webnovel

HUJAN, PETIR DAN ANGIN RIBUT

Sadar ia telah tertangkap basah sedang mengamati mimik wajah Kirana yang nampak begitu sedih, Angga lantas dengan segera memalingkan wajahnya.

"Aku hanya sedang memberi isyarat padamu bahwa aku ini bukanlah supirmu!" elak Angga yang masih dikuasai oleh ego dan bayangan akan penghinaan Kirana akhir-akhir ini.

Kirana menatap Angga datar kemudian memutar bola matanya jengah. Sepertinya debat seperti apa yang dibayangkan oleh Kirana, mereka tak mungkin bisa pulang tepat waktu.

"Lalu apa yang kau inginkan?" Kirana sebenarnya paham apa maksud Angga tapi perempuan itu memilih untuk acuh tak acuh.

"Kau tidak sebodoh itu bukan sehingga tidak mengerti apa yang kumaksud?"

"Jadi kau ingin aku duduk di sampingmu?" Kirana tertawa renyah. "Tidak! Bahkan sampai kiamat pun aku berharap bahwa diriku tak akan pernah tergoda untuk duduk di sampingmu! Di samping pria brengsek yang sampai kapanpun akan tetap brengsek!"

Angga begitu tersinggung dengan apa yang dikatakan oleh Kirana. Hal tersebut membuat Angga memilih segera mengulurkan tangannya untuk menghidupkan mesin mobil dan menjalankan kendaraan tersebut untuk membelah jalanan ibukota yang begitu sepi mengingat waktu telah menunjukan masa-masa di mana malam begitu larut.

'Ya, aku memang brengsek Kirana. Namun, semua yang kau katakan itu begitu menyakitkan untukku walaupun itu adalah sebuah fakta karena nyatanya tidak semua hal kau ketahui hingga detik ini,' gumam anggap pelan dengan tangan semakin erat mencengkram setir mobilnya.

Selama perjalanan hanya keheninganlah yang menyelimuti atmosfer di antara mereka. Baik Angga maupun Kirana nampak begitu enggan memulai pembicaraan, bahkan sepertinya mereka memang berharap agar tak ada perbincangan satu kata pun yang lolos dari bibir mereka.

Kirana sebenarnya tak bisa berada di situasi canggung ini, tapi mau bagaimana lagi takdir memaksa Kirana untuk berubah menjadi sosok yang ia sendiri tak sukai.

Setiap detik yang terlewatkan hanya meninggalkan keheningan yang kian menjadi-jadi. Bahkan di saat langit malam yang tak disinari oleh bintang itu mulai menangis dan menjatuhkan tetesan-tetesan air bening ke bumi, mereka nampak sibuk dengan dunianya mereka masing-masing.

Tidak, sepertinya bukan sibuk, melainkan sok sibuk. Kirana yang berharap perjalanan mereka lebih cepat dari apa yang seharusnya memilih menyibukkan diri dengan memainkan ponsel yang hanya ia tutup-buka aplikasinya saja, sementara Angga terlihat sibuk dan fokus menyetir mobil padahal pikirannya telah melayang jauh entah ke mana.

Tes! Tes!

"Ck! Apa kau sengaja melambatkan laju mobilnya sehingga rasanya perjalanan begitu lama?"

Muak dengan situasi yang sedang mereka geluti, Kirana memberanikan diri untuk angkat suara. Perempuan itu sebenarnya tak ingin memulai pembicaraan, hanya saja begitu banyak hal yang Kirana takuti sini menghantuinya secara tiba-tiba.

Suara petir yang mulai menggelegar disertai dengan derasnya air hujan juga suara angin yang berhembus kan kuat meninggalkan suara-suara aneh di telinga Kirana membuat perempuan itu tak ada pilihan lain selain mengalihkan perhatian pikirannya.

Angga yang mendengar itu dibuat berdecih. Tanpa menatap Kirana lewat spion kecil yang ada di depannya ataupun membalas ucapan perempuan itu, Angga melajukan mobil dengan begitu kencangnya di atas rata-rata hingga membuat Kirana tersentak kaget sembari mencengkram sabuk pengaman yang tengah ia kenakan dan memejamkan mata erat.

"SIALAN! PELANKAN MOBILNYA! KAU MEMBUATKU TAKUT, KAK!"

