webnovel

Hasil Persidangan

Sophia merasa bersalah karena telah membuat Helen dan kedua temannya menghadapi sebuah persidangan karena melanggar peraturan sekolah mengenai perundungan. Mereka yang selalu membuat Sophia berada dalam kesulitan namun gadis itu justru membalas dengan sebuah perhatian yang tulus. Sophia masih berharap Helen akan menyadari kesalahannya dan berubah menjadi lebih baik.

"Aku senang melihat gadis sombong itu dihukum," tukas Bianca dengan senyuman kepuasan. Sophia melihat ke arah Helen dan justru merasa iba.

"Aku justru merasa kasihan kepadanya," tanggap Sophia.

"Kamu jangan terlalu baik seperti itu. Helen pantas mendapatkan hukuman atas perbuatannya," jelas Bianca.

Sophia menatap ke arah Erick yang sejak tadi mengawasi jalannya persidangan. Ada seorang guru yang menjadi hakim dan menentukan hukuman untuk pelaku pelanggaran. Di sekitarnya nampak lima siswa yang memakai jubah merah seperti yang dikenakan oleh Erick. Sepertinya mereka adalah para ketua dari asrama yang lainnya.

Ada lima ketua asrama yang ada disana. Sepasang ketua asrama Fresh Blood dan sepasang ketua asrama Sweet Blood. Sedangkan yang satu merupakan tambahan yang dianggap mewakili para guru dalam membuat keputusan.

Sophia teringat Bianca pernah mengatakan ingin menjadi salah satu ketua asrama kelak ketika mereka sudah berusia 17 tahun. Sophia bisa membayangkan sahabatnya pasti nampak keren dan berwibawa seperti ketua asrama yang lainnya.

"Aku cukup puas kalau Helen dihukum membersihkan kamar mandi karena dengan begitu dia akan merasakan bagaimana melakukan sebuah pekerjaan yang selama ini belum pernah dilakukannya," tanggap Rosie dengan senang.

Rosie merupakan salah seorang siswa yang pernah menjadi korban perindungan dari Helen sehingga dia masih memendam kekesalan padanya. Sophia tidak mungkin melanggar hak dari Rosie untuk meluapkan rasa sakit hatinya.

"Menurutku dia tidak akan melakukannya karena dia pasti sudah memiliki anak-anak yang bersedia melakukan apapun untuknya," simpul Bianca yang diselingi anggukan kepala oleh Sophia. Dia mengerti bagaimana kebiasaan dari Helen sehingga meyakini bahwa gadis itu akan bebas dari hukuman. Helen memiliki pengaruh yang cukup besar di sekolah.

"Sudahlah, biarkan dia bertindak seperti yang dia inginkan asalkan tidak mengganggu kepentingan orang lain. Sebenarnya aku berharap mereka tidak pernah mengusikku namun kenyataannya mereka justru membuat masalah denganku," sesal Sophia. Gadis itu merasa sedih setiap kali teringat bagaimana mereka menghina karena warna kulit yang dimilikinya. Sophia juga tidak menghendaki sesuatu yang berbeda dari dirinya namun apa yang bisa dilakukan. Semua terjadi sesuai garis takdir yang dimiliki oleh masing-masing.

"Sidang telah selesai, bukankah lebih baik kita pergi dari sini!" ajak Rosie sambil melirik ke arah Helen yang tidak menampakkan penyesalan di wajahnya. Gadis itu terlihat masih menyimpan kemarahan dan tidak akan merendahkan harga dirinya untuk sekedar meminta maaf.

"Ayo!" balas Sophia dan Bianca bersamaan. Mereka bertiga pun meninggalkan ruang persidangan dengan perasaan senang karena mereka akan bersenang-senang semalaman. Bianca memutuskan untuk menginap di asrama Sophia dan Rosie. Mereka ingin menghabiskan sepanjang waktu untuk bercerita dan begadang bersama karena besok jadwal sekolah libur. Mereka akan memiliki waktu sepanjang malam.

"Bagaimana kalau besok kita mengunjungi desa sebelah? Kudengar disana ada sebuah sungai yang airnya sangat jernih. Kita bisa bersenang-senang dan berenang disana!" ajak Rosie bersemangat. Gadis itu memang selalu antusias ketika membahas liburan dan bepergian.

"Ide kamu boleh juga," jawab Bianca dengan sebuah kerlingan.

"Sophia!" panggil Erick pada Sophia dengan sedikit berlari. Nampaknya pemuda itu ingin menyampaikan beberapa hal yang penting pada Sophia.

"Kak Erick, ada apa memanggilku?" tanya Sophia penasaran.

Bianca dan Rosie menatap ke arah Erick dengan penasaran. Mereka berdua juga tidak mengetahui maksud dan tujuan Erick menemui Sophia setelah selesai persidangan.

"Terima kasih karena kamu mau datang ke persidangan," ucap Erick dengan tulus. Sophia membalasnya dengan sebuah senyuman yang manis.

