webnovel

Tanggung Jawab Seorang Bangsawan

***

Kereta kuda yang membawa Evan berhenti tepat di depan gerbang rumah Bangsawan Endeavour. Ia mengenakkan pakaian serba hitam dengan jubah panjang yang hampir menutupi seluruh tubuhnya, langkah Evan terhenti tatkala seorang penjaga gerbang menghalangi jalan masuknya.

"Sepertinya aku mengenalmu. Katakan, siapa namamu?" tanya penjaga tersebut.

Pandangan Evan segera tertuju kepada pria di depannya, beradu tatap selama lima menit hingga mereka mulai mengingat identitas pria tersebut. Mereka teringat akan Putri Bangsawan Endeavour yang pergi ke medan perang membantu tim medis, Aletha.

"Maafkan aku. Aku tidak sempat mengenalmu, Tuan."

"Tidak apa-apa, aku mengerti. Apa Tuan Benedict ada di dalam?" tanya Evan, orang yang ia maksud tak lain adalah Ayah Aletha.

"Iya. Dia ada di dalam. Mari kuantarkan," ucap penjaga tersebut, tetapi Evan menolaknya dengan halus, ia sendiri yang akan bertemu dengannya.

Laurentia sendiri Evan tugaskan untuk berdiam diri di dalam kereta kuda, mempersiapkan hal-hal darurat jika sewaktu-waktu negosiasi antara Evan dan Benedict berakhir buntu.

Salah seorang pelayan datang menghampiri Evan, dari kejauhan pemuda itu terlihat misterius dengan penampilan pakaian yang serba hitam. Pelayan tersebut bertanya tentang urusan Evan ke kediaman ini, Evan segera menjawab dengan perkataan yang sama seperti jawabannya terhadap penjaga gerbang.

Dengan cekatan, wanita itu menuntun Evan untuk masuk melalui pintu samping yang jauh lebih kecil dari pintu depan. Entah kenapa pelayan itu membawanya ke sana, tetapi kecurigaannya terbayarkan karena sedang terjadi pertemuan di ruang tamu, pertemuan penting antara Benedict dengan keluarga kerajaan.

"Bukankah itu Leon?" tanya Evan, lirih.

"Iya, Pangeran Mahkota hendak berbincang tentang kemungkinan perang yang lebih besar."

Evan tersentak mendengar perkataan pelayan tersebut. Segera kedua matanya melirik pelan ke arah wanita di sampingnya, bertanya-tanya tentang maksud yang ia utarakan.

"Apa yang hendak dia cari dengan perang itu?" keluh Evan, semakin kesal.

"Entahlah. Peperangan hanya kan membawa kesedihan dan kehancuran bagi rakyat," ungkap pelayan tersebut, lirih.

Terlihat perbincangan mereka tampaknya akan berakhir dalam waktu dekat. Evan dibawa melangkah menuju salah satu ruangan untuk menunggu selesainya pertemuan mereka. Evan mengangguk dan mengiyakan apa yang pelayan itu katakan.

Terdengar iringan kereta kuda keluar dari garasi rumah Endevour, mereka pergi setelah berpamitan dengan Benedict.

Evan membuka pintu ruang tunggu dan berjalan perlahan masuk ke ruang tengah rumah bangsawan tersebut, pakaiannya yang serba hitam membuat dirinya terlihat seperti perampok rumah, berjalan mengendap-endap tanpa diketahui.

Ia kini sudah berada di dalam ruang tamu tempat pertemuan tadi, duduk di salah satu sofa panjang dan terlihat menyilangkan kedua kakinya rapat. Pintu rumah terbuka, hati Benedict sontak terkejut melihat keberadaan pria berjubah hitam di rumahnya.

"Siapa kau?!" bentak Benedict, menjulurkan tangannya dan terlihat hendak merapalkan mantra tertentu untuk menyerang Evan.

"Maafkan aku karen datang tiba-tiba tanpa seizin darimu," pinta Evan, pelan.

