Deon terbangun dari tidurnya. Semalaman, dirinya berjaga bersama teman kompleknya. Dan pulang pada saat subuh tadi, ia rasa tidak ada gerak-gerik mencurigakan hari itu.
Pukul 02.00 malam dia baru pulang dan langsung tidur tanpa memikirkan hal lain. Toh, dirinya yakin jika hari ini semuanya baik-baik saja. Terutama adanya para polisi di tempat ini yang menjaganya. Jelas tidak akan menjadi ketakutan dan kekhawatiran kembali bagi mereka.
Rasanya, Deon baru terlelap beberapa menit. Ternyata, jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi. Ia terperanjat karena baru ingat adiknya harus ia antar ke sekolah dan ini jelas sudah telat.
"Lia! Lia! Apa kau tak berangkat sekolah?" teriak Deon yang langsung keluar dari kamarnya setelah bangun dari tidurnya.
Sial! Ia kehilangan Lia. Dimana anak itu? Ia yakin subuh tadi saat pulang adiknya ada di kamarnya sudah terlelap dengan tenang. Kenapa pagi ini tak ada?
Deon yang panik pun langsung mencari Lia ke segala penjuru rumah. Mulai dari kamarnya, kamar Lia, dapur, teras belakang, sampai halaman ia tak melihat sama sekali tanda kehidupan Lia.
"Oh, ya tuhan! Aku kakak yang sangat ceroboh!" rutuknya pada dirinya sendiri.
Dirinya menjambak rambutnya frustasi di depan halaman rumah. Namun, hei tunggu! Ada apa disana? Kenapa rumah Mei tetangganya ramai sekali warga?
Deon yang penasaran pun langsung mendekat ke arah mereka. Deon tak sempat mencuci mukanya terlebih dahulu saking paniknya. Jangan bilang teror ini belum selesai?
Saat Deon baru saja sampai di belakang punggung salah satu warga yang ada disana. Bau anyir langsung menyeruak ke dalam hidungnya. Sial, bau apa ini? Darah?
"Permisi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Deon kepada orang yang ada di hadapannya.
"Deon? Bukannya kau semalam berjaga bersama Tio dan kawan-kawannya?!" kaget orang itu yang Deon kenal dengan nama Nic.
"Iya, memangnya ada apa?" tanya Deon kebingungan.
"Bagaimana bisa kalian tidak tahu ada kejadian ini lagi?!" tukas Nic sedikit emosi. Pasalnya, terlihat disini jika Deon dan yang lain bermain-main saja saat berjaga semalam.
"Tunggu, ada apa sebenarnya?" tanya Deon kesal.
Nic langsung menyeret Deon dan mendorong Deon ke tengah-tengah kerumunan. Mata Deon terbelalak kala melihat Mei dan keluarganya mati mengenaskan.
Sama halnya seperti Saillen dan James. Korban ketiga, ya. Ini adalah korban yang ketiga kalinya. Tapi, tunggu! Semalam ia bahkan tak mendengar apapun. Bahkan para polisi juga berjaga semalaman dan tak ada satu pun yang mencurigakan. Bagaimana bisa? Apakah ini santet? Apakah ada santet yang memenggal kepala korbannya dan menyisakan kepalanya saja di tempat kejadian?
"Bagaimana bisa kalian tak becus menjaga semalaman? Pak Lurah, kami sudah tak mau tinggal disini! Komplek ini sudah tak aman. Bahkan polisi pun tak berguna menyusut masalah ini!" tekan Nic emosi.
"Betul, Pak! Kami akan segera pergi, kami tidak mau jadi sasaran empuk berikutnya!" tukas salah satu warga yang lain.
Deon, Tio, Zio dan Hendra saling bertatapan. Mereka benar-benar bingung dengan keadaan mengerikan ini.
"Deon, semalaman kau bahkan tak berpisah sama sekali denganku. Aku tak yakin kau adalah orang dibalik semua ini," ujar Tio seolah menuduh Deon yang melakukan pembunuhan berantai ini.
"Kau tahu, sejak awal aku tak pernah tahu dan terlibat dalam masalah ini. Aku bahkan hampir gila karena kasus ini," sahut Deon cemas. Ia tak mau dituduh kembali bahkan diusir di komplek ini.
"Apakah kalian pelakunya?" tuding Tio pada Zio dan Hendra.
