webnovel

Ambisi

***

"Beberapa dari anggotaku masih ada yang belum memercayaimu, Tuan."

Evan berdiri di bibir pantai, menikmati keagungan ciptaan tuhan di hadapannya. Laurentia datang dan memberikan informasi yang sama sekali tidak berguna bagi Evan. Baginya, kepercayaan bukanlah dihasilkan dari rasa kedekatan, melainkan ketakutan dan kekaguman.

"Biarkan. Perlahan berjalannya waktu, mereka akan mengakuiku. Yang terpenting saat ini adalah mengumpulkan orang-orang dan mengajak mereka untuk mewujudkan tujuan kita," jelas Evan, tegas.

"Aku sudah mengirimkan utusan ke masing-masing desa terpencil. Kemungkinan besar mereka akan memberi kabar paling lama minggu depan," ungkap Laurentia, menjelaskan secara detail rencana yang ia susun.

Laurentia segera berdiri berdampingan dengan Evan, memandang wajah pemuda tersebut yang terlihat kuat dan tajam. Ia belum pernah melihat seseorang memiliki ekspresi seperti itu, ia menduga kalau sesuatu terjadi mengubah persepsi dirinya terhadap kerajaan.

"Boleh kutanya satu hal," pinta Laurentia, Evan mengangguk pelan.

"Apa kau memiliki dendam khusus terhadap kerajaan? Karena kupikir melihat kilas balik dari pahlawan sebelumnya saja belum cukup untuk memupuk dendam pada mereka," tanya Laurentia, penasaran.

Mendengar pertanyaannya membuat atensi Evan tertuju ke Laurentia, mereka beradu pandang dalam beberapa menit dan seketika wajah wanita di sampingnya berubah kecut dan ketakutan. Evan menganggap itu hal wajar setelah melihat sikap dinginnya beberapa hari belakang ini.

"Apakah menjadi seorang utusan malaikat adalah kejahatan? Apakah mereka takut dikalahkan kalau aku menjadi salah satu bagian dari musuh manusia?" tanya Evan, Laurentia terdiam bisu.

"Berkat label dan doktrin salah seperti itu membuat orang-orang di sisiku banyak yang terluka. Teman-temanku, muridku, bahkan orang-orang yang berpapasan denganku. Mereka selalu melihatku berbeda layaknya melihat monster dalam tubuh manusia."

Evan berjalan mendekati air laut dan membiarkan ombak menyapu kakinya dengan lembut, hanya alam yang tidak pernah mengecewakannya. Ia selama ini telah salah bertindak, mengharap sesuatu kepada manusia hanya akan menimbulkan kekecewaan di hatinya.

"Stigma ini yang ingin kuubah, sistem busuk ini yang ingin kuperbaiki. Jikalau seluruh negeri harus melawanku, maka aku akan melawan mereka," sambung Evan, yakin diri.

"Itu sesuatu yang besar untuk dilakukan. Apa yang akan kau lakukan setelah menjadi penguasa?" tanya Laurentia, Evan terdiam.

Pemuda itu berjongkok sambil menyentuh air laut dengan tangannya, terasa lembut pasir ikut terbawa dalam genggamannya tersebut. Ketika melihat tenangnya air laut, ia teringat dengan kedamaian sebuah negeri.

"Kedamaian. Jikalau sebuah air terlihat tenang, maka lingkungan di sekitarnya akan aman. Namun, berbeda jika penuh riak dan ombak besar, maka ia bisa menghancurkan segalanya," jelas Evan.

"Kedamaian akan sulit dicapai jika mereka masih mementingkan ego masing-masing," timpal Laurentia.

"Aku tahu itu, karena itulah aku menggunakan label reinkarnasi pahlawan," jawab Evan, berdiri dan berjalan mendekati Laurentia.

Pemuda itu memegang tangah wanita tersebut dan membuka pergelangan tangannya. Ia memberikan sebuah kerang berwarna biru putih kepadanya, membuat wanita itu memiringkan kepalanya, bingung.

