webnovel

Kerjasama

Dalam sekejap mata, pria berjubah merah seketika muncul menghadang makhluk yang ada di hadapanku. Dia berdiri tegap dan menatap tajam makhluk itu sambil menyilangkan kedua tangannya. Tetapi makhluk itu tampak tak memperdulikan keberadaan si pria berjubah merah. Wajah dengan mata yang bolong itu masih tetap saja mengarah ke arahku.

"Pantas saja dia tertarik denganmu." ucap makhluk itu dengan suara khas anak kecil.

"Dia? Siapa yang kau maksud dari dia?" tanyaku dalam batin.

"Dia yang menyukai dan menginginkan darah kalian…. hihihihihi…." jawabnya sambil tertawa cekikikan.

Sepertinya aku mulai paham maksud dari makhluk itu. Makhluk yang dia maksud adalah jin pesugihan yang menghantui bu Nirma selama ini.

"Apa kau salah satu dari bawahannya?" tanyaku dengan was-was.

"Bukan… aku hanyalah salah satu makhluk yang menghuni tanah ini." jawabnya.

"Kenapa hanya kamu yang menampakkan diri? Dimana penghuni lain dari tanah ini?" tanyaku penasaran.

"Sebagian besar dari mereka dibawa ke alamnya untuk dijadikan pasukan. Sedangkan sisanya melarikan diri dan berpindah dari lokasi ini." jawabnya.

"Jadi mengapa kau masih bisa berada di sini? Kenapa makhluk itu tidak menangkapmu juga?" tanyaku bingung.

"Hihihihihi…. aku tak mau berpindah dari tanah ini selamanya, walau aku harus dibinasakan nantinya. Lagi pula, dia juga pasti berpikir dua kali jika ingin mengusikku, sebab dia akan berakhir dengan banyak luka jika ingin berurusan denganku hihihihihi…." jawabnya.

"Bagaimana kalau kau ikut membantu kami? Bukankah lebih baik kalau kita bekerjasama untuk mengalahkannya?" potong Putra tiba-tiba.

Bu Nirma tampak terkejut melihat Putra yang berbicara sendiri layaknya sedang berbicara dengan angin. Tapi lebih baik seperti itu, sebab jika bu Nirma tahu dan bisa melihat wujud dari sosok itu, mungkin dia akan seketika pingsan di tempat.

Makhluk itu pun langsung bertanya balik, "Apa imbalan yang akan kalian berikan kepadaku? Hihihihi…."

"Apa yang kau inginkan?" tanya Putra lagi.

"Bersihkan dan hias kolam serta sekitar pohon ini." jawabnya.

"Hanya itu saja?" tanya Putra dengan ragu layaknya tak percaya.

"Kenapa? Apakah kalian tidak percaya? hihihihi…." balasnya dengan senyum menyeringai.

Putra tampaknya tak mempercayai perkataan makhluk itu, hingga dia pun mencoba untuk menantang makhluk itu dengan waspada, "Apakah kau berani bersumpah? Kalau kau tidak berbohong?"

Tetapi makhluk itu hanya tertawa melihat reaksi Putra yang tampak ragu, "Jika itu memang keinginan kalian… aku bersumpah bahwa diriku tidak berbohong… hihihihi…" jawab makhluk itu dengan santainya.

"Apakah kau pernah melihat dua orang anak kecil di sekitar rumah ini?" tanyaku.

"Mereka ada di dalam rumah itu. Ada seorang manusia yang dirasukinya membawa mereka berdua ke sini. Tapi aku tidak tahu pasti dimana mereka diletakkan, karena aku tak diperbolehkan masuk ke dalam sana." jawabnya.

"Kalian masuk terlebih dahulu, aku akan menyusul dan akan membantu kalian jika makhluk itu telah datang." lanjutnya.

Setelah mendengar jawaban makhluk itu, aku dan Putra langsung mengajak bu Nirma pergi masuk ke dalam rumah. Kami dapat masuk ke dalam dengan mudah, sebab sama seperti keadaan gerbang tadi, pintu masuk ke dalam rumah itu pun juga dalam keadaan tidak terkunci.

Saat berada di dalam rumah itu, suasana terasa sangat hening dan mencekam. Otomatis aku menjadi gugup dan overthinking. Hingga keringat dingin pun mulai berkucuran membasahi dahi dan punggungku.

Untuk menjelajahi seisi rumah yang dalam keadaan gelap, kami hanya bisa mengandalkan flashlight dari ponsel kami masing-masing. Kami perlahan mulai memijakkan setiap langkah kami dengan hati-hati.

