webnovel

PERTENGKARAN MENANTU MERTUA

Siang itu Endang tampak kesal. Ia terlihat cemberut. Pagi- pagi sekali Gilang dan Hesti pergi. Dan mereka pulang dengan membawa perabotan baru. Springbed dengan merk yang mahal, lemari, meja rias, nakas. Beberapa set sprei dan bedcover yang juga merk terkenal. Semua barang-barang lama dari kamar Gilang dipindahkan ke kamar kos yang memang belum sempat Endang isi dengan perabotan karena memang belum akan disewakan..

Dan Endang lebih kesal lagi, saat ia mengintip ternyata Hesti juga membeli satu set perhiasan. Dan perhiasan yang dibeli itu bukan perhiasan murah. Paling tidak Gilang menghabiskan 100 juta untuk membeli semuanya.

Setelah para tukang yang membantu mengangkat lemari dan lainnya sudah pergi dan sudah mendapatkan upah dari Gilang, Endang segera menghampiri Gilang yang sedang duduk di sofa.

"Beli barang baru, kenapa nggak minta pendapat Ibu dulu?" Endang mulai mengintrogasi Gilang. Gilang menghela napas panjang. Dia sudah menduga, pastilah sang ibu akan protes karena hal ini.

"Iya, kamar ujung itu belum ada barang- barangnya juga Bu. Hesti kurang nyaman, barang- barang yang dipakai sejak masih ada Fahira, " jawab Gilang.

"Ya, tapi kenapa mesti beli yang mahal? Itu spring bed aja harganya saja sudah dua puluh lima juta. Belum lemari dan lain-lain.Televisi baru juga kan. Perhiasan juga, kamu pikir ibu nggak liat?!" Endang mulai meradang.

"Ya ampun, belum dua ratus juta, Bu," jawab Gilang.

Sontak Endang melotot kaget. Perkiraannya meleset, bahkan yang di keluarkan lebih banyak lagi.

"Belum dua ratus juta? Artinya belanjamu hampir dua ratus juta? Ibu tau kamu mampu, tapi ... duh, sudahlah cape ibu berdebat denganmu!"

“Sesekali nggak apa, Bu. Lagi pula sejak menikah aku belum pernah membahagiakan Hesti. “

“Belum pernah katamu? Yang ibu lihat kamu selalu memanjakan istrimu. Baju, tas branded ... semua yang dia minta kamu ikuti. Sementara urusan di kantor kamu sering tinggalkan. Ibu memang tidak paham masalah kantor tapi, ibu tau kalau kamu sering meninggalkan kantor dan meeting hanya karena istrimu yang memintamu pulang!”

Mendengar ribut-ribut, Ammar yang sedang duduk di halaman samping langsung masuk dan menghampiri.

“Ada apa ini ribut-ribut?” tanyanya.

“Tanyakan saja pada anak kesayanganmu!”

Ammar menoleh dan menatap putranya itu dengan tatapan tajam.

“Bapak tidak mau ada keributan. Kau yang memulai jadi kau juga yang harus menyelesaikan."

Ammar pun segera berlalu dari ruangan itu. Ia memilih untuk pergi. Sementara itu, Endang dengan kesal melangkah ke kamar Gilang dan membuka pintunya dengan keras.

“Ada apa, Bu?" tanya Hesti. Wanita itu sedikit terkejut saat Endang masuk.

“Kamu itu menikah dengan anak saya untuk memerasnya? Saya perhatikan kamu selalu meminta ini dan itu. Liburan ke sana liburan ke sini, beli ini beli itu. Kamu pikir anak saya ini ATM berjalan?! Belum lagi kamu selalu mengganggunya jika di kantor, jangan pikir saya tidak tau, ya!" seru Endang dengan kesal.

"Loh ... wajar kalau seorang suami membahagiakan istrinya. Saya sudah menikah hampir tiga tahun, bahkan sebentar lagi saya hampir melahirkan. Sepertinya hanya meminta perabotan yang baru dan perhiasan itu tidak akan membuat jatuh miskin, Bu. Apa lagi Mas Gilang memang mampu." Hesti menjawab dengan santainya.

Gilang hanya bisa mengembuskan napas kasar. Ia merasa kesal dengan sikap Hesti yang tidak mau mengalah dan tidak menjawab sang ibu.

"Kamu dengar baik- baik ya! Di sini kamu itu hidup sudah enak, mau apa saja ada. Pekerjaan rumah saja kamu tidak perlu mengerjakan. Makan ... ya tinggal makan. Setiap bulan anak saya pasti memberi kamu uang yang cukup. Jangan meminta yang macam-macam terus! Si Fahira dulu mana pernah neko- neko. Di akhir minggu jika dia dan Gilang pergi keluar ketika pulang dia akan membelikan saya dan bapak meski hanya sekedar martabak. Tapi kamu, katanya berpendidikan tinggi, tapi sama sekali nggak punya sopan santun!" maki Endang.

Gilang memberi tanda supaya Hesti berhenti menjawab sang Ibu, namun Hesti tidak menggubris.

"Ibu lupa, siapa dulu yang mendukung saya untuk menjadi menantu Ibu? Siapa dulu yang selalu curhat katanya menantu tidak berpendidikan, penampilan kampungan, tidak sepadan , tidak level? Ibu yang bilang begitu? Sekarang, kenapa ibu justru membandingkan- bandingkan saya dengan perempuan kampung itu?!" Hesti dengan berani mulai melawan Endang dengan suara tinggi.

"Heh, kurang ajar kamu! Mulutmu itu dulu tidak diajarin sopan santun?Apa orang tuamu tidak pernah mengajari dan mendidik kamu?!”

"Jangan bawa- bawa orang tua saya!"

"Sudah cukup! Bikin malu saja. Kamu juga Gilang, didik itu istrimu! Yang dibentak itu ibu kamu ... tapi kamu hanya diam menonton?! Kamu laki- laki atau bukan?!" Teriak Ammar yang tiba-tiba saja sudah berada di sana dengan keras.

"Kamu juga, Bu. Biarkan sajalah ... toh memang dari beberapa bulan yang lalu Ibu mau mengisi kamar di ujung itu,kan? Sudah tidak perlu diributkan. Kita sudah sepakat untuk membiarkan Gilang bertanggung jawab dan mengurus perusahaan. Biarkan sajalah, dia sudah dewasa. Dan, kamu juga Hesti ... saya tidak pernah melarang untuk kamu meminta pada suamimu. Tapi, jangan terlalu banyak menuntut. Juga tolong, jaga sopan santunmu. Kamu seorang sarjana bukan? Apa lagi keluargamu orang terpandang juga. Apa kata orang nanti."

Setelah berkata, Ammar pun beranjak menuju ke kamarnya. Tidak ada lagi yang berani bersuara jika Ammar sudah mengeluarkan suara. Termasuk Hesti, dia sangat segan pada bapak mertuanya itu.

Nächstes Kapitel