Dan hari Kamis itu pun tiba. Sebuah hari dimana secara kebetulan ia off dari kantor. Setelah menitip pesan pada Andy dan Aida, anak buahnya, untuk merahasiakan kepergiannya, Clara mengatur waktu pertemuan dengan Gilang pada pub di hotel tempat Gilang menginap. Karena baru saja mendekati tengah hari, Clara memutuskan untuk minum sekali saja minuman Chivas Regal yang ada di sana. Mereka masuk dan tentu saja saat itu suasana masih sepi.
"Ayo duduk di sini," katanya sambil menyorongkan kursi untuk Clara.
Gilang meletakkan tasnya di lantai dan meninggalkan Clara untuk duduk sementara dia mengambil minuman yang ia mau. Clara berterima kasih padanya ketika ia kembali dan Gilang terciduk memperhatikan pahanya saat Clara duduk. Orang itu mungkin sering menatap Clara di kolam renang dan gym serta sauna. Tetapi melihat ia memandang Clara di luar lingkungan itu memberikan perasaan yang berbeda.
Mereka mengobrol sesaat dengan ditemani sang Chivas. Dari rencana satu gelas, keasyikan mengobrol membuat ia sudah minum di gelas ketiga. Tidak ada yang khusus tapi sekali lagi Clara melihat pria itu sesekali melirik pahanya. Wanita itu menyadari bahwa dengan duduk, roknya yang sedikit di atas lutut telah lebih tersingkap untuk menunjukkan lebih banyak keindahan bagian paha daripada biasanya. Kendati begitu Clara tidak enak untuk menarik roknya kembali ke bawah karena merasa percuma juga karena terlihat jelas bahwa Gilang telah mengintipnya. Pub mulai terisi makin banyak orang, dan ia menolak tawaran minuman lagi, karena khawatir dia jadi akan diketahui kalau-kalau ada orang yang mengenalinya.
"Kalau gak mau lagi Chivas Regal, bagaimana kalau kopi?" Gilang menawarkan.
Atas ajakan itu, Clara melihat dulu sekeliling. Sikapnya seolah berkata, 'aku gak ingin terlihat di sini sama-sama dengan cowok asing'.
"Kalo gak mau resiko keliatan orang lain, aku bisa buatkan kopi di kamar,” katanya seperti seperti bisa membaca pikiran Clara.
“Dan selain itu aku juga ingin tau pendapat kamu soal kamarku. Siapa tau kamu ada rekomendasi kamar di hotel lain yang lebih bagus.”
Dua tawaran itu membuat Clara panik. Haruskah ia mengambil risiko tetap tinggal di pub? Atau pulang saja ke rumah dimana tidak ada rencana juga untuk sore hari? Atau ia ikut saja ke kamar Gilang? Pergi ke kamar pria itu mungkin kurang bagus tapi… apa alasan yang tepat untuk menolak kebaikan Gilang? Dan sementara berpikir-pikir begitu, efek tiga gelas Martini sudah langsung terasa. Ia pening dan ia heran bahwa sebagai dokter kenapa pikirannya timbul dan tidak bisa berpikir mencari jalan keluar untuk kondisi yang sebetulnya tidak rumit ini?
Dengan kepala pening Clara tidak bisa memikirkan jawaban bagus selain kemudian menjawab dengan hampir tergagap, "erm, ohh, erm, oke kalau begitu."
Saat mengatakan ‘oke’ ia langsung berpikir: ‘o shit, gue udah ngambil keputusan gila.’
Clara sadar ia telah membuat keputusan yang salah ketika ia membuat Gilang melihatnya langsung ke payudara saat ia berdiri. Berpura-pura tidak menyadarinya, Clara mengambil tasnya. Saat itu diam-diam ia mengutuk dirinya sendiri karena menyadari bahwa dengan membungkuk untuk mengambil tas, Gilang akan memiliki pandangan yang jelas ke bagian depan blus. Benar saja, ada senyum lebar di wajahnya.
Saat Gilang membawa dirinya pergi, Clara mengatupkan bibir, mengerutkan kening dan sekali lagi diam-diam mengutuk diri sendiri. Suara batinnya bergemuruh.
‘Lu setuju untuk pergi ke kamarnya. Lu tau dia telah mengintip paha. Lu tau dia ngintip payudara lu. Shit! Dan lu fine-fine aja?’