Pemuda itu bangkit dari duduknya, mengangkat kepalanya sejajar dengan Benedict dan menatap kedua mata pria tersebut lekat-lekat. Awalnya Benedict tidak mengenal pemuda tersebut, tetapi ketika Evan mengungkit kembali tentang Aletha. Pria bangsawan itu baru menyadarinya.

"Apa kabar? Bagaimana Aletha di sana?" tanya Benedict, senang seraya menghampiri Evan, ramah.

"Baik. Aku yakin dia juga dalam keadaan baik-baik saja di sana," jelas Evan, bersuara berat dan menerima permintaan jabat tangan dari Benedict.

Mereka berdua duduk bersama di ruang tamu tersebut, mengobrol basa-basi untuk menghangatkan suasana di antara mereka. Keduanya tak lagi merasa canggung, perbincangan tersebut sudah cukup untuk memulai menuju pembahasan yang lebih kompleks.

"Aku melihat Pangeran Mahkota datang ke sini. Apa dia sedang membahas sesuatu?" tanya Evan, penasaran.

"Itu. Kau tahu, penduduk kita semakin banyak dan tersebar di berbagai daerah di kerajaan. Dengan bertambahnya penduduk, maka bertambah juga sumber daya alam yang dibutuhkan," jelas Benedict.

Evan mulai mengetahui tujuan Leon mengadakan perang lebih besar adalah untuk mengeruk sumber daya alam di kerajaan musuh. Ini adalah alasan klasik memulai peperangan di dunianya dulu, padahal mereka memiliki tujuan lain selain sumber daya alam, seperti kejayaan negeri dan pengaruh agama.

"Siapa yang akan menjadi musuh kita selanjutnya?" tanya Evan.

Benedict terdiam, entah kenapa wajahnya terlihat gelisah ketika hendak menjawab pertanyaan mudah Evan.

"Itu ... aku pun tidak yakin akan itu," ucap Benedict.

"Para malaikat?" tanya Evan, menerka.

Kedua mata Benedict menyalang kaget, sebuah senyum tipis terulas di wajah pria bangsawan tersebut. Ia menyadari ambisi Leon memang bagus untuk kejayaan umat manusia, tetapi ia menyayangkan rasionalitas yang dimiliki olehnya. Melawan para malaikat yang memiliki kekuatan jauh melampaui manusia sama saja mengantarkan umat manusia ke tepi jurang kehancuran.

"Mustahil untuk melawan mereka," timpal Benedict, Evan mengangguk pelan.

"Lalu apa yang membuatmu kemari? Apakah ada sesuatu yang hendak kau bicarakan denganku?" tanya Benedict, berniat mengubah topik pembicaran menghindari topik seputar perang.

"Maaf. Bukan maksudku untuk membohongimu, tetapi izinkan aku memperkenalkan diriku terlebih dahulu."

Evan berdiri dari duduknya dan terlihat berlutut di depan Benedict seraya menundukan kepala, ia sadar ia sudah membuat kesalahan menutupi fakta tentang dirinya yang seorang utusan malaikat.

"Aku Evan, buronan kerajaan atas dugaan Utusan Malaikat Jophiel."

Benedict terkesiap, tubuhnya mematung tatkala mendengar penyataan mengejutkan dari Evan. Dalam pikirannya, ingin ia menangkap Evan dan membawa pemuda itu ke ibukota. Namun, ia belum sempat membalas budi karena Evan sudah menyelamatkan putrinya dari bahaya di goa pahlawan.

"Apa kau akan menyerahkan diri setelah mengungkapkan identitasmu?" tanya Benedict, dingin.

"Kupikir sesama kawan aliansi tidak boleh ada kebohongan apa pun."

"Kawan aliansi?" tanya Benedict, bingung.

Evan tersenyum dan segera menunjukan dua buah pedang yang tertutup jubah hitam di punggungnya. Ia memperlihatkan lambang pahlawan yang terpampang jelas di dua pedang tersebut, seseorang berpendidikann tinggi seperti Benedict pasti mengetahui logo apa yang tercetak di pedang Evan.

"Tunggu dulu! Bukankah ini dual pedang milik Pahlawan terdahulu, Maximilian?" tanya Benedict, berniat menyentuh secara langsung pedang tersebut.