"Kita perlu menjaga harapan negeri ini. Para anak-anak, mereka adalah tumpuan kemana negeri ini akan dibawa setelah kita," jelas Evan.

"Karena itulah kau membawa mereka berdua," ungkap Laurentia, Evan mengangguk.

"Mereka akan kulatih hingga sekuat diriku dan akan kuberikan mereka sesuatu yang harus dijaga sekuat tenaga," ungkap Evan, Laurentia mengangguk, sejauh ini ia yakin betul kalau Evan adalah seorang yang tepat menuntun mereka memberikan kebebasan kepada orang-orang yang tertindas.

Dari kejauhan, terdengar sapaan Hiro memanggil Evan, begitu juga dengan Bella yang terus menerus melambaikan tangan. Pemuda itu berjalan meninggalkan Laurentia dan pergi menghampiri kedua muridnya tersebut.

"Aku benar-benar kagum padanya."

***

Lima hari kemudian.

"Lakukan lebih keras!"

Evan terus menerus menangkis serangan tombak yang dilakukan oleh Hiro, meskipun Evan tidak begitu memahami cara menggunakan tombak, tetapi ia pikir gerak langkah dan kekuatan tangan masih sama seperti menggunakan pedang.

Melihat peluang menyerang, Hiro segera mengarahkan ujung tombaknya mengarah kepada wajah Evan. Namun, pria itu segera menahannya menggunakan gagang pedang. Hanya itulah usaha terbaik yang bisa dilakukan Hiro kepada Evan di latihan sore hari tersebut.

Hiro memundurkan langkahnya dan menjatuhkan tombak tersebut di atas pasir pantai. Napasnya terengah dan kedua mata terpejam lelah, Evan datang menghampiri dan membantu remaja itu untuk berdiri.

"Aku sempat terpojok tadi. Gerakanmu semakin efisien," puji Evan, Hiro mengangguk senang seraya menunjukan jari jempolnya kepada Evan.

Di sisi lain, terlihat Bella tengah berusaha merapalkan sihir miliknya. Sihir pohon yang merupakan campuran dari air dan tanah, ia menggunakannya untuk membuat serangan yang efektif kepada sasaran yang dibuat Evan.

Evan berjalan mendekati Bella dan menepuk pundak remaja perempuan itu dengan pelan, "Tenangkan pikiranmu, jangan terburu-buru."

Ketika Evan tengah menasihati murid-muridnya, terdengar lembut suara wanita yang masuk ke rongga telinganya. Ia merasakan suara itu berasal dari lautan lepas yang berada di samping kirinya.

"Kalian berdua beristirahatlah. Kita lanjut esok hari," pinta Evan, Hiro dan Bella mengiyakan tanpa membantah.

Ketika mereka sudah pergi, kini tersisa Evan sendiri di tempat tersebut. Ia segera memandang jauh ke cakrawala dan bersiap menerima pesan yang hendak diberikan entah oleh siapa.

"Apa yang ingin kau katakan?" tanya Evan, muncul dari langit berbarengan dengan cahaya seorang wanita bergaun putih dengan lekuk tubuh ramping dan berwajah cantik, terlihat ia memegang setangkai mawar di tangan kanannya.

Orang-orang mungkin akan terpana melihat kecantikan dan keagungannya. Namun, berbeda dengan Evan. Jophiel tidak lain hanyalah malaikat agung yang sangat ia segani selama ini.

"Aku merindukanmu," ucap Jophiel, lembut.

"Kau sampai turun dari kahyangan hanya untuk mengatakan hal tersebut?"

"Apa aku tidak boleh?" tanya Jophiel, memasang ekspresi sedih.

"Haha tidak apa-apa. Sungguh kehormatan bagiku dirindukan oleh malaikat secantik dirimu."

"Apa tidak ada siapa pun di sana?" tanya Jophiel, Evan memutarkan tubuhnya dan menggelengkan kepala.