"Bukankah sudah menjadi tugasku untuk hadir. Kakak tidak perlu sungkan dan mengucapkan terima kasih padaku," balas Sophia.

"Aku mempunyai hadiah untukmu," ungkap Erick sambil menyerahkan sebuah gantungan kunci berbentuk serigala kecil yang lucu.

Sophia mengamati benda kecil di atas telapak tangannya. Dia tidak menyangka Erick akan begitu perhatian dengan memberikannya sebuah hadiah.

"Ini adalah hasil karyaku di kelas. Semoga kamu menyukainya," imbuh Erick sambil tersipu. Sepertinya pemuda itu menyukai Sophia.

"Aku sangat berterima kasih atas hadiah yang lucu ini," balas Sophia dengan mata berbinar. Dia belum pernah menerima sebuah hadiah dari laki-laki sebelumnya.

"Aku permisi dulu!" pamit Erick sebelum meninggalkan mereka bertiga.

Rosie dan Bianca hanya terdiam melihat betapa baiknya Erick kepada Sophia. Mereka tidak menyangka sahabat sahabat mereka akan mempunyai penggemar seorang ketua asrama. Mereka sangat bangga.

"Hmmmmmm kak Erick romantis ya?" goda Rosie seraya mengerling ke arah Bianca yang juga turut tertawa melihat wajah Sophia.

"Apaan sih, ini tidak seperti yang kalian pikirkan," bantah Sophia dengan tersipu malu. Wajahnya bersemu merah.

"Memangnya apa yang ada di pikiran kami?" lanjut Rosie.

Bianca tertawa lepas karena merasa Sophia kalah bicara di depan dirinya dan Rosie. Mereka bertiga layaknya remaja lainnya yang sedang menikmati masa indah di dalam hidupnya.

"Tidak tahu," ucap Sophia untuk mengakhiri pembicaraan yang mengarah kepada Erick. Dia merasa tidak nyaman kalau pemuda sebaik Erick akan dikaitkan dengan dirinya.

"Ngomong-ngomong, bagaimana dengan Andrew Davidson? Apakah dia kalah saingan dengan si ketua asrama?" imbuh Bianca yang langsung mendapatkan cubitan dari Sophia. Ketiganya saling bercanda hingga tidak menyadari seseorang tengah mengawasi mereka dari jarak yang tidak terlalu jauh.

"Rupanya gadis itu mau mencoba mendekati Erick?" ucap seorang gadis berjubah merah yang menutupi wajahnya di balik topi. Gadis itu terlihat tidak menyukai sosok Sophia.

Sementara itu, Helen dan kedua rekannya selesai menjalani persidangan perdana. Mereka nampak tidak senang dengan hukuman yang diterima. Nampaknya sebuah kewajaran bila seorang pelaku selalu merasa sebuah hukuman tidak adil untuk mereka karena tidak menyadari kesalahan yang dilakukan.

"Aku tidak mau melakukan hukuman tersebut," keluh gadis berambut pendek pada Helen. Gadis cantik itu hanya memasang wajah penuh kekecewaan setelah mendengar keputusan.

"Apa kamu pikir aku akan melakukan semuanya? Aku juga tidak menerima hukuman ini!" tolah Helen. Gadis itu selalu menampilkan rasa percaya diri setiap kali membuat keputusan. Terlahir sebagai putri tetua suku tentu membuat sosok Helen begitu percaya diri dan tidak gentar menghadapi apapun.

"Aku akan melakukan sesuatu untuk membalas tindakan Sophia," tekad Helen sambil menatap kedua temannya secara bergantian. Gadis itu berharap adanya dukungan dari kedua rekannya.

"Tidak. Kali ini aku tidak mau ikutan. Aku sudah cukup sekali menghadiri sidang pelanggaran," ucap gadis berambut ikal yang sejak tadi diam selama proses persidangan. Nampaknya dia merasa trauma dan malu karena menjadi tersangka dalam tindak kekerasan di sekolah.

"Mengapa kamu tidak setia kawan?" tanya Helen. Dia menampilkan mata bulatnya yang kemerahan karena menahan kesal pada salah satu temannya. Dia tidak mungkin dapat melakukan semua idenya seorang diri.

"Ini bukan masalah setia kawan, aku hanya menjaga diriku sendiri," sanggah teman Helen yang bernama Carol tersebut. Dia merupakan putri werewolf murni yang berkulit coklat. Dia tidak mau kedua orang tuanya merasa malu akibat ulahnya yang melakukan tindakan pembulian di sekolah.

"Itu namanya egois," cetus Helen untuk memarahi temannya.

"Baiklah. Aku memang egois dan lebih baik seperti itu daripada terhukum untuk kedua kalinya. Permisi," pamit Carol meninggalkan Helen dan temannya yang berambut pendek. Dia segera meninggalkan ruang persidangan tanpa menunggu tanggapan Helen yang nampaknya marah dengan keputusannya.

Nächstes Kapitel