Satu persatu ruangan yang ada di lantai dasar rumah itu kami cek dengan seksama. Mulai dari ruang tamu, dapur, hingga beberapa kamar yang kami cek tak juga menunjukkan adanya jejak anak bu Nirma. Jadi kami memutuskan untuk langsung pergi mengecek ke lantai dua.

Berbeda dengan lantai dasar yang dari luarnya tampak serba mewah, di lantai kedua rumah itu banyak terpajang bingkai foto dari sebuah keluarga yang berisikan sepasang suami istri dan tiga anak. Banyak juga terpampang lukisan-lukisan abstrak yang tak bisa kujelaskan dan kupahami artinya.

Dari banyaknya foto dan lukisan yang terpampang disana, ada sebuah lukisan yang sangat menarik perhatianku. Sebuah lukisan berisikan sebuah pusaran berwarna merah yang terdiri dari titik-titik kecil. Entah kenapa, semakin kuperhatikan, semakin aku merasa tersedot ke dalamnya.

Hingga suara panggilan Putra yang tiba-tiba akhirnya berhasil menyadarkanku, "Sini Ram…."

Saat aku menoleh, aku melihat Putra sedang berada di depan pintu sambil menutup hidungnya dengan salah satu telapak tangannya.

"Kenapa Put?" tanyaku bingung.

Putra tak membalas ucapanku, dia hanya melambaikan tangannya, menyuruhku untuk cepat-cepat mendekati posisinya. Aku dan bu Nirma pun spontan mendekatinya.

Tetapi baru saja memijakkan beberapa langkah, aku akhirnya mengerti kenapa Putra sampai menutup hidungnya dengan rapat-rapat. Aku bisa mencium bau busuk dan bau anyir darah yang telah bercampur menjadi satu. Dua kombinasi itu berhasil membuat hidungku terasa seperti ditusuk-tusuk.

"Pintunya dikunci Ram." ucap Putra dengan suara yang kurang jelas, sebab dia sedang menutup hidung dan mulutnya.

"Jadi kita harus gimana Put?" tanyaku bingung, sebab semua ruangan di lantai dua juga telah kami cek, dan kami tidak menemukan apapun. Hanya tersisa satu ruangan di ujung, ruangan yang paling mencurigakan karena mengeluarkan bau busuk dan anyir.

"Kayaknya kita harus dobrak pintunya Ram." balas Putra habis berpikir sejenak.

Aku mengangguk dan setuju, sebab aku merasakan seperti ada sesuatu yang disembunyikan di dalam ruangan itu. Tanpa banyak omong, kami berdua langsung menghantamkan badan kami ke pintu kayu tersebut berkali-kali.

"BRAKKKKKKK!!!"

Hingga beberapa menit kemudian, setelah kami hampir kehabisan tenaga, pintu itu pun akhirnya roboh bersamaan dengan badan kami berdua. Rasanya badanku terasa remuk akibat itu.

Tetapi rasa sakit itu hilang seketika, saat aku melihat pemandangan yang ada di depan mataku. Pemandangan mengerikan yang akan selalu terngiang-ngiang di ingatanku.

Aku melihat dua orang anak kecil berada di tengah-tengah puluhan bangkai ayam yang kepalanya sudah terlepas dari badannya. Anehnya kedua anak kecil itu tampak seperti sedang tertidur dengan pulasnya.

Padahal seluruh lantai ruangan itu sudah tampak berwarna merah karena bekas darah ayam yang telah berceceran. Ditambah lagi dengan bulu-bulu ayam yang berserakan kemana-mana membuatku mual dan ingin muntah seketika.

Baru saja berpikir seperti itu, bu Nirma langsung keluar ruangan dan memuntahkan isi perutnya dengan suara yang keras. Putra langsung keluar dan membantu bu Nirma, sedangkan aku bergegas mengangkat anak kecil itu satu persatu untuk keluar dari ruangan.

Setelah membantu dan menenangkan bu Nirma, Putra kembali masuk ke dalam ruangan itu. Sedangkan aku memutuskan untuk menemani bu Nirma yang sedang bersandar sambil memejamkan kedua matanya serta menjaga kedua anaknya di luar ruangan.

Hingga beberapa saat kemudian, Putra keluar dengan secarik kertas di tangannya. Dia melihat bu Nirma sejenak lalu menggelengkan kepalanya sambil memasukkan secarik kertas itu ke dalam kantong celananya.