Tak lama, Jophiel mulai berjalan di atas air, melangkah anggun menghampiri Evan yang sudah lama tidak bersamanya. Terlihat pemuda itu tumbuh menjadi pria yang kuat dan bijaksana saat ini, terlihat pedang pahlawan terpasang di punggungnya saling bersilangan.

Kini, kaki wanita itu menginjakkan pasir pantai, terasa begitu nyata padahal Evan sadar kalau Jophiel datang dalam bentuk cahaya.

"Bagaimana kabar Gabriel?" tanya Evan, Jophiel tertawa kecil mendengarnya.

"Apa kau lebih merindukannya dibandingkan diriku?" tanya Jophiel.

"Haha ada sesuatu yang ingin kutanyakan kepadanya."

"Soal apa itu?"

Evan terdiam, ia masih memikirkan ucapan Gabriel tempo hari tentang keberpihakan Evan dalam perang besar. Ia memikirkan kemungkinan apakah para malaikat bisa diajak berdamai jika dirinya naik menjadi penguasa.

"Ini tentang ambisiku," ucap Evan, Jophiel kebingungan.

"Ambisimu?"

"Aku ingin mengkudeta posisi Raja saat ini dan menjadi penguasa untuk menghentikan peperangan yang terjadi," jelas Evan, mendengar pemuda tersebut berkata demikian membuat Jophiel tak mampu berucap sepatah kata pun.

Wanita itu tak pernah menduga kalau Evan akan memiliki tujuan seperti itu. Awalnya Jophiel hanya menyangka kalau Evan akan bergabung dengan ras manusia dan berperang di sisi mereka. Namun, kenyataannya justru Evan mengambil jalan lebih gelap dari yang ia duga.

"Jika kau melakukannya, maka label utusan malaikat yang selalu ditakuti dan dibenci akan selamanya melekat di hati masyarakat."

"Aku menyadari hal itu, mereka yang hidup bergelimang harta akan mengatakan demikian. Namun, berbeda dengan rakyat yang tertindas," jelas Evan.

"Ambisimu hanya akan menimbulkan konflik baru di kerajaan. Apa kau sanggup mengatasinya?" tanya Jophiel, memastikan.

Evan terdiam, pikirannya berkecambuk memikirkan akibat dari ambisinya yang kelewat batas.

"Hei, aku tidak ingin kau memikirkannya terlalu dalam. Serahkan kedamaian ini padaku, akan kubujuk Gabriel untuk menghindari peperangan sedini mungkin," ungkap Jophiel, mengusap lembut pipi Evan yang terlihat kebingungan di matanya.

"Aku tidak bisa mengharapkan kedamaian kepada seseorang selain dirimu. Jadi, tolonglah lakukan semuanya olehmu sendiri."

Kini, giliran Jophiel yang terdiam bingung. Di satu sisi, ia memiliki pimpinan malaikat agung, Gabriel, yang memiliki hak menentukan sesuatu. Namun, ia juga tidak bisa mengabaikan keinginan Evan.

"Aku akan memikirkannya. Jaga dirimu baik-baik," pinta Jophiel, seketika cahaya terang mulai bersinar di hadapan Evan dan menghilangkan rupa Jophiel dalam sekejap.

Evan tersenyum kecil. Ia yakin dirinya bisa memercayai Jophiel sepenuhnya. Matahari semakin turun tenggelam dan sudah waktunya bagi Evan kembali ke kediamannya. Ketika hendak berpaling, ia dikejutkan dengan keberadaan Laurentia di belakang punggungnya, tepatnya di tebing yang menjorok ke arah laut.

"Apa kau melihat semuanya?" tanya Evan, datar.

Laurentia mengangguk seraya menatap Evan dengan kuat, "Baru kali ini aku melihat kedekatan seorang malaikat dengan manusia layaknya sepasang kekasih."

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts
Nächstes Kapitel