Bagaikan nyawanya ditarik paksa untuk keluar dari raganya, Kirana berusaha mati-matian untuk mengeluarkan suaranya yang tercekat dengan nada intonasi yang begitu tinggi, berharap engkau mengerti betapa sedang ketakutannya ia saat ini.

Seringaian penuh dengan makna yang tersembunyi Angga pancarkan di wajahnya. "Kenapa kau berteriak? Bukankah kau yang tadi dengan sinisnya mengatakan dan menuduh bahwa aku sengaja memelankan mobil ini?"

Kirana berusaha untuk membuka matanya dengan perlahan--serta mengabaikan rasa takut yang kian menjadi-jadi dan membuat nyalinya semakin menciut.

"Kau tidak sebodoh itu bukan hingga mengira bahwa inilah yang aku mau?"

Suara kekehan sinis terdengar keluar dari bibir Angga. Dalam hitungan detik laju mobil itu perlahan mulai melambat membuat Kirana diam-diam mengalah nafas lega dan berusaha mengatur nafasnya.

Sayangnya, apa yang Kirana harapkan ternyata begitu jauh dari kenyataan. Angga memang memelankan mobilnya, tapi dengan laju yang begitu lambat sehingga membuat perjalanan mereka semakin terlihat seperti siput.

Bahkan Kirana menebak bahwa laju mobil itu tidak lebih dari 30 km/jam. Bayangkan saja betapa geramnya Kirana dibuat oleh Angga.

"Kau--"

JEDER!!

"AKHH!!!"

Kirana yang hendak memakai Angga di mana nantinya pasti akan mengundang keributan--yang Kirana harap berakhir dirinyalah yang menang, malah dibuat mengurungkan niatnya saat mendengar suara petir yang seakan-akan baru saja menyentuh jalanan di samping.

Kilatan berwarna putih yang begitu terang dan seakan-akan menembus apa yang ada di sekitranya itu membuat Kirana secara refleks menutup wajahnya menggunakan kedua tangan sembari terkadang mengalihkannya untuk berada di kedua telinganya.

Angga yang awalnya begitu puas melihat Kirana menderita dengan keadaan--mengingat dirinya tahu bahwa Kirana paling takut dengan perpaduan antara malam, hujan petir dan angin ribut, dibuat tertegun setelah mendengar teriakan perempuan itu.

Pria itu menghentikan mobilnya, kemudian dengan segera menoleh ke belakang untuk melihat keadaan Kirana. Perasaan bersalah dan menyesal kini mulai menghantuinya saat suara isak tangis Kirana samar-samar terdengar di telinganya.

"Kirana, apa kau baik-baik saja?"

Tak menjawab, Kirana lebih memilih bungkam dan mengalihkan semua rasa takutnya dengan menundukkan kepala.

Angga yang melihat itu tentu dibuat semakin panik. Terlebih ia ingat dengan jelas bahwa 2 tahun yang lalu, tepatnya saat Kirana mengalami situasi ini, perempuan itu itu bahkan sampai dibuat jatuh sakit walaupun kala itu, lebih tepatnya di sebuah taman padahal ada Angga yang berusaha menenangkannya.

Tak ingin kejadian buruk itu kembali terulang lagi, Angga dengan segera melepas sabuk pengamannya kemudian beralih duduk di kursi penumpang di mana Kirana saat ini duduk.

Saat bokongnya baru saja menyentuh kursi empuk tersebut, Angga mengulurkan tangannya berniat untuk membawa Kirana ke pelukannya dan menenangkan perempuan itu.

Sayangnya sebelum apa yang ia inginkan itu tercapai, Kirana telah terlebih dahulu menyadari apa yang akan Angga lakukan membuat perempuan itu lantas mengangkat wajahnya kemudian menatap Angga dengan begitu sinis.

Angga yang ditatap oleh sosok perempuan berwajah pucat pasi dengan bibir bergetar juga mata yang kian membengkak karena terus mengeluarkan cairannya dibuat tak bisa berkata-kata dan hanyut akan penyesalan.

"Kirana, maaf. Tolong jangan bersikap keras kepala saat ini, biarkan aku--"

PLAK!!

"DASAR BRENGSEK! KAU JAHAT, KAK! KAU JAHAT KARENA DENGAN SENGAJA MEMBIARKAN AKU BERADA DI POSISI INI!

Nafas Kirana mulai terdekat dengan wajah kian memerah. Terlihat begitu jelas betapa sedang kacaunya perempuan tersebut.

"AKU MEMBENCIMU, KAK!"

Nächstes Kapitel