webnovel

Warung dekat jembatan

Boni memekik, para zombi sudah kian dekat. Jefri langsung menancap pedal gas dan langsung meninggalkan zombi kelaparan itu dibelakang.

Dalam pelarian dari zombi, Jefri ingat siapa wanita yang tertembak mati tadi. Dia adalah wanita yang memberikan tempat istirahat untuk mereka, sewaktu tak ada tempat untuk bersembunyi. Dan langsung mendapat hadiah tamparan keras berulang kali, dari sang suami yang kasar.

Jefri bisa menebak, kalau yang menembak adalah sang diktator, suami wanita itu sendiri.

Tangis Alyssa tak berhenti, meski sudah cukup jauh dari lokasi kejadian. Boni memeluknya dengan erat. Gigitan dan pukulan yang ia terima dari Alyssa, tak membuatnya jera untuk tetap memeluk gadis kecil yang memakai pita, sebagai pengikat rambutnya itu.

"Cup! Cup! Cuppp!!" Boni menepuk punggung Alyssa dengan lembut, berusaha menenangkan kepedihan hati yang menusuk. "Kalau Alyssa nangis terus, nanti dimakan sama zombi lho, mau?"

"HUAAAAA!! HUAAAAA!! HUAAA!!!" Alysaa makin menjerit tangis.

Jefri menepuk paha Boni dengan keras, wajahnya yang terlihat sangar menatap Boni tak suka. Temannya itu terkejut dan kesakitan, ia mengomel dengan matanya.

"Cup!! Cup!! Cupp!! Ada Om Jefri di sini," tutur Jefri berusaha ikut menenangkan.

Akan tetapi tangis Alyssa tak juga reda.

"Dok! Dok!" Pintu kaca diketuk oleh Iko.

Jefri membuka jendela kaca agar bisa mendengar suara Iko.

"Berhenti dulu, anak itu biar di belakang!" seru Iko.

Jefri mengangguk, dia menepikan truknya dengan perlahan, setelah melihat para zombi ganas itu masih tertinggal jauh. Alyssa menendang junior Boni ketika mereka turun dari truk.

"AW!!!" pekik Boni kesakitan.

Alhasil Alyssa lepas dari gendongan Boni, dan gadis kecil itu langsung lari dengan sekuat tenaga, mencoba kembali ke sang ibu yang sudah tak bernyawa.

"Yak, ketangkap!" seru Jefri. Langkah kaki kecil Alyssa membuat Jefri dengan mudah menangkapnya.

Iko mengulurkan tangan, setelah menjatuhkan beberapa kantung terigu, agar tak menghalangi dirinya. Jefri menaikkan Alyssa yang terus berontak. Karena kesal dan zombi itu makin dekat, Jefri membentak Alyssa. "DIAM!!"

Gadi kecil itu seketika terdiam, ia menatap takut pada Jefri. Dengan kesempatan itu, Jefri menaikkan dirinya ke atas truk, yang langsung diterima oleh Iko.

Alyssa lalu diberikan kepada Sinta, ketika gadis kecil itu sudah mendarat tepat di bak kolam. Pelukan hangat diberikan Sinta kepada gadis kecil yang sedang ketakutan itu, seraya menepuk punggungnya secara perlahan.

Setelah proses evakuasi selesai, Jefri dan Boni langsung naik.

"Tunggu!" sergah Jefri tiba-tiba.

Boni menatapnya penasaran. "Ada apa?" tanyanya.

"Solar truk ini mau habis, nggak akan kuat sampai desa," jawabnya dengan menunjuk jarum yang berada di batas warna merah.

"Kasih tahu Om Indro Bon, mobilnya bisa lewat," lanjut Jefri.

Boni langsung melaksanakan perintah. Tak lama, Indro dan Iko turun dan berlari bersamaan melewati bagian tengah persimpangan yang kosong. Terdapat noda hitam besar di sana, bisa dipastikan itu akibat ledakan.

Jefri melajukan truknya kembali, dia mendorong semua mobil yang menghadangnya. Lantas meluncur menuju jembatan, disusul mobil Indro dan motornya Iko. Ada pom bensin di dekat persimpangan, namun tak ada waktu untuk mengisi bahan bakar, karena raungan para zombi itu kian terdengar jelas.

Para kuda besi melintasi persawahan yang sedang tak ditanami apapun. Meski begitu, semilir angin membuat mereka bisa bersantai sejenak, menikmati udara segar sesaat.

Indro melaju terlebih dulu, melewati truk yang berjalan melambat. Tepat di dekat perbatasan desa yang mereka tuju, truk berhenti karena bahan bakar sudah habis.

Proses evakuasi pun berlangsung dengan meminimalkan suara. Mereka bahu membahu membantu para wanita untuk turun. Untung Alyssa sudah tenang dalam dekapan Sinta, meski masih ada rasa takut yang terlihat di matanya, tatkala melihat Jefri.

"Kita lewat jalan ini saja," tunjuk Indro di sebuah jalan sawah yang cukup lebar. "Karena rumah kami yang paling dekat, mari kita beristirahat dulu di sana nanti," lanjutnya.

