webnovel

Obrolan teras

Huffz..., haah...,

Satu tarikan nafas membumbung tinggi bersama udara malam hari di atas kursi panjang depan rumah Pakde Sumadi. Kepulan asap dari atas gelas berisi seduhan kopi hitam di sampingku masih jua penuh.

Jalan pikiranku tampak damai malam ini ku rasa bebanku hilang bersama asap rokok yang biasanya keluar dari telinga dan hidung sambil ku modifikasi bergaya lingkaran sambil tertawa girang walau aku kalah tapi aku tahu ini adalah sebuah jalan entah jalan yang mana tapi di atas kekalahan aku merasa menang.

Ehem, ehem, suara dehem Pakde Sumadi yang telah berdiri di belakangku sambil membawa segelas kopi membuatku sejenak tersentak. Sebab beliau tiba-tiba ada tanpa aba-aba atau pemberitahuan muncul begitu saja.

Seraya duduk di sebelah kananku beliau mulai menyeruput kopi secangkir agak besar di tangannya lalu menaruhnya di samping ia duduk. Satu rokok kretek hasil karya sendiri dari rangkaian tembakau dan cengkeh dan kertas khusus untuk menggelinting racikan perpaduan antara cengkeh dan tembakau terselip di bibir tuanya. Menggebulah dari mulut yang semakin keriput termakan usia membumbung tinggi membentuk sebuah panah membuyarkan rangkaian asab bentuk lingkaran yang ku buat.

Lalu kami tertawa bersama di bawah sinar bulan yang agak redup tapi tetap terlihat bertengger di sela-sela awan agak mendung.

"Ndik kau sudah seperti anakku sendiri. Sudah kuanggap anak sendiri, keponakan bagi Pakde ini sudah selayaknya seperti anak sendiri. Jadi dengarkanlah ucapan orang tua ini yang dulu pernah berjuang bersama bapakmu di sini demi mencari sesuap nasi," Pakde Sumadi mulai mengoceh dengan tutur-tutur kata yang panjang dan berpetuah layaknya saat aku duduk bercakap dengan bapak di emperan rumah.

Ah jadi kangen, ucapku dalam hati.

"Inggeh Pakde kulo siap mirengaken tutur-pitutur engkang bade njenengan sampek aken (Dalam bahasa Indonesia berarti, iya Pakde saya siap mendengarkan petuah yang hendak Pakde katakan)," ku atur posisi duduk sambil bersila menatap ke arah Pakde Sumadi dan beliau hanya terkekeh melihat tingkahku.

Kata beliau, "Kau persis Kasturi bapakmu itu selalu begitu. Ya persis seperti yang kau lakukan saat ini saat aku hendak berceramah padanya."

Aku menatap beliau dengan muka agak heran, masak ya ia sama persis batinku berkata. Apakah semirip itu tingkahku dengan bapak? Berarti benar filsafat Jawa kuno jikalau anak adalah cerminan dari orang tuanya.

"Sudahlah lupakan, mukamu jangan begitu lah Nak, Pakde jadi ingin ketawa ini. Santai sajalah buat rileks saja, begini ada teman Pakde yang sama seperti Bapakmu dahulu berjuang bersama suka dan duka bersama. Bedanya kalau Bapakmu adalah adik iparku kalau dia memang temanku sejak kecil," ucap Pakde Sumadi sembari menyeruput kopi secangkir di sampingnya.

"Namanya Jennaidi dulu dia adalah jagoan kampung di sini tapi saat ia merantau ke Jakarta. Sekarang hidupnya berubah seratus delapan puluh derajat. Dari preman kampung menjadi seorang imam masjid di salah satu gang depan setasiun Pasar Senen," tutur Pakde Sumadi menerangkan.

"Lalu hubungannya denganku apa Pakde?" tanyaku menatap Pakde Sumadi dengan wajah serius.

Wkwkwk,

Kembali beliau tertawa melihat wajahku yang katanya sangat konyol untuk di lihat, sangat lucu baginya begitu polos.

"Pernah dia Si Jen yang sekarang sudah menjadi Haji Jen. Datang kemari dan menyampaikan sebuah niat jikalau ada anakku atau kerabat atau saudara atau keponakan yang belum dapat kerjaan. Dia berjanji untuk memberikan kerjaan di Jakarta," ucap Pakde Sumadi mulai serius menatapku.

"Oh iya aku mengerti Pakde dari perkataan Pakde sebenarnya hendak menawarkan dari tawaran Pak Haji Jen. Seandainya aku berminat bekerja di Jakarta begitukah?" tanyaku kembali pada Pakde Sumadi yang kembali menghisab rokoknya.