Meskipun Clara tahu Gilang suka melihatnya dalam pakaian renang, tapi ini berbeda. Mereka berjalan di koridor dalam keheningan dimana untungnya tidak terlihat orang lain sampai mereka tiba di pintu kamar.
“Nah, ini kamarku.”
“I know,” Clara balas tersenyum. “Dan aku ke sini untuk minum kopi dan ngasih pendapat soal kamarmu kan?”
Mereka meletakkan tas mereka masing-masing di dekat pintu sesaat setelah masuk ke dalam kamar.
"Jadi, apa pendapatmu tentang ruangan itu?" tanya Gilang sambil mulai membuat kopi.
“Bagus.”
"Ya, menurutmu apakah aku harus tetap di sini atau minta pindah?” tanyanya seolah-olah wanita bersuami itu adalah petugas yang berwenang soal kamar tidur.
"Sepertinya gapapa bagiku," katanya sambil tersenyum. “Gak ada yang salah.”
"Ya, kamu mungkin benar," jawabnya sambil mengisi ketel dan mencolokkannya.
Clara duduk di kursi. Ia jadi sedikit santai saat melihat bahwa dia memang akan membuat kopi untuk dirinya, sampai kemudian ia berkata lagi.
"Kamu memiliki senyum yang indah, Clara. Juga wajah yang sama indahnya.”
Clara bisa merasakan dirinya mulai merona, tidak tahu harus berkata apa. Gilang melangkah sampai ia berada di belakang kursi yang ia duduki. Dari posisinya yang seperti itu, Clara tahu Gilang kini bisa dengan bebas melihat ke bawah. Pada belahan dadanya yang tengah duduk canggung di kursi.
“Juga kaki jenjang yang putih mulus,” katanya sambil menatap kakinya.
"Bahkan kamu itu cantik secara keseluruhan," tambahnya sambil tangannya turun dan langsung menjamah dada.
Clara tahu ia tidak bisa menyembunyikan pipinya yang memerah. Ia tertawa dan berkata, "Kurasa nggak seperti itulah, Gilang."
"Let me tell you. Kamu itu benar-benar fantastis dalam segala hal," tambahnya.
Clara tersenyum canggung. Alkohol telah sukses membuat nalarnya lenyap. Ia memikirkan apa yang harus dikatakan sekarang, saat ia kemudian merasakan tangan orang itu kini dengan nakal menyelusup ke balik blus dan bahkan ke balik bra, untuk menemukan sebongkah daging kenyal di sana. Ia menelan ludah dan merasakan pipinya terbakar saat Gilang tersenyum dan kemudian merasakan kebingungan total saat Gilang dengan berani merundukkan badan dan mencium pipi.
"Apakah kamu senang atau tersinggung karena aku menganggapmu menarik," dia bertanya, dengan tangannya masih di balik blus.
"S-senang... kurasa," katanya tergagap.
"Seharusnya begitu, karena memang begitu," dia tersenyum lagi dan kali ini menggerakkan mulutnya ke bibir dan mencium dengan hangat.
Clara sekarang dalam keadaan bingung. Ia ingin berhenti tapi tidak bisa. Ingin berdiri, tapi lebih tidak bisa karena alcohol membuatnya sulit melakukan itu. Ia ingin menolak saat Gilang berhenti sebentar namun tetap saja ia diam ketika pria itu mencium lebih lama.
*
“M-maaf, saya bicara dengan siapa?”
“Orang-orang manggil aku Pak Maryoto. Tetangga satu-satunya dari rumah tua ini. Aku harap kamu jangan kesini lagi. Kalo tetap keras kepala, jangan kaget nanti kamu ngalamin yang aneh-aneh dan menakutkan di sini.”
Clara bergidik. “Apa memangnya yang menakutkan pak?”
“Pengalaman mistis. Dari lima penghuni lama ada dua orang hilang tak berbekas. Banyak yang menduga mereka sudah mati walau jenazahnya tak pernah ditemukan.”
“M-mati?”
“Iya, mati.”
Love menelan ludah saat mendengar cerita horror tadi.
“Maaf kalau cerita itu terdengar menakutkan.”
Maryoto pergi sebelum kemudian terhenti dan membalik badan kembali ke arah Love. Ia merasa bahwa perlu baginya untuk menyampaikan sebuah informasi tambahan.
“Ada yang mau aku tanya: kamu atau keluargamu tidak berniat tinggal di rumah in ikan?”
Terdiam sejenak, ia lantas menjawab. “J-justeru kami memang akan tinggal di sini.”