Semua setuju, terkecuali Jefri yang terlihat ingin langsung mencari ibunya.

"Kita harus istirahat dulu, besok kami akan membantu mencari ibumu," janji Indro kepada Jefri.

"Baik Om!" sahut Jefri menerima.

Mereka semua masuk ke desa, melewati jalan sawah yang tandus. Keadaan terlihat terlihat begitu tenang, namun Indro langsung menghentikan lajunya, kala melihat banyaknya para zombi yang berada di dalam desa.

Ia tercekat, saat melihat sosok istrinya yang sudah tak berbentuk manusia. Kerudung merah muda yang dipakai sang istri sudah terlepas, menampakkan beberapa helaian putih penuaan yang tak beraturan. Indro langsung memutar mobil setelah memberikan kode ke Iko yang menaiki motor bersama Boni, mereka kembali ke arah jalan raya.

"Ada apa, Yah?" tanya Anya yang berada di kursi belakang bersama Alyssa dan Sinta. Wajahnya yang sudah tak begitu pucat nampak bingung.

"Banyak zombi, lebih baik kita susun rencana dulu," kilah Indro.

Anya dengan mudahnya percaya dan kembali menyadarkan punggungnya ke kursi. Sedangkan Alyssa duduk dalam rangkulan Sinta. Mereka berhenti di sebuah kedai sekaligus tempat potong rambut, yang berada dekat dengan jembatan.

"Di dalam saja," titah Indro ke Anya dan Sinta. Mereka mengangguk patuh.

"Jef, jaga mereka!" Dia memberikan titah ke Jefri, untuk menjaga di dekat mobil.

"Baik Om!" sahut Jefri dengan sigap.

"Boni, periksa tempat pangkas rambut itu," titahnya ke Boni.

Tanpa menjawab Boni langsung melakukan tugasnya.

Tersisa Iko dan dia, Indro mengajak Iko memeriksa warung yang pintunya tertutup rapat itu. Dia memeriksa area depan, sedangkan Iko memeriksa area samping dan belakang.

Tak lama Iko kembali.

"Tak ada tanda-tanda zombi," lapor Iko.

"Tempat pangkas rambut itu terkunci rapat dan tak ada suara dari dalam." Gantian Boni yang melapor.

"Warung itu juga," timpal Indro. "Baiklah, kita bermalam di sini dan menyusun rencana," titahnya.

Semua bergerak setalah mendengar titah dari Indro. Anya turun perlahan dibantu dengan Jefri, yang mendapat balasan senyum terima kasih dari Anya. Desiran di hatinya muncul kembali, ia senang bisa membantu sang pujaan hati.

Lalu ia mengulurkan tangannya pada Alyssa yang hendak turun, gadis kecil itu beringsut, langsung memeluk erat tubuh Sinta. Dia tahu Alyssa takut padanya, karena itu dia membantu dengan meminta tas yang hendak digendong oleh Sinta.

"Brak! Brak!" Pintu warung itu digembok, Indro sudah berusaha membukanya dengan batu, sayangnya tak bisa.

"Biar aku saja Om," tawar Iko, dia takut suara itu mengundang zombi.

Dia mengeluarkan sebuah kawat kecil dan mulai mengorek lubang gembok, seperti sedang mengorek isi telinga.

"Klek!" Gembok terbuka, semua tersenyum ceria.

Secara perlahan, mereka masuk ke dalam warung yang terasa begitu pengap. Iko menutup pintu kayu yang terlihat ringkih itu secara perlahan, lantas menahannya dengan kursi duduk yang memanjang.

Tak ada yang bisa diharapkan dari warung itu. Hanya ada kompor, peralatan masak, meja dan kursi serta satu renteng kopi kemasan, yang menggantung di sebuah kawat dekat dinding bambu. Boni langsung tertarik.

"Kita bisa buat ini!" serunya dengan mata yang berbinar.

"Ssstttt!!"

Lagi-lagi dia mendapatkan teguran dari Indro karena terlalu bersemangat.

"Hehehe, maaf," ujar Boni dengan menampakkan deretan gigi yang rapi.

"Ceklek!" Kobaran api dari kompor seketika menarik perhatian mereka.

"Kita bisa masak," ujar Jefri dengan raut berbinar. Dia lantas menunjuk rice cooker dan beras yang berada di ember besar berwarna biru.

Semua nampak girang. Cacing diperut mereka bangun, ikut merayakan penemuan.

"Mari kita bagi tugas," ajak Jefri. "Om." Dia melimpahkan pembagian tugas ke Indro yang lebih tua.

"Oke. Sebelum itu ...." Dia menjeda ucapannya. Perlahan ia mengeluarkan dua karpet dan memberikan ke Anya. "Tugasmu menjaga Alyssa dan beristirahat," titahnya ke sang anak, kemudian menatap Alyssa dengan lembut.

"Yang bisa masak siapa?" tanya Indro.

Sinta mengangkat tangan.

"Oke, ada lagi?"

Nächstes Kapitel