"Ayo keluar bu… Ram… sebelum makhluk itu datang." ajak Putra.

Aku dan Putra langsung masing-masing mengangkat salah satu anak dari bu Nirma, seraya membantu memapah bu Nirma yang masih tampak lemas. Tetapi saat kami sudah berhasil menuruni tangga dan sampai di lantai dasar,

"KREEEEEKKKKK…."

Terdengar suara pintu yang terbuka dari arah pintu masuk. Aku melihat Putra, dan memberi kode dengan jari telunjukku bahwa aku akan mengintip apa yang terjadi di sana. Sedangkan Putra, bu Nirma dan kedua anaknya bersembunyi disamping tangga.

Aku mematikan flashlight dari handphoneku dan perlahan-lahan mendekati sofa ruang tamu yang menghadap ke arah pintu masuk rumah. Aku menunduk dan mencoba mengintip apa yang ada di sana dengan hati-hati.

Tiba-tiba muncul suara langkah kaki yang keras dari arah yang sama. Aku mencoba mencari tau asal muasal suara itu, tetapi aku tak bisa melihat jelas wujud orang tersebut, karena keadaan yang gelap gulita.

Seraya aku mengintip ke arah asal muasal suara itu, aku melihat sinar berwarna merah muncul dalam sepersekian detik lalu kemudian menghilang. Begitu juga dengan suara langkah kaki yang kudengar. Suara itu juga hilang secara bersamaan dengan sinar merah itu.

Suasana hening ini berhasil membuat jantungku mulai berdegup dengan kencang. Keringat dingin mulai menetes dari dahiku. Baru kali ini aku merasa segugup ini. Aku merasa nyawaku sedang benar-benar terancam saat ini.

Karena tidak bisa melihat wujud orang itu dengan jelas, aku memutuskan untuk merangkak kembali ke posisi Putra dan bu Nirma. Tetapi belum sempat aku bergerak, sinar merah itu muncul kembali.

Saat kuperhatikan, sinar yang tadinya menghilang dalam seketika itu tidak menghilang seperti sebelumnya. Tapi ada hal yang lebih aneh lagi, yang berhasil membuatku sekujur tubuhku merinding seketika.

Sinar itu semakin lama semakin bertambah banyak. Satu menjadi dua, dua menjadi empat, empat menjadi delapan. Sinar yang sudah memenuhi seisi ruangan itu mulai bergerak dan berkedip dengan liarnya. Hingga perlahan aku menyadari, bahwa sinar merah itu adalah mata… mata dari para makhluk astral.

Saat aku hanya bisa diam terpaku melihat pemandangan mengerikan itu, tiba-tiba muncul sinar putih dari arah belakangku. Aku menghela nafas perlahan dan merasa lega sedikit, karena aku yakin itu adalah Putra.

Saat Putra sudah mendekati posisiku dengan flashlight ponselnya, akhirnya aku bisa melihat wajah dari orang yang masuk tadi. Ternyata orang itu adalah orang yang wajahnya tak asing bagiku, sebab aku baru saja menjumpainya sore tadi. Dia adalah suami bu Nirma.

Dia berdiri kaku dengan pandangan mata yang kosong. Sementara itu, di belakangnya sudah tampak segerombolan makhluk dengan wujud yang sama persis dengan apa yang sudah kami hadapi tadi di rumah Putra.

Anehnya, semua makhluk itu juga hanya diam, sama seperti suami bu Nirma. Hingga tiba-tiba, muncul suatu makhluk dengan wujud seorang pria yang gagah dan tegap. Pupil matanya tampak merah, rambutnya panjang tergerai. Dia mengenakan pakaian berwarna hitam bercampur emas, pakaian khas yang tampaknya biasa dikenakan bangsawan saat zaman kerajaan.

Saat aku sibuk memperhatikan wujudnya, dia perlahan menoleh ke arah posisiku. Dia menatapku dengan senyuman lebar di mulutnya. Aku langsung berlari menuju ke posisi Putra yang sedang memegang ponsel dengan wajah seriusnya.

Sedangkan makhluk berwujud pria itu perlahan melayang mendekati posisi suami bu Nirma. Dia mendekatkan bibirnya ke telinga suami bu Nirma lalu berbisik. Anehnya aku bisa mendengar jelas suara bisikan dari makhluk itu.

Bisikan yang mengatakan,

"Bunuh mereka semua…"

Bersambung…

Nächstes Kapitel