~Adira Maulida~
Hari mulai petang, awan yang tadinya cerah berubah menjadi gelap. Tak ada lagi sinar Mentari dilangit, yang ada hanya cahaya-cahaya kecil dari Bintang yang bertaburan dilangit petang. Saat itu aku tak merasakan ngantuk sama sekali. Akhirnya aku memantapkan kakiku melangkah keluar rumah duduk termenung sendirian menatap Bintang. Sampai akhirnya, aku tertuju kepada satu Bintang yang cahayanya paling terang. Dan saat itu juga aku sangat-sangat merindukan ayah.
Diary untuk Ayah~
Halo, ayah apakabar?
Sudah terhitung tahun ayah pergi
Aku semakin dewasa, maksudku benar-benar sudah sangat Dewasa, ayah. Namun umurku saat ini tak bisa lagi dibilang pantas untuk merengek perihal kepergianmu. Aku harus ikhlas dan percaya bahwa ayah sudah bahagia disana. Yah... Sampai saat ini aku masih belum bertemu dengan ibu, entah dimana kini dia berada aku tak tau, tak ada berita atau info soal keadaan ibu bahkan keluarga dekatnya pun tidak tau kebaradaan ibu bagaimana, apakah ibu masih hidup atau sudah menyusul ayah juga, entahlah aku tidak tau. Yang jelas kini aku sangat merindukan kalian berdua.
Oh iya. Aku selalu titipkan rinduku lewat doa. Semoga ayah senang, ya !. dan ibu baik-baik saja dimanapun ibu berada. Dan kalian jangan terlalu khawatir dengan kehidupan ku. Kini bibi sudah menikah dan memiliki satu orang anak laki-laki, hehe... alhamdulillah setelah lama melajang akhirnya bibi ada yang mau juga.
Bibi tinggal bersama keluarganya di kediaman suaminya, kini aku dirumah sendiri tapi tak apa aku kan sudah dewasa, hehe... Bibi juga sering mengunjungiku sembari mengantarkan makanan hasil masakannya. Sampai saat ini masakan bibi masih menjadi juara di keluarga kita.
Kini akupun sudah duduk di bangku kuliah Semester 7. Alhamdulillah satu semester lagi, aku bisa kuliah dengan hasil jerih payahku sendiri. Aku kuliah sambil kerja.
Ayah, aku memang semakin dewasa. Namun kadang kali aku kesusahan menahan tangis ketika mengingat dirimu. Kadang kali dadaku terasa sesak setiap merindukanmu dan juga ibu. Aku juga merasa sakit ketika melihat anak perempuan lain masih bisa memeluk hangat ayah dan ibunya.
Aku masih cengeng kalo ayah ingin tahu. Aku masih anak perempuan ayah yang akan menangis kencang ketika merasa kesakitan. Karena dulu ketika aku menangis maka ayah orang pertama yang akan ikut bersedih. Jika aku tersakiti, ayah orang pertama yang akan marah. Kenapa ayah seromantis itu? Hatiku separuh milik ayah, dan setelah ayah pergi, aku selalu merasa patah berkali-kali.
Suatu saat nanti aku pasti akan diminta seseorang untuk melengkapi hidupnya. Menemaninya menjadi ibu untuk anak-anak kami kelak. Ayah, tahu? aku begitu takut. Perasaan cemas sering kali memendung. Aku sangat takut, ayah. Banyak sekali kecemasan yang kutakutkan.
Namun, saat kuingat lagi kenapa semesta membiarkan menjalani kehidupan tanpa kalian berdua. Aku mencoba sadar bahwa sang kuasa lebih tahu segalanya. Ini takdir-Nya yang tak boleh aku keluhkan. Seharusnya aku lebih banyak bersyukur tentang apapun yang bisa aku dapatkan di hidupku meski tanpa ayah dan ibu.
Ayah, ibu, aku baik-baik saja. Kalian juga disana, ya!.