webnovel

Ancaman

Tatapan mata dan senyum tulus yang terpancar dari wajahnya berhasil membuatku menjadi salah tingkah. Aku tak tahu harus berbuat dan berkata apa, sebab pikiran dan batinku jadi mendadak kacau balau.

Sementara itu, Melissa masih saja memandangku dengan tatapan hangatnya. Membuat suasana yang tadinya terasa mellow berubah menjadi suasana yang canggung dan aneh. Hingga beberapa saat, hanya terdengar suara mesin dari kipas angin yang mengiringi keheningan di ruanganku.

"Gw ke kamar mandi dulu Del." ucapku memecah keheningan.

"Iya Ram." balasnya pelan

Aku langsung bergegas beranjak dan melangkahkan kedua kakiku menuju kamar mandi. Di dalam kamar mandi, aku spontan memeriksa tampang wajahku di cermin. Anehnya aku melihat kondisi telingaku yang tampak memerah seperti kepiting rebus. Dicium di pipi saja membuatku menjadi begini, sungguh memalukan ucapku didalam hati.

Tapi tak bisa dipungkiri, serangan tak terduga yang dilakukan Melissa berhasil menembus pertahananku yang sedang lengah. Dia berhasil memanfaatkan momen itu dengan baik.

Perlahan aku mulai mencoba menenangkan pikiran dan batinku. Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan lantang. Melakukan hal itu biasanya dapat menyegarkan pikiranku serta mengembalikan rasa tenang di batinku.

Selang beberapa waktu kemudian, aku pun keluar dan menghampiri Melissa yang sedang duduk di atas kasur. Sebagai pembuka pembicaraan, aku mulai berpura-pura mendeham tenggorokanku.

"Mel, omong-omong apa lo ga dicariin sama orangtua lo?" tanyaku penasaran

"Aku kabur dari rumah Ram." jawabnya singkat dan pelan.

Aku terkejut mendengar jawaban darinya.

"Ha? Kok bisa Mel? Jadi lo tinggal dimana selama ini?" tanyaku

"Ceritanya bakal panjang banget kalo diceritain Ram." balasnya

"Gapapa Mel, gw siap dengerin kok kalo lo bersedia." ucapku

"Sebenarnya aku anak broken home Ram. Mama aku udah cerai sama Papa sedari aku kecil dulu." ucap Melissa dengan wajah menunduk.

"Sejak itu, Mama ngilang tanpa ngucapin apa-apa ke aku. Jadi aku terpaksa hidup dan tinggal bareng sama Papa. Sebenarnya, dulu awalnya papa masih sayang dan perhatian banget ke aku."

Tiba-tiba Melissa berhenti berbicara lalu menghela nafasnya dalam-dalam.

"Tapi sejak aku masuk SMA, lama-kelamaan papa mulai berubah. Yang dulunya papa sering nanya kondisi dan kegiatan aku, jadi mulai gak peduli dan merhatiin keadaanku. Papaku juga jadi lebih sering keluar dari rumah dan pulang larut malam. Sampe akhirnya aku udah gak tahan lagi dan langsung nanyain ke papa. Dan ternyata yang aku dapat hanya respon dingin."

"Kamu gak perlu tau, fokus ke sekolah kamu aja."

"Papa aku hanya ngomong gitu terus pergi ninggalin aku sendirian di rumah.

"Saat itu aku hanya berpikir, kayaknya ga ada lagi orang yang bener-bener peduli sama aku. Aku ngerasa keluarga satu-satunya yang kumiliki akhirnya ngebuang dan ninggalin aku sendirian. Aku ngerasa hidup ini kayaknya udah ga ada artinya lagi." Ucap Melissa dengan suara yang bergetar. Matanya juga mulai tampak berkaca-kaca. Sepertinya pengalaman itu telah memberi bekas trauma yang mendalam di memorinya.

"Sejak kejadian itu, aku juga mulai bersikap dingin ke Papa. Aku hanya bicara kalo ada sesuatu yang penting aja. Sampe suatu saat kemudian, waktu aku udah SMA, papa aku tiba-tiba ngebawa seorang wanita yang keliatannya masih muda ke dalam rumah. Dan Naifnya, aku ngerasa wanita itu kayaknya bakal cocok sama Papa. Karena aku ngerasa Papa dan wanita itu keliatannya bener-bener bahagia saat bersama.

