webnovel

Ancaman!

"Sudah deh, buruan sana balik ke ruangan."

Andre tertawa terbaha-bahak puas mengejek Rigel.

"Pokoknya kalau butuh bantuan kabari, okay?"

"Iye."

*****

Kampus Leandra

Kring!

"Ci, kamu langsung pulang apa bagaimana?"

"Langsung pulang, soalnya ada acara di rumah, dan Ibu kewalahan kalau enggak dibantu."

"Okay."

"Kamu enggak apa-apa 'kan menunggu Rigel sendirian di sini?"

"Enggak apa-apa kok. Mungkin enggak lama lagi."

"Duluan ya."

"Iya, hati-hati, Ci."

Alcie berlalu meninggalkan Leandra, karena pada sore hari itu Leandra merasa bosan maka ia mencoba berjalan di depan kampusnya sekalian menunggu Rigel agar ia menunggunya di depan gerbang saja.

Baru beberapa langkah Leandra meninggalkan kampusnya ia mendapati Adrian berhenti dengan cepat di hadapannya. Kaget bukan main, ia takut akan terjadi hal yang tidak diinginkan apalagi saat itu Rigel belum datang juga.

"Hey, apa kabar?" sapa Adrian dengan nada seolah menggodanya.

"Ada apa?"

"Santai dong, jawab dulu pertanyaanku."

"Iya baik, ada apa?"

"Aku sudah tidak ada hubungan apapun dengan perempuan itu."

"Terus?"

"Aku mau kita seperti dulu, bahagia lagi tentunya bisa 'kan?"

"Enggak."

"Kenapa? Aku juga sudah tidak ada perempuan lagi harus mau dong, karena aku enggak mau kamu jadi miliki siapapun kecuali aku."

"Siapa kamu berhak mengatur hidupku, sekali aku bilang enggak tetap enggak!"

"Aku bakal paksa kamu apapun caranya kamu akan jadi milikku lagi."

"Please stop Adrian, kamu jauh-jauh dari kehidupanku. Aku bukan milikmu dan enggak akan bisa jadi milikmu."

"Kenapa? Kamu sudah ada laki-laki lain sekarang? Iya?"

"Iya!"

"Mana orangnya? Setampan apa orangnya? Pasti jauh lebih baik aku."

"Jangan sombong kamu, dia jauh lebih baik dari kamu. Sudah aku mau pergi jangan ganggu aku lagi Adrian!"

Leandra melangkahkan kakinya dengan cepat, namun Adrian tentu lebih cepat darinya. Leandra sedikit menyesali perjalanannya ke depan gerbang jika akhirnya bertemu dengan Adrian.

"Lepas Adrian!"

"Enggak," jawab Adrian yang mengcengkeram pergelangan Leandra.

"Apa sih mau kamu? Enggak bisa llihat aku bahagia?"

"Jelas, aku enggak akan pernah bahagia lihat kamu bahagia. Kamu boleh bahagia kalau sama aku."

"Orang gila!"

"Kamu kenapa jadi berani gini sih?"

"Buat apa aku lemah lembut sama orang jahat?"

"Aku jahat? Wah keterlaluan."

"Lepasin enggak?"

"Kalau enggak gimana? Kamu mau teriak silakan aku tinggal bilang kamu itu pacarku."

Leandra mendengus kesal.

Leandra menggunakan kakinya untuk menendang kaki Adrian, ia meringis tetapi cengkeraman tangannya terlalu kuat pada Leandra.

"Tolong!"

Adrian membungkan mulut Leandra namun tangannya terkena pukulan yang berasal dari belakangnya, benar. Pukulan tersebut dari Rigel.

"Berengsek!"

"Lepaskan," pinta Rigel pada Adrian dengan nada yang cuek.

"Enggak usah sok ikut campur urusan orang lain, ini pacarku!"

"Ini istriku."

Adrian mengernyitkan dahinya hingga cengkeraman tangannya melonggar, itulah kesempatan Rigel menarik Leandra hingga kini berada di belakang tubuh gagah Rigel.

"Lea, kamu yakin ini suamimu?"

"Iya, puas kamu!"

"Enggak ini pasti hanya akal-akalan kalian saja."

"Terserah kamu anggap apa yang pasti Leandra sudah menjadi milikku seutuhnya dan kamu silakan pergi jauh!"

"Oke, aku akan cari tahu kebohongan kalian, dan kamu Leandra ingat enggak akan pernah kamu bahagia selain denganku!"

"Aku bahagia, aku selalu bahagia dengan suamiku!"

Satpam yang berjaga shift malam tiba dan menghampiri mereka.

"Ada yang bisa dibantu?"

"Ada pak, tolong jangan pernah izinkan laki-laki ini ke kampus."

"Ada apa masalahnya pak?"

"Dia mengancam mahasiswi di kampus ini."

