Tidak terasa, sudah hampir enam bulan aku berada di pesantren, meski tidak lepas dari keluhan saat telat kiriman, tetapi ada saja teman yang mau mengulurkan tangan. Karenanya, yang awalnya ada keinginan pulang musnah dengan adanya kerukunan. Meskipun dengan kata memberi hutang, tetapi namanya santri tidak akan indah tanpa catatan hutang.
Bulan ini, tepatnya Bulan Maret 2019 mendekati hari pulangan, setelah melewati perjuangan menempuh ujian semester satu. Herman yang menjadi teman, sekaligus ketua asrama, kini perlahan mengajarkan aku mandiri untuk bisa belajar giat tanpa ada tuntutan. Perlahan, dia mengenalkan aku dengan teman, adik kelasnya, yang terbiasa tekun dalam belajar. Karena kelas Herman akan melewati kesibukan, mengatur kelulusan juga perpisahan kelasnya, di akhir semester.
"Pulangan nanti, kamu dijemput atau pulang sendiri?" tanya Herman.
"Sepertinya pulang sendiri," jawabku.
"Kalau pulang sendiri, hati-hati ya! Salam sama orang tua kamu di sana."
"Kenapa tidak pulang bareng saja? Kita kan satu jalur," tanyaku.
"Bagian pengurus tidak pulang, masih mengurusi kelulusan nanti."
Seperti biasanya di awal pagi, selesai Salat Dhuha, aku dan teman lain masuk asrama. Merebahkan badan sekadar guyonan ala santri, mengganggu jam tidur temannya agar tidak tidur di waktu pagi. Meskipun di sela-sela itu, Herman menyempatkan diri untuk sekadar tanya-tanya tentang kepulanganku, beberapa hari ke depan. Setelah itu, Herman meninggalkan aku yang masih berada di asrama.
Sambil mengisi waktu kosong, menunggu jam masuk sekolah. Aku punya kebiasaan di pesantren, membaca ulang pelajaran demi pelajaran yang sama sekali tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Meskipun akhir-akhir ini mendekati pulangan, aku tetap menyendiri di asrama dengan mempelajari kitab, supaya ilmu yang pernah aku pelajari bisa diamalkan saat pulangan nanti.
"Nanti pulangan main ke rumah, ya," kata Riyan dari ambang pintu.
"Insyaallah, aku usahakan."
Di luar ada Firman, Andi, Zainul, dan Arif. Mereka terkenal murid paling ramai dalam kelas. Paling parahnya lagi, mereka bergurau tidak jelas di depan asrama.
"Min, ikut kita yuk, main di sungai!" ajak Arif.
"Ngapain ke sungai?" tanyaku masih polos, "mending tidur saja, jangan ke mana-mana."
"Sekali-kali gitu, kamu main sama kita," Arif membujukku.
Mereka berempat berjalan santai menuju sungai. Entah, apa enaknya berada di sungai, pagi-pagi begini. Aku mengikuti mereka dari belakang, pura-pura mandi di sungai.
"Min. Sini!" Panggil Arif yang jongkok di bawah rimbunan pohon bambu.
"Ih, kok kalian merokok di sini?"
Aku kaget melihat mereka dengan memegang batang rokok. Padahal, di pesantren menjadi larangan yang ketat.
"Jangan berisik, duduk saja di sini!" tegur Arif.
"Min. Awas kamu, jangan bilang-bilang sama Herman!" gertak Andi dan Zainul.
"Kalau kamu mau merokok juga, duduk saja!" kata Arif mempersilakan
"Aku mau lanjut mandi saja, aku takut."
"Jangan bilang sama Herman, loh. Tahu sendiri kamu!" Ancam mereka.
Bagaimana nasib pesantren yang kamu tempati, kalau sikap kamu selalu melanggar peraturan pesantren?
Tidak kasihan atas jerih payah orang tuamu, yang mencari nafkah untuk mengirimmu? Sementara kirimannya, kamu buat melanggar peraturan pesantren.
Memang benar, orang tuamu senang kamu ada di pesantren, tetapi mereka tidak tahu jelas apa yang kamu lakukan di sini. Entah, berupa pelanggaran, malas kegiatan, dan juga hal-hal yang tidak pernah mereka sangka.
Orang luar bilang; pesantren identik dengan hal-hal yang baik, penuh Istiqomah, tetapi itu sebagian. Hanya santri yang punya niat, sungguh-sungguh dalam mengunyah ilmu dan mencari berkah kiai, maupun pesantren itu sendiri. Untuk selebihnya, santri jauh lebih nakal, dan kurang adab saat hura-hura di luar, maupun di pesantren.