"Nah...!" teriak Pakde mengagetkanku yang sedang asyik-asyiknya serius mendengarkannya.

"Eh, Allahuakbar, Pakde kagetkan," celetukku memegang dada.

"Haha, anak muda kok gampang kaget kamu ini. Maksud Pakde begitu, kalau kamu berniat bekerja kembali kemasi barang-barangmu malam ini. Besok Pakde antar ke rumah teman Pakde itu untuk menagih janjinya pada Pakde, semoga dia masih ingat tentang janjinya tersebut," ucap Pakde menepuk pundakku.

"Siap Pakde kalau begitu sekalian sekarang juga aku mau berbenah biar besok bisa langsung berangkat," ujarku mulai berdiri hendak masuk ke dalam rumah.

"Hey, anak muda santailah, kenapa ya anak muda selalu terburu-buru. Nikmati saja rokokmu habiskan saja dahulu kopimu malam masih panjang. Berkemas bisa nanti-nanti. Ya sudah kalau begitu, Pakde mau tidur dahulu kamu jangan tidur terlalu larut besok kita melakukan perjalanan ke Jakarta," ucap Pakde kembali menepuk pundakku beberapa kali lalu beranjak pergi ke dalam rumah.

Tinggallah aku dengan sejuta pikiran berpikir tentang semua angan-angan semu yang belum aku lakukan. Seandainya aku telah di Jakarta bekerja di sana. Dan seandainya dan apabila dan seumpama, ah semua itu seakan membawa otakku berandai-andai seribu lamunan.

Mataku agaknya melirik pada sebuah sudut langit dimana ada sebuah cahaya bintang berpindah tempat. Sebut saja itu bintang jatuh kadang aku ingin seperti bintang yang tak pernah padam cahayanya seakan ia selalu bersemangat sepanjang malam dan tak pernah padam. Aku yakin bahwa walau cahayanya di halangi awan hitam atau arak-arakan mendung tetap saja di balik jutaan kumpulan awan iya masih bersinar di baliknya.

Pada akhirnya takdirku telah ditentukan kembali, telah ditulis kembali. Pada akhirnya harus ku urungkan lagi kerinduan akan rumah dan kembali berjuang untuk meraih kata menang. Serasa ada dorongan semangat membara dari dalam dada.

Kembali meruak rasa tegap di mata menyorot tajam ke atas langit. Seakan ada peluang untuk pulang suatu hari nanti dan dengan busung dada di atas tanah kelahiran di sebuah kota kecil bernama Jombang. Untuk menepati janji kecil tentang kemenangan bagi si perantau.

Kakiku ternyata belum diizinkan untuk kembali pulang dan menyerah. Aku harus pergi kembali ke sebuah kota besar, bahkan kali ini kota terbesar di tanah Jawa bahkan di negaraku tercinta Indonesia di Ibukota Jakarta.

Lembaran kisah Jakarta akan di mulai sejak malam ini. Tintanya telah di siapkan sebuah buku tebal telah di siapkan untuk menuliskan tinta-tinta cerita perjuangan seorang yang bernama Bagus Effendik yang kelak sering di panggil Cacak Pendik. Dari sinilah panggilan akrab itu di mulaikan.

Namun tak beda dari kisah-kisah yang Cacak Pendik singgahi di kota besar sebelumnya. Kisah cinta selalu menghiasi di setiap lembar perjalanannya.

Dari mulai dari sebuah kisah cinta karena sebuah kebaikan yang Cacak Pendik berikan kepada seorang wanita yang lebih jauh tua darinya bernama Moza Mustafa. Seorang janda berusia 27 tahun asal kota Lamongan Jawa Timur sampai seorang gadis imut asli Jakarta Farhana yang memiliki pinggang begitu ramping.

Ada pula nama Mbak Sinta seorang karyawati kantor yang nanti di mana Pendik bekerja sebagai karyawan Office Boy di kantor itu.

Dan ada pula anak gadis dari seorang preman penguasa terminal bernama Farhana Rahma. Dan dari ke semua nama gadis yang kelak menjadi warna di perjalanan kala menginjak tanah Ibukota Jakarta bagi Cacak Pendik yang sangat membekas adalah nama Farhana gadis anak Mang Epik preman penguasa terminal Pasar Senen.

Tetap seperti dahulu entah kejadian menikmati dari aroma atau lekuk atau wangi tubuh setiap wanita adalah hadiah atau cobaan yang jelas dari sekian nama gadis di Jakarta Cacak Pendik telah mencicipi rasa manis madunya.

Dengarkanlah kisah itu sebuah kisah perjalanan panjang tanah ibu tiri dari sebutan kejamnya perjuangan kala di ibu kota Jakarta.

Nächstes Kapitel