaimana ini?" kata salah satu mereka, saling mencemaskan nasibnya, akan menerima takziran dari pesantren.

Nächstes Kapitel