webnovel

BAB 12: RUMAH KOSONG

Atas saran dariku, kami bertiga sepakat untuk menunda misi kami sampai malam tiba. Awalnya Dova sempat melarangku. Katanya, kita ini tidak boleh membuang-buang waktu. Aku lalu menegaskan padanya bahwa jika ingin menangkap ikan di kolam, maka harus bisa menunggu dengan tenang, jangan membuat mangsa kabur ketakutan.

"Oke, kita pakai strategimu, Suri," ujar Dova mengiyakan.

****

Setelah kami menunggu hingga malam tiba di penginapan dekat pantai, kami kembali menaiki bus kota ke arah yang sama untuk mendatangi rumah milik Seno Joan dalam gang sempit.

Tapi, kali ini kami bukan datang lewat depan.

Kami bertiga diam-diam mengintai dari belakang rumahnya. Tadinya aku benar-benar tidak punya clue sama sekali untuk mencari pelukis misterius ini, tapi setelah obrolanku dengan seorang tetangga tadi siang, aku mulai paham dengan 'permainan' ini.

"Apakah kalian melihat ada mayat tersembunyi?" Roy menoleh tiap melewati sebuah tiap rumah, ia memimpin di depan. "Atau mencium bau busuk?"

"Tidak," bisikku. "Hanya ada bau sampah biasa, bukan bau bangkai."

Dova menempelkan telunjuk di bibirnya, sebagai isyarat agar kami memelankan suara.

Kami terus berjalan menyusuri rerumputan hijau yang terasa licin. Penerangan di sini tidak terlalu bagus, dan itu menguntungkan persembunyian kami. Sampai akhirnya, hitunganku sampai di rumah nomor tujuh.

"Kurasa yang ini rumahnya." Aku mulai meraba pagar belakang rumah yang kumaksud. Tidak ada celah sama sekali di pagar belakang, mungkin dibuat bukan untuk fungsi keluar masuk, melainkan hanya sebagai batas. Aku lalu melubangi sedikit salah satu papan kayu tipis itu menggunakan ranting yang tergeletak di tanah. Lalu aku mengintip melalui celah pagar kayu yang sangat sempit yang telah kubuat. Di sana kosong, tak ada siapa pun, dan tak terawat. Hmm, sesuai dugaanku. Tapi ada satu hal yang menarik perhatianku. "Aneh. Tidak ada gembok yang terpasang di pintu bagian belakang."

"Benarkah?" Dova bergantian denganku mengintip lewat celah pagar. "Pintu itu pasti tetap terkunci. Hanya saja, mungkin rumah ini memang didesain cuma ada gembok di pintu depan rumah."

Roy gantian mengintip. "Bagaimana? Mau dicek saja langsung?"

"Boleh."

Dova bergegas menghampiri sebuah pohon besar dan memanjatnya. Ia kemudian melompati pagar setelah berayun dari salah satu dahan pohon. Aku dan Roy mengikutinya, berusaha tidak membuat suara berisik.

"Aku akan memeriksanya," tukasku. Segera aku melangkah menuju pintu belakang. Lalu kuambil jepitan rambut andalanku dan kumasukkan ke lubang kunci. "Oh, sesuai dugaanku."

"Bagaimana?" Dova terdengar tidak sabar.

Aku menarik jepitan rambutku. "Pintu ini memang terkunci, tapi ...,"

"Bisakah kau buka secara paksa, Suri?" tanya Dova.

"Anehnya, tidak bisa," jawabku sambil tersenyum. "Dan itu justru bagus, kalau kau bisa mengerti jalan pikiranku dan pelukis sok misterius itu."

"Tetaplah waspada. Rupanya kita akan dapat mangsa besar malam ini," celoteh Dova seolah paham dengan ucapanku.

Dova dan Roy mendobrak pintunya bersamaan. Kami tidak bisa mengurangi kegaduhan yang ditimbulkan akibat rusaknya engsel pintu, yang membuat pintunya jadi kurang stabil, dan akhirnya roboh begitu saja. Aku lalu bergegas meraba bagian lubang kunci pintu. Benar saja, ada sebuah kunci besi yang menancap di sana. "Sudah kuduga pintu ini terkunci dari dalam. Kuncinya masih menancap di lubangnya."

