webnovel

17. Berhentilah Bersikap Begitu!

Lucifer yang baru saja berubah menjadi wujud manusia, terkejut mendengar teriakan Yena. Ia langsung berlari ke kamar mandi dan melihat Yena meronta di dalam bath up.

"Yena!" Lucifer bergegas, memotong rambut hitam yang menjerat leher Yena dengan sisiknya dan menarik gadis itu.

"Khhkkk!" Yena memegangi lehernya yang serasa hampir putus. Ia hampir mati tercekik. Wajahnya pucat pasi karena sesaat tak dialiri darah.

Lucifer memeluk Yena dengan sebelah tangannya sementara kedua netranya yang tajam menyala dingin pada sesosok mahluk yang muncul dari dalam bath up.

Rambut panjang yang hitam menyembul ke permukaan air disusul dengan munculnya kepala seseorang. Wajah mahluk itu tidak terlihat jelas karena tertutupi rambut.

Meski begitu, Lucifer dapat merasakan tatapan haus darahnya yang tertuju pada Yena.

"Bagaimana bisa mahluk rendahan ini terlewat?" Lucifer mendengus pelan. Bersamaan dengan itu tangannya bergerak seperti bayangan dan mencengkram leher mahluk itu.

"Khokk!!!"

Bruakk

Lucifer membantingnya ke lantai dan mencekiknya dengan sebelah tangan.

"Khkkk!!"

"Tidak! Lucifer!" Yena yang ketakutan menarik tangan Lucifer saat melihat mahluk itu mungkin akan segera mati.

"Shit! Pergi kau!" Lucifer melempar mahluk itu ke luar. Sosok basah kuyup dan mengerikan itu kemudian merangkak lari ke luar.

"Huu apa ... itu?" Yena bergelayut lemas di lengan Lucifer.

Wajahnya masih pucat karena ketakutan.

"Jangan takut. Dia hanya mahluk rendahan," kata Lucifer. Ia menarik Yena dan mendudukannya di atas wastafel untuk kemudian memeriksa lehernya yang merah.

"Apa itu tadi hantu?" tanya Yena.

"Ya, sejenis itulah. Cheuksin, mahluk seperti itu memang biasanya mendiami kamar mandi. Ini salahku, aku tidak memeriksa tempat ini dengan benar." Lucifer berkata lirih. Ekspresinya masih datar seperti biasa, namun saat ini sorot matanya terlihat sangat polos.

Yena tertarik untuk memegang wajahnya. Tangan kecilnya menyentuh sisi wajah Lucifer yang dingin.

"Aku baik-baik saja," ucapnya.

"Kamu terluka," lirih Lucifer. Ia menjulurkan lidahnya dan menjilati leher gadis itu. Memang kebiasaannya menjilati luka atau memar, tapi tidakkah ini keterlaluan?

"Ah?"

Yena tertegun, tapi ia tidak berniat menolak Lucifer sama sekali. Mungkin karena terbawa suasana, atau karena dia memang menyukainya?

Yena merasa gila dengan suasana ini.

Cup

Lucifer menghisap lehernya pelan.

"Kwakk!" Suara nyaring yang tidak asing menginterupsi mereka.

"Sarapan sarapan! Sa--"

Burung gagak itu masuk ke dalam ruangan. Karena pintu kamar mandi terbuka lebar jadi dia langsung bisa melihat pemandangan manis di dalam.

"Kwakk!!! Aku tidak lihat apa pun!" pekik Leon panik. Burung itu meletakkan makanan yang dibawanya dan menutup mata dengan kedua sayapnya.

"Tu-tunggu, ini bukan apa-apa, sungguh. Lucifer hanya sedang mengobatiku--" Yena berkata dengan gugup.

"Aku sungguh tidak lihat kok!"

"Benar-benar tidak melakukan apa pun! Kamu jangan berpikir aneh-aneh!" Yena membantah.

"Lalu kalau begitu kenapa dia telanjang?! Pengobatan macam apa yang sampai harus telanjang seperti ini?!"

"Ah?" Yena tertegun. Ia mengalihkan pandangannya ke depan, lebih tepatnya ke bawah.

Seketika darah dari seluruh tubuhnya berlari ke wajahnya.

"Aa--" Bahkan untuk berteriak pun sepertinya ia tidak bisa.

Lucifer sendiri sepertinya tidak sadar kalau dirinya tidak mengenakan sehelai pakaian pun. Mau bagaimana lagi, setelah bertransformasi dia langsung berlari ke kamar mandi begitu medengar teriakan Yena.

"Dasar pengganggu!" Lucifer berdecak.

....

