webnovel

Bukan Siapa-Siapa

Angin sejuk yang berhembus disore itu membuat suasana taman terasa sangat nyaman. Tapi suasana yang kurasakan berbanding terbalik dengan situasi yang kuhadapi saat ini.

"Ram, aku ngerasa kamu mulai berubah." ucap Adellia pelan

"Berubah gimana maksudnya Del?" tanyaku bingung.

"Aku ngerasa kamu berbeda dari saat awal kita pertama kali ketemu Ram. Kamu mulai berubah sejak berurusan dengan ghoib Ram. Kamu yang dulunya selalu berusaha menghindari masalah berubah menjadi kebalikannya Ram." ucap Adel pelan.

Aku diam terhenyak mendengar ucapan Adellia, sebab aku tak menyadari akan semua yang disebutnya. Aku juga tak tahu harus menjawab apa, karena aku takut jawabanku akan memperburuk keadaan nantinya. Aku jadi mulai bertanya-tanya didalam hatiku, Apakah aku benar-benar berubah?.

"Hmmm, terus emangnya kenapa kalau aku berubah Del?" tanyaku pelan.

"Kamu harus bisa kontrol diri kamu Ram. Kalau kamu begini terus, kamu bisa masuk ke jalan yang salah." jawabnya sambil menatapku khawatir.

"Iya Del, aku ngerti kok. Tapi apa aku harus diam aja kalau ada orang yang sengaja mau ngecelakain aku?" tanyaku

"Ya enggak gitu juga Ram." jawab Adel

"Yaudah kalo gitu wajar aja dong kalo aku ngebalas mereka yang gangguin aku." ucapku enteng

"Dari cara kamu ngomong sekarang, nampaknya kamu ga ngerti sama apa yang kumaksud Ram." ucapnya serius

"Terus gimana dong yang bener Del? Apa aku harus diam aja ngeliat orang yang niatnya jahat?" balasku

"Kita berdua bukan hakim Ram, semua orang punya sisi baik dan jahatnya masing-masing. Jadi kita ga berhak menghakimi mereka." jelas Adel

"Terus dukun yang nyerang rumah Riska gimana kabarnya Del?" ucapku membalas pernyataan Adel.

"Aku nyerang dia bukan untuk balas dendam Ram, tapi untuk membuat dia sadar akan perbuatannya. Karena setiap orang punya kesempatan untuk berubah." balas Adel

"Ya konsepnya kan sama aja Del, ujung-ujungnya kamu ngebalas perbuatan dia kan." ucapku tak mau kalah.

"Beda Ram, intinya itu ada di niat. Bedanya kamu nyerang mereka dengan niat sebagai pelampiasan dan ajang balas dendam. Makanya aku bilang kalau kamu itu gak ngerti." ucap Adel dengan ekspresi yang tampak mulai kesal.

"Ya intinya kan diprakteknya sama aja Del. Mau niatnya baik atau jahat, hasilnya kamu tetap nyerang dia." balasku

"Kok kamu jadi keras kepala gini Ram?" ucap Adel dengan nada suara yang mulai meninggi.

"Aku cuma ngejawab doang kok Del. Emangnya salah ya kalau aku ngeluarin pendapatku?" balasku

"Yaudah, kalau kamu emang gak bisa dibilangin. Terserah kamu aja." ucapnya marah lalu pergi meninggalkanku.

Didalam hatiku aku ingin menghentikannya dan meminta maaf. Tapi kenyataannya ego yang ada didalam diriku lebih besar dari rasa bersalahku. Entah kenapa aku merasa tidak nyaman saat Adel menceramahiku seperti itu. Sebab aku tak bisa menerima perkataannya karena aku tak merasa berbuat kesalahan sama sekali.

Matahari mulai terbenam, perlahan-lahan langit berwarna oranye pun mulai berubah menjadi gelap. Aku hanya bisa terdiam, berdiri seorang diri ditaman kampus, menatap langit sambil merenungkan semua perkataan dari Adellia barusan.

Tak lama kemudian, saat langit sudah berubah sepenuhnya gelap. Aku menghela nafas sedalam mungkin, lalu bergegas untuk pergi pulang. Saat diperjalanan pulangpun aku hanya melamun memikirkan semua ucapan Adellia.

Apakah sebaiknya aku meminta maaf ke Adel walau sebenarnya aku tak merasa apa yang kukatakan itu salah?. Semakin kupikirkan, pikiranku malah menjadi semakin kacau. Rasanya aku sangat frustasi dan ingin tidur saja untuk melupakannya.

Sesampainya di kost-an, aku melihat Steven yang sedang berbincang-bincang dengan penghuni kost kami yang lain. Dia menatapku dengan tatapan curiga lalu bergerak mendekatiku.

"Kenapa tuh muka, kok suram amat." ejeknya

"Berisik lo." balasku singkat lalu membuka pintu kamar.

"Eitttt, sini cerita sama papa dulu." ucapnya sambil menyelonong masuk kekamarku.