"Kau gila? Kita bahkan mengobrol dengan para polisi. Untuk apa kami melakukan hal gila ini," ujar Zio kesal.
"Sudah, bukan waktunya saling menuduh. Pembunuh ini benar-benar pintar. Rasanya, baik aku maupun kalian terlalu bodoh untuk memahami teka-tekinya," jawab Deon meleraikan mereka.
"Kami minta maaf atas kelalaian kami semalam, kami bahkan tak mendengar bahkan melihat seseorang masuk ke wilayah komplek ini. Sejauh kami mengamankan, tempat ini tampak damai dan aman. Kami benar-benar tak menyangka kasus ini belum juga terpecahkan," ujar Qei—inspektur polisi itu menjelaskan semua kesalahannya dengan baik.
"Aku yakin pembunuh itu orang komplek ini sendiri. Kau harus membuat tes untuk manusia psikopat seperti itu!" ujar Lim emosi. Namun, tatapannya seolah menuduh Deon adalah dalang dibalik semuanya.
Padahal, Deon sama sekali tak tahu apa-apa sampai pagi ini ia kehilangan Lia. Ah, ya Lia?! Dimana gadis kecil itu?!
"Lia!" sontak Deon langsung berlari mencari Lia.
Bisa-bisanya ia melupakan nyawa adiknya yang sedang dalam ancaman. Semua orang langsung tertuju kepada Deon yang berlari mencari Lia.
"Lihatlah, bukankah dia yang tampak mencurigakan di antara kita semua?" tuduh Lim.
Semua orang setuju, terkecuali Zio, Tio dan Hendra. Mereka benar-benar tak yakin Deon dalang di balik semua pembunuhan mengerikan ini.
- The Silent in Midnight -
"Lia!" teriak Deon mencari-cari keberadaan adiknya.
Anak laki-laki itu terus mencari keberadaan adik kecilnya dan mengelilingi komplek ini yang begitu luas. Ia harap, adiknya baik-baik saja. Ia tak mau kehilangan adiknya.
"Lia!!" teriak Deon lagi.
"Kakak?" tanya seorang gadis kecil di belakang Deon.
Deon merasa kenal dengan suara itu. Ia lantas berbalik, dan melihat siapa suara gadis kecil di belakangnya itu.
"LIA?!" Kaget Deon.
Sontak ia langsung memeluk adiknya dengan erat. Sedangkan Lia sendiri bingung. Apakah kakaknya sedang kerasukan setan sekarang?
"Kakak, kenapa kau memelukku?" tanya Lia sedikit risih.
"Lia, maafkan aku. Aku pikir kau diculik dan semacamnya. Aku benar-benar frustasi karena kehilanganmu. Kau kemana?" tanya Deon cemas.
"Aku sekolah lah, kak! Apalagi? Kakak sendiri yang bilang tadi pagi agar aku berangkat lebih awal karena kau kelelahan," jawab Lia enteng.
"Apakah aku mengatakannya?" tanya Deon tak percaya. Ia benar-benar tak ingat sama sekali jika dirinya mengeluarkan kata-kata tersebut demi tidak mengantar adiknya sekolah.
"Iya. Kakak sudah tua, wajar mudah lupa," sahut Lia.
"Hei! Kau menghinaku?" tanya Deon sedikit kesal.
"Tidak, bukankah itu faktanya?" jawab Lia mengesalkan.
Lia lantas langsung berlari karena Deon sudah kesal kepadanya. Mereka lantas berujung bermain kejar-kejaran. Deon benar-benar khawatir adiknya kenapa-napa. Namun, karena keteledorannya untung saja semuanya baik-baik saja.
"Kena kau!" ujar Deon kemudian menggelitiki Lia sampai anak gadis itu tertawa geli dibuatnya.
"Ahahaha, cukup kak! Baiklah, baiklah. Kau kakak paling tampan!" seru Lia mengalah.
"Nah, bagus kau mengakuinya," jawab Deon senang.
"Tapi, kau bau jigong!!" seru Lia setelah lepas dari pelukan Deon. Ia langsung berlari kabur dari Deon.
"Anak nakal, kemari kau!" sahut Deon.
Ya, mereka melupakan sejenak pikiran berkecamuk mereka dengan seperti ini. Nyatanya, hati mereka benar-benar gundah. Komplek sudah tak aman, kemana mereka akan pergi nantinya?