"Aku terpilih, dari sekian banyak orang yang mencoba, aku berhasil menyatu dengan kekuatan dari pahlawan sebelumnya."

"Tidak mungkin!"

Benedict secara paksa mencoba mengambil dan mengangkat salah satu pedang yang tersimpan di atas meja. Mengejutkan, dengan kedua tangannya, ia tidak mampu mengangkat satu pun pedang pahlawan tersebut. Hal itu justru mulai meyakinkan dirinya kalau dua benda ini asli, bukan replika.

Pria bangsawan itu terduduk lemas dengan napas yang terengah-engah, mengibaskan kipas yang ia ambil dari saku kemejanya dengan cepat untuk menghilangkan penat yang hinggap di tubuhnya.

Evan mengambil kembali dua pedang tersebut dan menyarungkan tepat di belakang punggungnya. Melihat sesuatu yang mengejutkan mata membuat Benedict cukup bersiaga dengan kehadiran Evan di rumah ini.

"Lalu, apa lagi yang ingin kau katakan?" tanya Benedict, waspada.

"Aku melihat Bangsawan Endeavour memiliki peranan penting dalam hal medis. Aku menyadari itu ketika melihat kemampuan medis Aletha yang mengagumkan."

Evan terdiam seraya kedua matanya terus memandang guci berisikan tanaman tulip putih yang terawat baik. Ia masih cukup ragu untuk mengajak Benedict bergabung dengan kelompok pembebasannya, Kuda putih.

"Aku ingin Bangsawan Endeavour bergabung dalam kelompok pembebasanku, Kuda putih."

"Kelompok pembebasan? Apa itu?" tanya Benedict, penasaran.

Evan menarik napas panjang sebelum menjelaskan secara keseluruhan tujuan utama Kuda putih.

"Kami melihat banyak rakyat menderita akibat peperangan, maka aku berniat menyatukan mereka dan mengakhiri perang panjang ini dengan mengkudeta posisi Raja yang sewenang-wenang."

Benedict terdiam, tak mampu berkata apa-apa saking terkejutnya. Seseorang yang sudah menyelamatkan putrinya, seorang Utusan Malaikat Jophiel dan orang terpilih dari Pahlawan terdahulu Maximilian hendak melakukan sesuatu terhadap kerajaan, sesuatu yang berbahaya untuk dilakukan tetapi menghasilkan perubahan yang besar jika berhasil.

"Memang benar. Rakyat terbawah memang kesulitan belakangan ini, pasokan makanan dan kebutuhan sandang mereka tak terpenuhi karena kebutuhan yang mendesak, perang," jelas Benedict, menyimpulkan melalui sudut pandang pribadinya sendiri.

"Akan tetapi itulah yang harus dilakukan. Ini adalah masa getir dan kita harus lebih mengutamakan kerajaan dan peperangan meskipun rakyat terkecil musti menahan perihnya kelaparan dan kedinginan."

Benedict berdiri dan berjalan menghadap ke arah lemari penghargaan, begitu banyak penghargaan yang diberikan kepada Endeavour atas usaha mereka membantu perang secara signifikan. Tak dapat dipungkiri kalau Bangsawan Endeavour memiliki kewajiban melindungi tahta Raja dari ancaman makar, bahkan ketika mereka memiliki hubungan tidak baik dengan keluarga kerajaan.

"Sepertinya tidak bisa. Aku tidak bisa membiarkan Endeavour berada di sisi yang bersebrangan dengan Liviel. Aku harus menolak ajakanmu tersebut," ucap Benedict, berkesimpulan.

Evan merasa kecewa, orang yang ia percaya ternyata lebih memihak kepada ketidakadilan kerajaan. Ia sadar, Benedict dan keluarganya hidup berkecukupan di tengah perang yang terjadi, sehingga ia tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan rakyat kecil yang begitu tersiksa saat ini.

Evan bangkit dari duduknya dan memandang pantulan wajah Benedict dari lemari penghargaan yang sangat menyilaukan tersebut.

"Terima kasih sudah menjawabnya. Kita akan bertemu di lain waktu sebagai seseorang yang bertentangan."

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts
Nächstes Kapitel