"Heh jangan ngomong sembarangan!" bentak Adrian pada Rigel.

"Ini buktinya ya pak, silakan diurus laki-laki ini saya permisi, terima kasih."

Rigel menggandeng jemari Leandra erat dan membawanya ke mobil.

Urusan Adrian diselesaikan oleh satpam kampus tersebut, namun Adrian tentu tidak akan menyerah sampai di sini saja. Ia akan selalu berulah.

"Kamu enggak apa-apa 'kan?" tanya Rigel khawatir dan memandangi Leandra.

"Iya, enggak apa-apa kok, terima kasih."

"Maaf, aku terlambat jemputnya."

"Lagian belum telat kok, itu tepat waktu datangnya. Enggak tahu kalau tadi enggak ada kamu."

"Dia siapa kamu?"

"Adrian, itu mantan pacarku."

"Oh sudah mantan."

"Iya, kami putus sebelum kita dijodohkan."

"Kenapa?"

Leandra menghela napasnya dengan berat sekali.

"Kalau enggak sanggup jawabnya enggak usah dijawab," gumam Rigel yang melihat Leandra berat menjawab pertanyaan tersebut.

"Kami sebenarnya sudah menjalin hubungan 1 tahun lamanya, Ibu selalu menyebut dia 'berandalan' juga Leonal selalu mengingatkan. Tapi aku buta karena cinta sampai akhirnya aku tahu kalau dia selingkuh. Sampai di situ saja aku sudah sakit hati, ditambah lagi dia menghamili perempuan tersebut sampai kandungan itu sudah membesar dan aku baru tahu," ucap Leandra dengan raut wajahnya yang penuh beban."

Leandra menjelaskan dengan tatapan kosongnya padahal pergi ke kampus pagi tadi ia ceria sekali.

Rigel tampak menghela napasnya.

"Jangan jawab dulu, aku belum selesai cerita."

Rigel terdiam mengikuti perintah Leandra.

"Kok enggak jawab okay atau iya gitu sih."

"Loh katanya jangan jawab dulu."

"Oh aku salah."

"Lanjutkan saja ceritanya, aku dengarkan lagian masih lama karena di depan lumayan macet sampai rumah."

"Aku masih sakit hati sebenarnya, sekolahku sering telat. Belum lagi Ayah sama Ibu maksa dijodohkan sama kamu, aku benar-benar kalut tapi ya gimana lagi. Mungkin ini jalannya dari Tuhan."

"Maaf, Lea."

"Untuk apa?"

"Iya karena perjodohan ini."

"Oh itu, it's okay. Kamu enggak perlu minta maaf, lagian dengan ini aku bisa kuliah kedokteran."

"Aku janji kalau kamu sudah mendapatkan mimpimu dan memang enggak bisa mempertahankan hubungan ini enggak apa-apa, nantinya akan aku jelaskan sama Ayah dan Ibu."

Leandra memandangi Rigel, ia tampak terhenyak dengan kalimatnya.

"Kamu kenapa?" tanya Rigel melihat Leandra menatapnya seperti itu.

"Enggak, jangan janji. Aku takut orang yang mengatakan janji itu enggak akan ditepati."

"Oh atau begini, mumpung belum terlalu lama kita menikah, aku bisa bilang sama Ayah. Aku juga enggak mau maksa kamu terus-menerus denganku."

"No, aku enggak mau itu, Rigel."

Leandra menghela napasnya.

"Lalu?"

"Aku mau berusaha membuka hatiku, jangan senang dulu tapi."

Rigel terdiam dan terus mendengarkan apa yang dikatakan oleh Leandra.

"Kamu enggak suka?" tanya Leandra penasaran karena Rigel tidak menanggapinya.

"Suka apa?"

"Suka sama aku lah, Rigel."

Rigel tersenyum.

"Ya tentu, jauh dari sebelum aku menikahimu rasa itu sudah ada."

"Oh begitu. Kok bisa?"

"Ya bisa, setelah Ayah bilang kalau kamu yang akan dijodohkan aku langsung ada rasa."

"Sampai sekarang? Padahal aku galak, pemalas, urakkan."

"Sampai kapa npun. Iya aku tahu kamu galak tetapi aku menerima itu."

"Kenapa kamu enggak pernah marah denganku?"

"Buat apa aku marah Lea, enggak ada gunanya."

"Iya hmm karena aku enggak bisa jadi istri yang seperti kebanyakan."

"Kamu cukup jadi dirimu sendiri, kamu enggak lapar?"

"Please atuh Rigel, ini pembicaraan serius kamu malah nawarin makan."

"Ini juga pertanyaan yang serius, mumpung kita di luar."

"Oke aku ikut saja."

Rigel memarkirkan mobilnya di depan salah satu restoran. Mereka makan bersama hingga malam tiba mereka kembali ke rumah.

Nächstes Kapitel