"Awalnya aku mencoba untuk memaklumi, karena aku tau kalo Papa sebenarnya kesepian, karena udah lama hidup tanpa adanya pasangan. Ditambah lagi sama sikap aku yang gak peduli dan dingin ke Papa. Jadi aku berusaha memahami dan membiarkan Papa untuk berbuat apa yang dia suka."

"Melihat responku yang dingin dan gak mempermasalahkannya, wanita itu jadi sering banget mampir ke rumah. Papa juga jadi makin liar. Aku sempat ngeliat wanita itu nginap dan tidur sekamar sama Papa.

"Terus besoknya, dengan ekspresi tanpa rasa bersalah akhirnya Papa ngenalin wanita itu ke aku. Dan dengan percaya dirinya mereka ngomong ke aku kalo mereka bakal menikah dalam waktu dekat."

"Sebenarnya di dalam hati, aku udah ngeprediksi endingnya bakal jadi kayak gini. Aku hanya bisa berharap wanita itu bener-bener tulus dan sayang sama Papa. Tapi nyatanya, setelah tinggal di rumah dalam waktu beberapa minggu. Sifat asli dari Ibu tiriku akhirnya muncul."

"Setiap Papa lagi ga ada di rumah, dia selalu nyari masalah ke aku. Dia mulai nyari-nyari kesalahan yang sebenarnya sepele buat bisa ngemarahin aku. Terus dia juga bertingkah seolah-olah udah jadi pemilik rumah itu. Beda kalo Papa lagi ada di rumah, dia pasti bertingkah sok manis dan perhatian ke aku."

"Awalnya aku ragu mau ngomong ke Papa, kalo sifat istri baru dia itu sebenarnya palsu. Tapi lama-kelamaan aku gak tahan lagi sama sikap ibu tiri yang bener-bener menjijikkan. Kesabaranku udah habis dan aku langsung ngomong blak-blakan ke Papa tentang sifat asli dari istri barunya. Tapi kamu tau gak apa respon dari Papaku?"

"Gausah ngarang kamu!"

"Papa langsung ngebentak aku tanpa dengerin penjelasan dan ceritaku sampe selesai dulu."

"Semenjak itu, aku udah ga percaya lagi sama Papa. Sampe puncaknya, minggu kemarin aku berantem sama ibu tiri karena dia nuduh aku yang nyuri uangnya. Padahal aku gak pernah nyentuh barang-barang dia sama sekali. Waktu aku ngebela diri, yang ada dia malah makin curiga dan nyindir-nyindir aku. Sampe akhirnya aku meledak dan ngebentak dia didepan mata Papaku langsung."

"Dan tanpa basa-basi Papa langsung nampar pipiku."

Setelah mengucapkan kata-kata itu, Melissa tak tahan lagi menahan air matanya, hingga akhirnya dia pun menangis sejadi-jadinya.

"Kenapa hidupku jadi kayak gini ya? Apa sih salahku? Sampe satu-satunya hal yang aku punya juga akhirnya diambil?" ucap Melissa tersengguk-sengguk.

"Aku gatau lagi Ram, aku harus ngapain sekarang. Aku udah ngerasa hancur, karena ga punya tujuan hidup lagi." lanjut Melissa.

"Aku...."

Sebelum Melissa melanjutkan ucapannya, aku langsung memeluk erat tubuhnya.

"Hidup lo masih panjang Mel. Lo juga gak sendirian. Karena lo masih punya gw." bisikku pelan sambil mengusap rambutnya.

Melissa pun menangis makin kuat sambil memendam wajahnya dibahuku. Aku dapat merasakan tubuhnya yang bergetar akibat meluapkan emosi yang sudah lama dipendamnya.

Hingga beberapa saat, aku hanya diam menanti tangisan Melissa yang mereda. Tapi tidak sesuai ekspektasiku, ternyata Melissa tak juga kunjung berhenti menangis.

Aku pun berusaha memakluminya dan tetap membiarkannya sampai keadaannya menjadi lebih tenang.

Satu menit, lima menit, sepuluh menit, hingga hampir setengah jam, Melissa masih saja meletakkan wajahnya di bahuku. Badanku pun menjadi terasa pegal dan letih karena dalam posisi yang sama sejak tadinya.

"Mel..." bisikku sambil menepuk pelan pundaknya.

Melissa tetap diam tak meresponku.

"Ilernya udah nempel nih." candaku

Melissa langsung cepat-cepat menarik wajahnya dari pundakku, lalu menatapku dengan kesal bercampur malu.