Di lantai kamar, ketiga orang itu, Lucifer, Yena, dan Leon duduk dengan masing-masing semangkuk bulgogi yang masih mengepul.

Kali ini Leon ikut sarapan bersama mereka sebagai perayaan pindah rumah, katanya.

"Oh jadi kalian baru saja menemukan Cheuksin di sini? Daerah sekitar sini memang sudah dihuni mahluk-mahluk halus sejak lama," kata Leon.

"Yah, aku akan membersihkan mereka nanti." Lucifer berkata sembari melirik pada Yena yang makan dengan khusyu. Sedari tadi gadis itu hanya menunduk dan tidak bersuara sedikit pun.

Lucifer berpikir Yena masih sangat ketakutan karena hantu tadi, tetapi yang sebenarnya gadis itu sedang berusaha menjaga kewarasannya. Pagi-pagi sekali dia sudah mendapatkan banyak kejutan.

Yena menyentuh dadanya untuk memastikan kalau jantungnya masih berada di tempatnya.

"Kau baik-baik saja? Apa masih sakit?" tanya Lucifer. Ia mengulurkan tangannya untuk memeriksa leher Yena. Namun, gadis itu menepisnya dan beringsut menjauh darinya. Dia benar-benar tidak sanggup melihat wajah Lucifer untuk saat ini.

Bahkan hingga malam hari, Yena masih belum mau bicara dengan Lucifer.

Hingga saat waktunya tidur, dia tidak bisa menghindari Lucifer lagi karena untuk sementara ini pria itu adalah selimut hangatnya.

Yena meringkuk di dalam gulungan ular itu dengan mata yang masih terbuka lebar.

"Masih takut?" bisik Lucifer.

"Tidak, hanya syok," batin Yena.

Melihat Yena bergeming Lucifer menjulurkan lidahnya dan menjilat pundak Yena.

Barulah gadis itu terperenjat dan memaki, "Astaga! Bisakkah kamu berhenti menjilati orang?!"

"Ssttt." Lucifer hanya mendesis dan kembali kembali ke posisinya.

Yena menyentuh pundaknya dan berkata menyesal, "Ma-maaf, aku tidak bermaksud membentakmu."

"Aku hanya ..., tolong, berhentilah bersikap begitu," gumamnya. "Kamu membuatku salah paham," tambahnya dalam hati.

"Kenapa? Kau tidak suka?" Lucifer menggerakkan ekornya dan menidurkan Yena lagi. Reptil itu kembali membasahi leher Yena dengan bandelnya.

Yena memasang ekspresi tidak berdaya.

"Sudah tidak sakit lagi. Kalau kamu terus begini aku lebih baik tidur di lantai."

"Sebentar saja--"

"Apa? Apa kamu pikir leherku ini permen?" Yena berdecak pelan. Hari ini entah sudah berapa kali Lucifer berusaha keras untuk mendapatkan lehernya. Meski masih sakit tetapi Yena benar-benar tidak menginginkan pengobatan semacam itu.

"Bukan, bukan permen, tapi manis," kata Lucifer.

Tuhan, apa lagi ini?!

Yena meringkuk dan menutupi wajahnya yang mulai memerah lagi dengan kedua tangan.

Semakin hari Lucifer semakin menunjukkan kebolehannya. Terkadang Yena merasa kalau dia ini sebenarnya buaya, bukan ular.

Malam yang tidak karuan itu berlalu dengan lambat. Pagi hari Yena terbangun dengan wajah pucat.

Si giat Leon sudah datang. Melihat penampilan Yena ia bertanya dengan terkejut, "Apa kau sakit?"

"Tidak tidak. Aku hanya bermimpi buruk." Yena memijat pelipisnya pening.

"Lucifer, kita harus segera menyelamatkan Rumi. Aku bermimpi, Rumi sangat sangat ketakutan dan menderita." Yena berkata pada Lucifer yang baru saja keluar dari kamar mandi dengan tubuh basah.

Pria dengan penampilan segar dan memanjakan mata itu menggeleng dengan tegas, "Bukankah sudah aku katakan, dia akan baik-baik saja. Arion takkan melukainya."

"Aku tau. Meski Arion tidak akan melukainya, tapi tetap saja Rumi pasti sangat ketakutan. Aku tidak bisa mengabaikannya. Dia terseret karena aku." Yena berkata dengan cemas juga merasa bersalah. Dia hampir melupakan masalah Rumi gara-gara Lucifer. Sekarang otaknya kembali menjadi panik.

Lucifer memegang kedua bahu Yena dan berkata dengan serius, "Dengarkan aku. Kita perlu rencana yang matang. Pergi ke sana tanpa persiapan apa pun sama saja dengan bunuh diri."

Nächstes Kapitel