Santri dibilang taat, karena adanya peraturan yang ketat. Namun sebenarnya, suka malas, tidur tak kenal waktu, dan jarang sekali menghargai penjelasan guru saat pelajaran. Santri juga manusia biasa, tidak ada yang bisa diunggulkan dari santri. Hanya beberapa bagian para santri bisa dites untuk menjawab beberapa pertanyaan seputar ilmu. Itu pun kalau masih bisa dijawab. Karena sejatinya kehidupan (bukan hanya santri), ada yang mudah menghafal, tetapi pelupa. Ada yang mudah memahami, tetapi sulit menjawab waktu ujian. Ada pula yang memahami, dan bisa ingat di mana pun diperlukan. Inilah tingkat kemanusiaan, yang jarang sekali diperhatikan.
"Bos, pulangan kurang berapa hari lagi?" tanyaku sama Herman, ketika mau berangkat sekolah.
"perkiraan satu minggu lagi, kenapa?"
"Ngga apa-apa, cuma tanya."
"Ingat, loh, kegiatan yang kamu lakukan di sini, jangan sampai kamu tinggalkan saat di rumah," kata Herman menasihatiku.
Aku mengacungkan jempol ke Herman, meyakinkan. "Terima kasih sudah mau mengajarkan aku dari awal."
"Cobaan terberat santri waktu pulangan. Kalau dia melakukan kegiatan di pesantren tidak ikhlas, atau unsur keterpaksaan, karena kewajiban. Maka saat pulangan pasti ditinggalkan, dengan dalih bebas dari peraturan," panjang lebar Herman menasihatiku, memberi bekal sebelum nanti pulangan.
"Akan aku usahakan untuk tetap mengingat apa yang pernah kamu ajarkan sama aku, Bos. Terpenting jangan pernah lupa mendoakan orang tua, supaya bisa menjadi anak kebanggaannya. Juga jangan tertipu dengan indahnya dunia, sehingga lupa akan akhiratnya. Itu kan, Bos, pesanmu?"
Pemuda berkulit sawo itu tertawa kecil, setelah aku memamerkan pesan yang sempat diungkapkan padaku. Setengah mencubit lenganku, ketika aku keluar asrama.
Pulang. Mungkinkah akan kembali dengan kebiasaan sebelumnya yang pernah aku lakukan, menyia-nyiakan waktu hanya untuk mencari hiburan, nongkrong di warung. Sampai lupa dengan Ibadah wajibnya, menjadikan hidup seakan hampa.
Itulah rintangan yang akan aku hadapi. Belajar mengamalkan ilmu yang telah aku pelajari, menangkis semua aktivitas yang tidak berguna, dan bisa mengajak semua teman agar bisa menempuh jalan yang benar sesuai ajaran Allah dan nabi-Nya.
***
Pemandangan itu sangat asing. Pohon-pohon rimbun di pinggiran jalan, sangat apik, layaknya pertama kali aku menginjakkan tanah ini. Padahal dulu, jalanan ini tempatku berkoar-koar tak tahu diri.
Hawanya sejuk, terhirup udara baru yang sama sekali belum aku rasakan sebelumnya. Tidak jauh berbeda dengan keadaanku yang kembali asing di tanah kelahiran ini. Wajah yang tak lumrah, kini tak bisa diungkapkan lagi, pangling.
Enam bulan sudah, hari-hariku berada di pesantren begitu mengesankan. Menahan semua kemauan, demi cita-cita membahagiakan kedua orang. Meski dengan terpaksa berada di pesantren, langkahku perlahan bisa melewati waktu yang begitu lama. Pulangan sudah tiba. Bahagia rasanya, bisa mengistirahatkan pikiran dari semua kegiatan di pesantren.
Aku menghela napas panjang, setibanya di rumah. Bangunan tua yang aku tempati, terlihat asing kembali. Debu-debu menempel di berbagai lemari, juga tempat tidurku, tak terurus. Mengingat usia orang tua, yang kian berlanjut usia, sudah tidak sempat lagi membersihkan kamarku.
"Kalau mau makan, nasinya di panci. Ibu masak ikan ayam kesukaan kamu," kata Ibu menemaniku yang sedang terbaring di ruang tamu.
"Ponsel Amin di mana, Buk?"
Jelas. Di jaman ini, ponsel menjadi kebutuhan sosial. Rasanya hampa kalau pulang tak memeluk benda itu. Apalagi selama enam bulan, sama sekali tidak ditemani ponsel.
"Masih ibu simpan di lemari. Makan dulu!"
"Iya, nanti saja, Buk. Tadi sudah sarapan di pesantren."
Aku bergegas mengambil ponsel, meninggalkan tas yang masih rapi di ruang tamu. Begitu pun Ibu, kembali ke aktivitasnya, beres-beres rumah. Dengan semringah, aku menggenggam ponselku, terburu-buru untuk menyimpan nomor teman-teman yang sebelumnya kucatat di buku.
Satu per satu, kuhubungi dan menyapa dari balik layar. Ada yang sudah tiba di rumahnya, ada juga yang tidak bisa dihubungi nomornya. Tidak lupa dengan sebungkus rokok, yang menjadi kebiasaanku sebelum masuk ke pesantren. Lega rasanya, bisa menikmati sebatang rokok yang selama ini kuinginkan.
___