"Papa pala lu peang, pergi sono, gw mau mandi dulu habis itu langsung bobok." ucapku lesu

"Mau mandi bareng atau gw mandiin nih? hehehe." ejeknya sambil tersenyum mesum.

"Bangke, dasar homo lo. Jauh-jauh sana." ucapku jijik lalu berjalan masuk ke kamar mandi.

"Jangan malu-malu dong. Hahahaha." ejeknya.

Malam itu aku dan Steven berbincang-bincang santai sambil bermain Pro Evolution Soccer alias PES di laptop. Aktivitas itu berhasil mengalihkan pikiranku yang kacau akan kejadian tadi sore.

"Jadi sekarang gimana hubungan lo sama Adel? Lo udah nembak dia belom?" tanya Steven

"Nembak apaan, orang gw cuma temenan doang sama dia." jawabku

"Temenan dari hongkong! orang udah jelas-jelas lo berduaan mulu sama dia." ucap Steven

"Eh, jadi selama ini lo berdua kagak pacaran?" tanyanya dengan ekspresi terkejut.

"Emangnya kalo orang yang selalu berduaan udah pasti pacaran?" tanyaku heran

"Najis dah gw kalo dianggap pacaran sama elo." ucapku bergidik ngeri saat membayangkannya.

"Gila men, ucapan lo yang barusan udah bener-bener ala playboy banget dah." ucap Steven histeris.

"Tapi gw kagak demen batangan juga kali." balas Steven

"Apaan dah, jangan samain gw sama sejenis elo dong." ejekku.

"Tapi kok bisa ya Adel mau berduaan mulu sama elo?" ucapnya bingung.

"Bangke, lo ngomong seakan-akan gw hina banget ven." ucapku

"Bukannya gitu Ram, lo sebenernya gak kalah cakep kok. Tapi masalahnya yang ngejer-ngejer Adel itu bejibun orangnya. Kenapa dia cuma mau deket sama lo doang?" ucapnya sambil mengkernyitkan dahi.

"Ya mana gw tau ven, tanya aja ke orangnya langsung sono." ucapku lalu meminum air digelas.

"Hmmmm, lo udah ngapain aja Ram sama Adel?" tanya Steven tiba-tiba.

"Spppprrrrtttttttt....." Aku menyemburkan air yang baru saja kuminum.

"Hahahaha, ketahuan juga ya lo. Lo berdua udah ngapain aja coba?" ejek Steven

"Emangnya ngapa-ngapain gimana maksud lo?" tanyaku malu

"Yang begini nih..." ucap Steven sambil mematuk-matukkan kedua tangannya. Sebagai simbol orang yang sedang berciuman.

"Gak mungkinlah, emang gila lo ven." balasku spontan

Steven hanya memandangku dengan tatapan curiga sambil tersenyum nyengir layaknya tak percaya dengan jawabanku.

"Napa lo ngeliat-liat gw kayak gitu?" ucapku risih

"Hehehehe, dah ah. Ternyata temen gw udah nakal sekarang hahaha." ucapnya sambil tertawa terbahak-bahak.

"Nih yang namanya nakal..." ucapku kesal sambil mengunci lehernya.

Malam itu berlalu dengan canda dan tawa kami berdua. Setidaknya aku bisa tidur nyenyak dengan melupakan masalah yang kemarin. Walau pada esok harinya aku pasti akan mengingatnya kembali.

Di pagi yang cerah terlihat orang-orang yang sudah sibuk memulai aktivitasnya masing-masing. Begitu juga dengan diriku yang sudah bersiap untuk pergi ke kampus.

Sebelum berangkat ke kampus, aku menunggu Adel didepan kost-annya beberapa saat. Tetapi dia tak juga kunjung muncul, sepertinya dia masih marah denganku, pikirku.

Oleh sebab itu, aku akhirnya pergi ke kampus sendirian, tanpa dirinya. Saat sampai di kampus aku langsung berjalan ke arah ruangan kelasku yang berada di lantai ketiga. Saat aku baru saja menaiki tangga lantai kedua, tiba-tiba langkahku terhenti sejenak.

Sebab tepat di tangga lantai ketiga, aku melihat suatu pemandangan yang berhasil merusak moodku. Disana, aku melihat Adellia sedang bersama dengan seorang pria. Mereka berdua tampak bersenang-senang sambil tertawa dengan riangnya. Baru kali itu aku melihat wajah Adellia sesenang itu saat bersama dengan pria yang lain.

Tak mau berlama-lama berdiri disana, aku langsung bergerak melewati mereka tanpa menoleh sama sekali. Aku langsung memasuki ruangan kelas dan duduk dibangku belakang sendirian. Pikiranku bertambah kacau setelah melihat pemandangan tadi. Sebenarnya aku merasa sangat kesal dan marah, walaupun pada dasarnya aku tak berhak. Akhirnya aku mulai tersadar, bahwa aku bukanlah siapa-siapa bagi Adellia.

Bersambung...

Nächstes Kapitel