*
Hesti dan Gilang pulang, sesaat setelah Ammar, Endang selesai makan malam.
"Dari mana kalian? Kok sampai malam begini baru pulang?Hesti kan sedang hamil besar, tidak baik keluar malam, " kata Ammar sambil melirik belanjaan di tangan Hesti.
"Belanja keperluan bayi , Pak. Hesti sebentar lagi sudah mau lahira," jawab Gilang.
“Kalian duduk dulu, Bapak sama Ibu mau bicara," kata Ammar.
Endang sebenarnya sudah ingin menyemprot Hesti dengan makiannya. Tapi, ia ingat pembicaraan dengan suaminya siang tadi. Ia tidak ingin membuat suaminya kecewa. Sehingga ia memilih diam dan menahan sedikit emosinya.
"Menurut perkiraan dokter, kapan Hesti lahiran?" tanya Ammar.
"Kami baru saja periksa juga, Pak. Masih dua bulan lagi. Minggu depan kan, tujuh bulanan. Oiya, anaknya ternyata kembar , Pak." Gilang menjawab dengan bersemangat.
"Hmmm, Bapak dan Ibu kan belum memberikan hadiah apa pun pada kalian sebagai hadiah pernikahan. Nah, Bapak dan Ibu sudah memutuskan, untuk membelikan kamu rumah dan isinya sebagai hadiah pernikahan kalian. Besok, Bapak akan mengurus semuanya. Jadi, setelah semua siap, kalian bisa pindah ke rumah baru kalian. Selain itu, lebih baik memang buat kamu dan Hesti. Supaya kalian belajar hidup mandiri. Bapak sebagai pemilik perusahaan tetap akan mengontrol semua dan kamu harus memberikan laporan secara profesional.
"Sebagai lelaki, kamu boleh dibilang sangat enak. Tidak perlu bersusah payah dari nol. Tapi, saat ini Bapak rasa sudah saatnya kamu bisa lebih bertanggung jawab.Jika kinerjamu tidak baik, Bapak bisa mencari orang lain yang lebih kompeten menjadi CEO di perusahaan kita. Jadi, kamu pilih ... mau belajar bertanggung jawab atau tetap seperti sekarang ini," kata Ammar.
Gilang dan Hesti saling pandang. Gilang merasa sedikit kaget. Selama ini, ia tidak pernah mengeluarkan uang sepeser pun untuk keperluan belanja di rumah. Uangnya selalu masuk ke rek pribadinya. Ada rasa cemas dalam hati Gilang. Ya, bagaimana tidak, selera belanja Hesti cukup tinggi. Tapi, ia tau jika Bapaknya sudah bicara , maka tidak dapat dibantah lagi oleh siapa pun. Selama ini, Ammar memang jarang sekali bicara. Semua keputusan, ia serahkan kepada Endang sepenuhnya. Namun, kali ini Ammar merasa perlu turun tangan untuk mendidik putranya ini.
"Apa rumah dan isinya boleh kami yang memilih, Pak ?" tanya Gilang. Seolah dapat membaca pikiran Gilang, Ammar menggeleng. " Tidak, yang namanya hadiah, mana boleh pilih. Masih syukur dikasi hadiah, kok malah ngeyel. Ya sudah, Bapak hanya ingin menyampaikan itu saja. "
Ammar pun beranjak dan seperti kebiasaanya , setelah makan malam, ia akan menonton berita di televisi sambil bersantai di ruang keluarga.
"Bu, tolong rayu Bapak. Masa nggak boleh minta mentahnya aja sih." Kata Gilang berusaha merayu Endang. Namun, Endang hanya mengendikkan bahunya.
“Ibu kali ini nggak bisa bantu, itu sudah keputusan Bapakmu. Sudahlah , Ibu mau istirahat di kamar!"
Endang pun berlalu. Meninggalkan Gilang yang bingung dan Hesti yang mulai cemberut.
"Apa bapakmu saat ini sedang mengusir kita secara halus?" tanya Hesti saat mereka sudah berdua di kamar.
Gilang menarik napas panjang dan mengembuskannya perlahan.
"Aku nggak tau, bapak mau aku lebih mandiri. Makanya, kamu itu kalau aku sedang kerja jangan selalu mengganggu. Berapa kali aku membatalkan meeting hanya karena kamu meminta keluar untuk belanja. Belanjamu juga di rem, dong!"
Hesti memberenggut kesal mendengar perkataan Gilang.
"Mas, kamu kan anak pemilik perusahaan. Masa sih bapak tega memecat kamu," jawab Hesti. Gilang mendecih perlahan, "Kamu sama sekali tidak tau sifat bapak. Kalau beliau sudah mengambil keputusan, tidak akan diubah lagi. Jadi, jika kamu masih mau hidup enak, jangan membantah terus!"