"Ayo masuk," perintah Dova mendahuluiku melangkah masuk lebih jauh.

Aku dan Roy mengikutinya sambil tetap waspada dengan kejutan selanjutnya yang mungkin terjadi. Pintu yang terkunci dari dalam jelas-jelas menunjukkan bahwa memang ada orang di dalam rumah yang dikira kosong ini. Aku sengaja menunggu hingga waktu malam agar si penghuni berpikir kami bertiga benar-benar sudah pergi. Dan ia pasti akan berada di dalam rumah ini dengan tenang.

Karena penerangannya sangat minim, dan aku jadi tidak bisa melihat apapun, aku segera menyalakan senter kecil yang menyerupai pulpen di saku bajuku.

"Oh, ya ampun," bisik Roy ketika matanya mulai bisa menangkap bagaimana kondisi di dalam rumah.

Aku melihat sekantung sampah yang berisi banyak kemasan makanan, salah satunya roti. Aku lalu membaca tanggal kadaluwarsanya, tertulis tanggal sekitar lima hari yang lalu. Padahal katanya rumah ini sudah kosong selama tiga tahun. Mana mungkin ada roti seawet itu.

"Ini pasti roti keluaran terbaru," bisik Roy di sebelahku.

"Rumah ini terlalu penuh untuk ukuran rumah kosong. Maksudku, coba lihat semua persediaan makanan ini," komentarku sambil menunjukkan isi kabinet dapur. Di dalamnya banyak sekali makanan instan, termasuk di antaranya mie dan kopi. Dan semuanya belum kadaluwarsa.

"Aku akan coba geledah lemari kamar," usul Roy melangkah pergi di kegelapan.

Lalu aku beralih ke ruangan lain dengan cepat. Kuraih sebuah asbak di atas meja, dan kusentuh putung rokok di dalamnya. Kilatan cahaya yang diceritakan oleh nenek bertongkat, mungkin saja ujung batang rokok yang menyala ini. "Ini masih sangat hangat. Aku yakin rumah ini tidak kosong."

Tiba-tiba kudengar suara derap langkah keras di belakangku. Lama-lama terasa makin dekat. Aku yakin itu bukan salah satu dari kami bertiga, karena langkah kaki mata-mata bisa sangat senyap dan nyaris tak terdengar. Itu pasti seseorang atau sesuatu yang lain. Gawat, ini bukan waktu yang tepat untuk menggeledah barang-barang.

****

Aku mengayunkan penlight ke sudut yang lain dari rumah ini. Sejak awal sebenarnya aku sudah tahu bahwa orang itu ada di sini. Tapi tak kusangka ia berani muncul lebih dulu sebelum kami berhasil menemukan persembunyiannya.

Dova baru saja menendang seseorang yang hendak mengayunkan sebuah wajan teflon ke belakang kepalaku. "Halo, Seno Joan."

Aku buru-buru menghindar dan mengarahkan penlight ke arah target. Kini bisa kulihat lebih jelas seorang pria kurus terkapar tak berdaya dengan luka lebam di wajahnya. Aku menahan Dova sebelum ia sempat meninjunya lagi. "Jika kau bunuh dia, kita akan kehilangan banyak informasi."

Aku bisa bilang begitu karena kelihatannya pria ini tidak melakukan penyerangan. Tangannya bersusah payah mengambil wajan yang terpelanting jauh. Kedua kakinya gemetaran. Ia malah lebih mirip seperti seperti kucing kecil yang menggeram tapi tak berani melawan.

"Baiklah, cepat ikat dia." Dova mengayunkan pisau kecil ke leher Seno Joan. Pria itu ketakutan dan hanya bisa mendongak ke atas, tidak berani melihat pisau dingin yang menyentuh kulit lehernya.

Aku buru-buru mengambil kain jenis apapun yang paling dekat dariku untuk disambung dan kujadikan tali. Lalu aku melilit pria itu dalam posisi duduk hingga ia tidak bisa bergerak. Benar-benar tak ada perlawanan sama sekali. Ia bahkan tak berani bicara sepatah kata pun.

