"Dylan?!"
Renee masih tidak bisa mempercayai apa yang ia lihat, samar-samar ia menemukan beberapa kemiripan dari sang monster dengan Dylan, terutama mata abu-abu yang mentapnya dengan ganas.
"Kakak, awas!"
Joy mengerti mengapa Renee terlihat sangat terkejut, monster itu pasti adalah seseorang yang dikenal Renee.
BUKH!
Renee hampir saja terhempas ke atas tanah kalau tidak ada cahaya jingga yang membuat tubuhnya tidak jatuh dengan keras, ia menarik napas dalam-dalam.
Ia akhirnya mengerti, mengapa Joy begitu terlihat dewasa daripada usianya, mungkin karena hal ini. Melihat orang yang dikenal menjadi monster itu tidak mudah, sekarang Renee merasakan penderitaan semua orang di kota Dorthive.
Renee menggertakkan gigi, kedua alisnya saling bertaut, ia mengayunkan pedangnya dengan kuat.
Monster itu dengan mudah menghindar, seakan ia sudah bisa membaca semua gerakan Renee. Ia tidak seperti monster lain yang mengandalkan cakar dan kaki, tapi ia menggerakkan seluruh anggota tubuhnya dengan gerakan yang sangat lihai.
"Sadarlah, Dylan!" Renee berteriak marah, pedang yang digerakkan Renee itu sekali lagi ditangkap dan ia harus terseret beberapa langkah, Joy yang melihatnya ketakutan.
SRATS!
Renee menarik pedangnya dengan keras, tangan sang monster tergores, meneteskan darah ke atas tanah, ia menggerakkan jari-jarinya dan cahaya jingga langsung melesat.
"Ggrh!"
Monster itu mundur dengan terhuyung-huyung, tubuhnya yang terkena cahaya jingga itu mengeluarkan asap berwarna putih yang melayang di udara.
"Kakak!"
"Diam di sana, Joy!" Rene menggerakkan tangannya dan cahaya jingga menyebar di sekitar mereka, di siang hari yang terik. "Dylan, maaf."
Renee menghentakkan tangannya, cahaya jingga berputar membentuk beberapa anak panah dan menghujani sang monster.
Joy yang melihat semua itu tidak bisa mengedipkan matanya, seperti kembang api yang meledak di siang bolong, semua yang ada di depannya ini terlihat sangat silau. Cahaya jingga muncul dari tubuh Renee dan melayang ke arah sang monster.
"Arhg!" Bahu monster itu terhuyung-huyung, ia terlihat sekuat mungkin untuk tidak terjatuh ke belakang, kaki-kakinya yang besar itu mencoba menapak tanah dengan mantap.
Renee merasa tidak cukup jika hanya serangan cahaya jingga saja, ia mengeratkan pedang dan menerobos maju.
Monster itu mencoba menghindari cahaya jingga yang melesat menuju jantungnya, ia tidak bisa tidak mengerang, saat terkena ia merasakan rasa sakit yang menusuk, kuat hingga menembus ke belakang. Kedua tangannya yang besar itu berusaha menghalau dengan gerakan acak hingga ia tidak menyadari kalau Reneee sudah mendekat dengan pedangnya.
"Renee!" teriak monster itu dengan suara Dylan. Renee tersentak, ayunan pedangnya melemah dan monster itu membalasnya dengan cepat, tangannya yang besar itu menarik wanita itu ke arahnya.
"Kakak!" Joy berteriak lagi untuk yang kesekian kalinya, keringat dingin mengalir deras. Ia tahu kalau Renee adalah orang yang memiliki jiwa suci, tapi melihat bagaimana monster itu berhasil menyeret Renee, membuat ia semakin takut.
"Apa … apa yang harus aku lakukan?" Joy berpikir keras, ia melihat ke sekitar.
Di depan gerbang keluarga Emmanuel tidak ada kayu atau dahan pohon yang patah, tapi ada bebatuan kerikil yang menghampar di atas lumpur.
"Dylan, sadarlah!" Renee yang terseret berusaha melepaskan diri, pedang di sebelah tangannya ia tusuk ke kaki sang monster. "Aku Renee!"
Joy langsung memungut kerikil dan melemparkannya secara membabi buta, kerikil kecil itu mengenai dahi sang monster, tapi karena itu hanya lemparan dari seorang gadis kecil, kekuatannya tidak kuat dan tidak membuat sang monster merasa.