"Jangan nangis lagi ya." ucapku pelan sambil mengusap air matanya.

Melissa pun mengangguk pelan, lalu berkata, "Aku kabur dari rumah habis ditampar sama Papaku Ram. Aku kabur ke rumah temenku yang kamu liat di klub kemarin. Namanya Rara. Dia satu-satunya sahabatku dari sejak SMA dulu."

"Aku masih gak nyangka, kalo dia bakal ngejebak." ucap Melissa dengan sedih.

"Memangnya kalian mau ngapain ketemu sama dua cowok itu?" tanyaku

"Kata Rara, mereka berdua mau coba nawarin kerjaan part time ke aku."

"Hmmmm... mereka tau dari mana kalo kamu butuh kerjaan?" tanyaku bingung.

"Awalnya dua cowok itu tiba-tiba datang ke rumah Rara, dan mereka sih waktu itu ngakunya sebagai temennya Rara. Kebetulan aku pas lagi ada disana. Waktu mereka ngeliat aku, mereka langsung nyapa dan ngenalin diri ke aku."

"Terus?" tanyaku penasaran

"Setelah selesai ngobrol, Rara ngikut pergi keluar bareng mereka. Pulang dari sana, dia langsung nyampein tawaran dari dua cowok itu." ucap Melissa

"Emangnya kamu gak curiga Mel?" tanyaku

"Sebenarnya curiga sih, tapi waktu itu aku lagi butuh banget karena ga punya penghasilan. Aku sadar, kalo aku udah ga bisa bergantung lagi sama keluarga." jawab Melissa

"Jadi, rencana kamu kedepannya gimana Mel?" tanyaku pelan.

"Aku mau nyari kerjaan Ram. Kalo part time gak memungkinkan, mungkin aku bakal berhenti kuliah." balas Melissa dengan lesu.

Mendengar balasan Melissa membuatku tak tega untuk melanjutkan percakapan itu. Karena aku sadar, bahwa dia akan semakin banyak pikiran dan beban jika kulanjutkan.

"Semua barang-barang kamu masih di rumah temen kamu berarti?" tanyaku untuk mengalihkan perhatian.

"Iya Ram, tapi aku juga bingung harus gimana ngehadapin Rara nantinya." ucap Melissa dengan wajah yang penuh konflik.

Aku memegang pundaknya, lalu berkata "Mau gak mau kamu harus hadapin dia Mel. Kamu harus nanya langsung untuk tau penjelasan dia yang sebenarnya."

"...." Melissa terdiam, tampak keraguan dan kekesalan muncul di wajahnya. Aku merasa dia masih tak terima dan percaya akan pengkhianatan yang dilakukan sahabatnya.

"Nanti aku temenin Mel." ucapku pelan.

Dengan wajah menunduk, Melissa pun mengangguk lalu membalas ucapanku, "Makasih Ram."

"Makan gih Mel, jangan sampe kamu sakit." ucapku sambil menyerahkan piring yang berisikan nasi dan lauk.

Sore ini, setelah selesai mandi dan makan, aku dan Melissa pun berangkat pergi ke rumah Rara menggunakan motor yang kupinjam dari salah satu penghuni kostku.

Tak lama kemudian, kami pun sampai didepan rumah Rara yang bisa dibilang berukuran besar. Dari luar saja aku bisa menilai bahwa Rara berasal dari keluarga yang cukup berada.

"Kamu udah siap Mel?" tanyaku sambil melirik Melissa.

Melissa menghela nafasnya dalam-dalam lalu mengangguk pelan kearahku. Melissa pun langsung membuka ponselnya dan mencoba untuk menelpon Rara.

Tapi apadaya, Rara tak kunjung mengangkat telponan dari Melissa. Aku hanya bisa berspekulasi bahwa, antara dia takut menemui Melissa, atau dia sedang tidak ada di rumah saat itu.

Karena telponnya tidak diangkat-angkat juga, akhirnya Melissa pun menyerah dan memutuskan untuk menekan bel dari rumah Rara.

Tak lama kemudian, terdengar suara langkah dari dalam rumah. Saat suara langkah itu menghilang, pintu pun perlahan mulai terbuka.

"Eh, Melissa ternyata, kok kemarin pulangnya gak bareng Rara?." ucap seorang wanita tampak sudah berumur dengan ramah.

"Kemarin pulangnya bareng temen yang lain tante." balas Melissa dengan sopan.

