Suara bising di sekitarnya terdengar mengganggu pendengaran Marigold yang sedang tertidur pulas. Perlahan, dibukanya kedua matanya dan langsung bertatapan dengan sebuket bunga mawar kuning yang diletakkan di meja, dekat dirinya berbaring.
"Bunga? Kenapa ada bunga di kamarku?" gumam Marigold yang disorientasi karena bangun tidur. Belum lagi ditambah rasa sakit di kepala, perih iya, pusing juga iya. "Aku ada dimana ya?"
"Marigold, kamu sudah bangun?"
Kepala Marigold berputar ke arah sebaliknya dari dirinya berbaring, untuk melihat siapa yang berbicara padanya. Dan lagi-lagi dirinya melihat sebuket bunga yang.. berbicara? Marigold mengerutkan kening dan memiringkan kepalanya di bantal sambil berpikir keras. Well, apakah dirinya sedang berhalusinasi, melihat buket bunga yang bisa berbicara?
"Siapa kamu? Kenapa bunga matahari bisa berbicara?" tanyanya linglung.
"Ck, apaan sih? Omonganmu semakin bertambah ngawur saja, Marigold. Kupikir kepalamu masih perlu di-rontgen deh, supaya terlihat apakah masih ada yang eror atau tidak," gerutu Nina yang meletakkan buket itu di ujung kaki Marigold berbaring. "Pagi ini, kamu sudah bisa pulang karena tidak ada keluhan sakit yang mengkhawatirkan."
"Pulang?" ulang Marigold sambil mencoba untuk bangun untuk memindai sekitarnya. Oya, Marigold ingat. Semalam dirinya diserang penjabret dan kini berada rumah sakit rupanya. "Bunga-bunga ini dari mana datangnya, Nina?"
Nina memberikan sebuah kartu nama yang diambilnya dari buket bunga yang tadi dibawanya. "Baca ini."
Marigold mengambil kartu nama itu dan membacanya.. "ADAM?! Untuk apa dia mengirimiku bunga?!" serunya dengan tubuh bergidik. "Bagaimana dia tahu aku ada di rumah sakit?"
Nina mengangkat bahu sambil duduk di tepi ranjang Marigold. "Mungkin dia diberitahu bibi bahwa kamu ada di rumah sakit. Makanya dia berinisiatif untuk memberikan bunga."
"WHAAAT?!" pekik Marigold heboh.
"Tolong jangan berisik ya. Nanti menggangu pasien lain," tegur perawat yang menyibakkan tirai hijau yang menutupi area Marigold berbaring di ranjang.
"Ya maaf suster," ucap Marigold dengan meringis. Lalu mendelik kesal pada sepupunya. "Kenapa mamaku yang nun jauh disana, bisa tahu aku bobok cantik di rumah sakit?" tuntut Marigold dengan menurunkan tingkat nada dan volume suara, sambil menudingkan jari telunjuknya pada Nina yang menghela nafas panjang.
"Ya begitulah, jika punya papa yang polos, yang sangat menurut pada kakak perempuan tercinta. Semuanya serba lapor melapor," keluh Nina sambil mengangkat kedua bahu dan tangannya.
Maklum, sedari kecil papa Nina diasuh oleh mama Marigold yang usianya lebih tua hampir lima belas tahun, sedangkan kakek dan nenek sudah meninggal sebelum papa Nina mencapai usia tiga tahun. Jadi, mama Marigold bekerja sekaligus membesarkan adik laki-lakinya. Hubungan kakak beradik itu sangatlah akrab, tidak terpisahkan. Hubungan yang sering disebut dengan sister complex. Alasan itulah yang membuat mama Nina tidak tahan dengan ketergantungan suaminya pada kakak perempuannya. Keduanya bercerai saat Nina berusia sepuluh tahun.
Jika biasanya, Marigold sangat mencintai semua jenis bunga termasuk bunga liar yang tumbuh di tepi jalan, kali ini Marigold sangat membenci dua buket bunga serba kuning yang ada di depannya itu. Bunga-bunga cantik itu sudah menjadi bunga yang memuakkan di mata Marigold, oleh sebab dirinya sangat membenci pengirim dari bunga-bunga itu. Mana ada seorang musuh mengirim bunga dengan maksud yang tulus? Pasti ada udang dibalik batu.
"Apa yang akan kita lakukan dengan bunga-bunga yang mencerahkan sekaligus membuat silau setiap sudut IGD?" tanya Nina sambil menarik setangkai bunga Matahari lalu memutar-mutar tangkai itu di tangannya.
"Buang semuanya!" perintah Marigold yang duduk bersandar di kepala ranjang dengan tangan terlipat di dada dan cemberut. "Membuat mataku sakit."
"Baiklah, dengan senang hati," ucap Nina sambil berdiri dengan malas. "Akan aku bagikan setangkai demi setangkai ini pada semua penghuni rumah sakit, termasuk penghuni di ruang jenazah."
"Terserah," sahut Marigold acuh, sambil mengibaskan tangannya pada sepupunya yang kerepotan membawa dua buket bunga yang besar-besar.
*****
Di apartemen Martin.
Maximilian sedang memasang di dasinya di depan cermin, serta mematut dirinya, tidak lupa memberikan pujian pada sosoknya sendiri. "Ganteng maksimal."