Renee menusukkan pedang dan cahaya jingga langsung merayap masuk ke dalam, monster itu memekik, merasakan sakit, tapi ia enggan melepaskan Renee begitu saja dan mencengkeram leher Renee.
BUKH!
Sebuah batu mengenai belakang kepala sang monster, Joy terengah-engah di belakang, kedua tangannya memerah.
"Kakak! Cepat rubah dia kembali!"
Monster itu menatap sang gadis kecil, mata abu-abunya berkilat-kilat penuh kemarahan. Tangannya langsung melepaskan Renee dan melompat ke arah Joy.
Joy memegang dua batu kerikil yang tersisa di tangannya, hampir lemas karena gemetar. Di sisa-sisa tenaga terakhirnya ia melemparkan kerikil kembali.
"Joy!" Renee langsung menggerakkan jari-jemarinya, cahaya jingga dengan cepat menghantam sang monster dan Renee berlari menangkap Joy.
"Apa yang kau lakukan? Itu berbahaya!"
"Aku ingin membantu kakak!"
Joy meringis, tubuhya yang kurus dengan mudah dibawa Renee ke bawah pohon. Wanita itu mengangkat jari telunjuknya dan cahaya jingga langsung muncul, membentuk lingkaran.
"Tetaplah di sini. Aku baik-baik saja." Renee melirik luka di lehernya yang mulai pulih, ia tahu kalau dirinya terluka, ia tidak akan terlalu menderita, sebaliknya kalau Joy, ia mungkin harus merasakan sakit.
"Renee!" Monster itu kembali berteriak, kali ini benar-benar jelas terdengar suara Dylan. Cahaya jingga yang ada di sekitarnya terus menyerang secara membabi buta. "Renee, kenapa kau menyakiti aku?!"
Renee menoleh, semakin dilihat, semakin ia yakin kalau yang ada di depannya ini adalah Dylan.
Kalau Dylan saja sudah seperti ini, maka Bella dan Leo ….
Mereka juga ….
Renee menelan ludah, ia melangkah mendekati sang monster yang terlihat , cahaya jingga yang ada di sekitar tubuhnya menjadi lebih terang dan meluas seiring dengan perasaan di dadanya yang terasa meledak, ia marah, ia dendam dan ia ingin menghancurkan Ivana dan Tuannya sekarang juga.
"Renee! Aku sakit!" Monster itu kini menjerit, lututnya kini telah bertumpu ke atas tanah, cahaya jingga yang menghujaninya itu terus datang dan membuat tubuhnya sakit tanpa henti. Mata abu-abu itu berair, seakan ia tengah menangis.
Renee tidak mengatakan apa pun, seakan-akan ia tidak mendengar jeritan kesakitan Dylan, dari setiap langkahnya mendekat cahaya jingga semakin meluas dan kuat, udara terasa panas dengan hawa yang aneh, pepohonan di sekitar seakan tengah menggerakkan batang dan daunnya menjauh.
Tidak apa-apa jika ia telah gagal di lumpur kematian, tapi di depan Dylan, ia harus berhasil.
Renee tidak tahu caranya, tapi ia percaya dengan kata hatinya.
"Dylan, aku akan berusaha membuatmu kembali." Mata coklat Renee berubah menjadi lebih gelap dan pedang di tangannya langsung bersinar seakan-akan tengah terbakar cahaya matahari yang menyilaukan. "Maaf, ini akan menyakitimu!"
Renee melompat, di detik berikutnya sebuah ledakan besar menggetarkan seluruh halaman Mansion keluarga Emmanuel, kaca-kaca di bangunan depan langsung pecah secara bersamaan. Keramik-keramik yang terbentang di sepanjang jalan menuju pintu hancur menjadi serpihan debu dan lonceng yang ada di lantai paling atas Mansion keluarga Emmanuel berdentang.
DENG … DENG … DENG ….
Suara lonceng bergema ke segala penjuru kota Dorthive, seakan-akan tengah menandakan kalau hal yang telah mereka tunggu dari lama telah tiba.
Joy mundur dengan wajah pucat, tanpa sadar tangannya memegang kuat batang pohon, jantungnya berdebar lebih kencang.