"Kenalin ini temen saya tante, namanya Rama." tambah Melissa

"Saya mamanya Rara." ucapnya tersenyum sambil menjulurkan tangannya ke arahku.

Aku pun spontan langsung menjulurkan tanganku untuk membalas salaman tangannya.

"Oh gitu... masuk dulu yuk." ajak Mama Rara

Aku dan Melissa mengangguk lalu mengikuti mama Rara masuk ke dalam rumahnya. Sesampainya di dalam, kami langsung dipersilakan duduk di sofa, sekaligus menunggu mamanya memanggil Rara untuk turun menemui kami.

Setelah menunggu beberapa menit, Mama Rara turun dari tangga lalu mendekati posisi kami.

"Raranya gamau turun nih, gatau kenapa. Dari tadi tante panggilin, dia gamau jawab." ucap Mama Rara dengan ekspresi bingung.

"Kalo kami yang coba nyamperin dia keatas boleh gak tante?" tanya Melissa

"Boleh kok, naik ke atas aja kalau mau." jawab Mama Rara

"Ok tante, kami permisi naik dulu ya." ucap Melissa dengan sopan.

"Iya." jawab Mama Rara dengan singkat.

Kami berdua pun beranjak dari sofa lalu pergi menaiki tangga dan melangkah menuju pintu kamar Rara. Sesampainya di depan pintu kamar Rara. Melissa mencoba mengetuk pintunya sambil memanggilnya pelan.

"Ra... Kamu ada di dalam kan." ucap Melissa

"Buka pintunya dong Ra. Aku mau ngomong sama kamu."

Tapi tetap tak ada respon dari dalam kamar itu. Melissa pun tetap melanjutkan mengetuk dan berusaha memanggil Rara yang sedang ada di dalam kamar. Sampai akhirnya, Melissa mulai lelah mencoba dengan lembut, lalu dia pun berkata.

"Kalo lo masih nganggap gw temen, buka pintunya sekarang Ra." ucap Melissa dengan tegas.

"Gw hitung sampai tiga, kalo lo masih ga buka pintunya, gw bakal pergi dan gak akan balik kesini lagi." lanjut Melissa.

"Satu..."

"Dua..."

"Ti..."

Tiba-tiba terdengar suara gagang pintu yang ditarik. Pintu pun terbuka. Tampak Rara dengan air mata yang telah mengalir di kedua pipinya. Matanya bengkak, wajahnya pucat, bibirnya tampak bergetar.

"Maaf Mel." ucap Rara dengan sesenggukan.

Tanpa basa-basi, Melissa langsung memeluk Rara yang ada didepannya. Melissa juga menangis sejadi-jadinya. Aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam dari sosok mereka berdua.

Karena tak mau memancing semua perhatian penghuni rumah ini, aku perlahan memegang pundak Melissa sambil berkata.

"Mel, masuk ke dalam dulu ya. Nanti ketauan yang lain loh." bisikku pelan.

Melissa pun setuju dan langsung masuk ke dalam kamar sambil memeluk Rara dengan salah satu lengannya. Sedangkan aku menjadi ragu, apakah harus ikut masuk atau tidak ke dalam kamar itu.

"Aku gimana Mel?" tanyaku canggung sambil menggaruk rambut.

"Masuk aja Ram." jawab Melissa sambil mengusap air matanya.

Rara juga mengangguk pelan, sebagai tanda setuju akan ucapan dari Melissa. Aku pun masuk ke dalam kamar itu dengan canggung, lalu duduk di lantai seraya menjaga jarak.

"Aku pengen penjelasan dari kamu Ra." ucap Melisssa

"...." Rara hanya menunduk diam dan menangis sesenggukan setelah mendengar ucapan dari Melissa.

"Aku pengen kamu jujur Ra, karena aku ga percaya kalo kamu beneran mau ngecelakain aku. Aku udah lama kenal kamu Ra, kamu bukan tipe orang yang jahat sama temen kamu sendiri." lanjut Melissa

Melihat Rara yang tak henti-hentinya berusaha, akhirnya Rara pun mulai berbicara, "Sebenarnya aku terpaksa Mel." ucap Rara pelan dengan suara yang bergetar.

"Kenapa Ra?" tanya Melissa

"Mereka ngancam aku." jawab Rara

"Ngancam apa Ra?" tanya Melissa lagi

"Mereka bakal nyebarin foto dan video aku waktu lagi telanjang, kalau ga lakuin apa kata mereka." jawab Rara sambil menangis.

Bersambung...

Nächstes Kapitel