"Sudah, jangan menyiksa cermin kesayanganku lebih lama lagi. Bayanganmu bisa sudah membuat retakan tak kasat mata pada cerminku," sindir Martin pada Max, sahabatnya yang masih belum meninggalkan hobi narsisnya sejak masa sekolah dulu. Namun, hal ini hanya dilakukan di apartemen Martin, sahabatnya. Karena disinilah, Max bisa menjadi dirinya sendiri.
"Cerewet," balas Max sewot sambil berjalan menuju meja makan yang sudah tersedia sarapan buatan Martin. Kemudian diambilnya nasi goreng lezat plus telur mata sapi yang kering, persis seperti kesukaannya. Tangan Max yang bersiap untuk menyuapkan satu sendok penuh nasih goreng ke dalam mulutnya, ketika sahabatnya bertanya...
"Semalam... kudengar kamu menjadi pahlawan jalanan ya? Pak Umar memberikan laporan lengkap padaku, beserta rekaman CCTV untuk diberikan pada pihak kepolisian."
Sambil mengangkat bahu, Max melanjutkan gerakan menyuap, tidak menggubris Martin yang duduk di depannya untuk sarapan bersama. "Kepo," desis Max sebal.
Meski sopir pribadinya tidak memberitahu tentang kejadian semalam, namun selalu saja, Martin mengetahui semua sepak terjangnya. Dirinya hanya tersandung kerikil kecil di jalan, Martin bisa mengetahui runtut kejadian dengan detail. Max seringkali berpikir bahwa Martin memasang kamera pengintai yang super canggih di tubuhnya, yang tidak diketahuinya. Menyebalkan.
"Menjadi hero dan menolong gadis lemah, tidak seperti kamu yang biasanya," komentar Martin sambil mengoleskan dua lembar roti bakar dengan selai strawberry.
"Aku kan pangeran tampan yang baik hati dan suka menolong."
"Jangan membuatku muntah, Max," geram Martin yang menelan roti selainya dengan susah payah. "Seingatku kamu selalu acuh terhadap wanita. Ingat waktu kita masih kuliah dulu, kita bahkan pernah disangka sebagai pasangan karena hubungan kita yang terlalu akrab? Belum lagi, di mansionmu penuh dengan 'aneka bunga segar' saja, tidak pernah kamu pedulikan," sergah Martin cemberut, lalu menegak habis air perasan lemon di mug gelasnya. "Bukan pangeran tampan, tetap frozen prince, lebih cocok untukmu. Sebelas dua belas dengan dinginnya es batuku di kulkasku."
Max tidak menjawab komentar sinis dari sahabatnya. Toh, tidak akan ada habisnya, berdebat dengan sahabatnya yang punya gelar master di bidang hukum. Suka berdebat dan tidak mau mengalah. Max berkonsentrasi pada nasi goreng kesukaannya. Hmm, yummy.
"Apa dia cantik?" tanya Martin penasaran.
Max menggelengkan kepala sambil asyik mengunyah.
"Apa dia seksi dan menggairahkan?" desak Martin semakin penasaran.
Max terdiam sejenak, mengingat-ingat sosok gadis yang ditolongnya semalam. Kemudian Max menggeleng kuat-kuat.
"Dia mirip artis siapa?"
Lagi-lagi Max menggeleng.
"Wow, apakah dia benar-benar luar biasa hingga tidak bisa dibandingkan dengan siapa pun?" seru Martin takjub.
"Dia sama sekali tidak cantik, tidak seksi, apalagi menggairahkan."
"Wait," ucap Martin dengan telapak tangan terangkat ke atas. "Apa seleramu soal wanita sudah menurun drastis? Apa kamu sudah bosan dengan semua wanita cantik, hingga mencari yang biasa, standar, hingga buruk rupa?"
"Ck, berisik."
"Oh ayolah Max.. jangan membuat aku penasaran."
Max mengangkat bahu dengan defensif. "Dia hanya gadis biasa."
"Aku tidak percaya. Seturun-turunnya seleramu tentang wanita cantik, tidak mungkin dia hanya sekedar 'biasa'. Pasti ada sesuatu yang spesial dari wanita itu, sehingga membuatmu bersedia berkelahi di jalanan. Tidak bro, aku tidak sama sekali tidak percaya," bantah Martin skeptis dengan mengibaskan tangan ke arah sahabatnya.
Max berdehem untuk melegakan tenggorokannya karena ada nasi goreng yang menyangkut, gara-gara Martin yang cerewet.
"Kalau begitu, kamu deskripsikan sendiri, gadis yang kutemui kemarin malam."
"Baiklah," sahut Martin tidak sabar sambil menggosokkan kedua telapak tangannya. "Cepat katakan."
"Waktu kutemukan, wajahnya penuh keringat bercampur darah segar yang mengalir. Kaos oblongnya penuh bercak darah dan lumpur. Rambutnya lembab dan acak-acakan. Sepatu kets nya seperti sudah seabad tidak dicuci."
Martin bergidik ngeri. "Sebenarnya.. kamu menolong anak gadis atau anak kucing?"
"Bingo," sahut Max sambil menjentikkan jarinya. "Itulah gadis yang kutemukan semalam. Dan yang lebih mengesankan lagi, dia memiliki hasil tes keperawanan yang sudah pasti akan digunakan untuk acara pemilihan para gadis untuk milyader."
"Astaga," seru Martin sambil menepuk jidatnya.
Bersambung...