"Di mana lukisanmu?" Dova menekan pisaunya lebih kuat.

"Ta-tadinya ada pa-padaku, sekarang ti-tidak lagi," desah pria itu. Seno Joan menjawabnya dengan terbata-bata.

Hmm, kurasa ia tidak bohong. Untuk ukuran orang yang sedang ditodong dengan pisau tepat di lehernya, ia memang tidak punya pilihan selain berbicara yang sebenarnya.

"Kurasa dia benar, lukisannya tidak ada di sini," sahut Roy tiba-tiba. Ia melangkah mendekati kami setelah menggeledah terlalu banyak barang. "Tapi aku menemukan ini."

Aku segera mengarahkan penlight-ku kepada Roy. Ia ternyata baru saja menyeret sebuah koper besar berisi uang tunai yang sangat banyak. "Wow, apakah ini semua milikmu?"

"I-itu uang pal-palsu, ambil saja kalau kalian mau," jawab Seno Joan tegang.

"Katakan dari mana kau dapat uang palsu sebanyak ini?" gertak Dova sambil tetap mengacungkan pisaunya.

"Mafia lukisan," jawab Seno Joan singkat. "Mereka menipuku."

Aku terkekeh mendengarnya. "Padahal kau juga menipu semua orang dengan menciptakan mitos tentang lukisan terkutuk, lalu kau mencuri lukisan itu lagi setelah harganya jadi mahal."

"Kau melakukan kesempatanmu dengan baik sebagai mantan petugas keamanan museum. Kau sangat tahu titik kelemahan museum itu," komentar Dova, tapi itu bukan pujian sih sepertinya. "Tapi kau malah dikerjai oleh mafia."

"Di mana mereka sekarang?" tanya Roy.

"Kapan kau bertemu mereka terakhir kalinya?" tanyaku.

"Seminggu yang lalu, di pelabuhan," jawabnya.

Dova segera mengecek ponselnya dan mengirimkan seluruh isi percakapan kami barusan kepada Pak Ferdy dari jarak jauh.

"Kami telah mendapatkan pelukis aslinya," kata Dova lewat ponselnya. "Baik ... Baik, akan kami laksanakan, Pak." Lalu ia mengakhiri pembicaraan itu dengan menekan tombol pada ponselnya.

"Bagaimana selanjutnya?" tanyaku bingung. "Pak Ferdy bilang apa?"

"Tujuan kami yang sebenarnya bukan mencarimu, tapi mencari lukisanmu. Itu perintah atasan," jelas Dova pada Seno Joan.

"Cari mereka di perahu 27, dengan kode perak," balas Seno Joan spontan.

Bagus. Sepertinya ia sangat benci pada bandit-bandit pelabuhan itu, mengingat ia telah ditipu sebelumnya. Tidak sulit baginya untuk membongkar keberadaan mereka. Ia mungkin berharap kami bertiga bisa membalaskan dendamnya. Naif sekali.

"Tapi, aku harus kembali ke ruang pusat divisi, Pak Ferdy memanggilku," sesal Dova. "Ada beberapa hal yang harus aku laporkan, dan mungkin kita membutuhkan bala bantuan untuk menghadapi para mafia."

"Oke, aku akan mengurus orang ini," sahut Roy. "Akan kuseret ia ke kantor polisi."

"Baiklah, kalau begitu biar aku saja yang ke pelabuhan," usulku.

Dova mengangkat alisnya. "Kau yakin, Suri?"

"Lebih baik kita tunggu bantuan datang," cegah Roy.

"Tentu saja aku yakin. Aku akan berusaha memberitahumu lokasi pasti dari lukisan itu, lalu kembali," jelasku mencoba meyakinkannya. "Waktu kita terbatas. Lukisan itu pasti akan dikirim lagi entah ke mana, kita tidak boleh terlambat."

Dova menatapku tajam. "Kau harus berjanji padaku untuk tidak melakukannya lebih dari itu."

"Aku akan berusaha," jawabku penuh keyakinan.

****

Nächstes Kapitel