webnovel

Regenerasi

"Apa yang dikatakannya benar?" gumam Evan, gelisah.

Penginapan di dekat Sungai Dier menjadi pilihan Evan. Harganya cukup murah dan kualitasnya juga tidak terlalu buruk, cukup baginya dan Hiro untuk beristirahat.

Evan masih terpikir dengan ucapan yang tadi ia dengar tentang pernikahan Sophie. Kejadian penangkapan mereka sudah terlampau cukup lama, sekitar sepuluh bulan yang lalu. Ia menyesal dan menyalahkan dirinya karena gagal melindungi Sophie dan inilah hasil dari sikap pengecutnya.

Pemuda itu masih terjaga, berdiri dengan badan tegap seraya memandang ke luar jendela. Jalanan Ibukota masih ramai dan bercahaya, orang-orang masih berkumpul untuk menghabiskan malam dengan orang terkasih.

Evan hanya bisa menghela napas seraya meratapi nasibnya yang tak bisa bersanding dengan Sophie. Ia sadar diri betapa bodohnya memikirkan kalau wanita itu akan membalas cintanya.

"Kenapa kau belum tidur, Kak Evan?" tanya Hiro.

Anak laki-laki itu terbangun karena suara bising dari luar penginapan, mulai dari tawa orang-orang hingga petasan yang menghiasi langit. Evan berbalik badan dan tersenyum membalas pertanyaan lugu Hiro dengan hangat.

"Aku masih belum mengantuk. Kau boleh melanjutkan tidurmu lagi."

"Tidak bisa. Suara di luar penginapan sangat bising membuatku tak bisa tidur tenang," ujar Hiro.

Evan mengangguk, apa yang dikatakan anak itu benar. Sialnya bagi Hiro, malam ini adalah malam perayaan untuk memperingati Pemimpin Agung yang berjasa menjaga kedamaian, sehingga pesta rakyat tidak akan selesai begitu saja.

"Vox Murus!"

Evan membuka telapak tangannya dan seketika muncul sihir berbentuk bundar yang semakin membesar detik ke detik. Sihir itu membesar hingga menembus tubuh Evan dan Hiro untuk membentuk penghalang di ruangan tersebut, penghalang yang ia maksud adalah suara bising dari luar.

"Kenapa aku tidak mendengar apapun dari luar? Kenapa sunyi sekali?" tanya Hiro.

"Aku membuat sihir penghalang suara dengan elemen suara, sehingga tidurmu tidak akan terganggu lagi."

Mata Hiro berbinar, memandang kagum dengan bulat sempurna kepada Evan. Anak laki-laki itu tidak pernah menduga kalau sihir bisa dibuat semudah dan seberfungsi itu.

Ia hanya tahu kalau sihir kebanyakan digunakan untuk penyembuhan dan pertarungan, sehingga ia tidak terlalu tertarik. Namun, melihat Evan melakukan sesuatu yang menakjubkan membuat persepsinya tentang sihir berubah drastis.

"Apa kau bisa mengajarkanku sihir?" tanya Hiro.

Evan terdiam dengan tetap menatap Hiro, ekspresinya sama seperti dirinya ketika pertama berhasil menggunakan sihir di dunia ini. Anak laki-laki yang lugu dan ambisius itu tak menyerah, melihat sikap diam Evan membuat Hiro bertekad untuk meyakinkan pemuda tersebut.

"Aku akan belajar dengan baik dan menggunakan ilmu yang kau berikan untuk membantu orang-orang."

"Itu tidak semudah kau pikirkan," balas Evan.

"Aku pasti bisa melakukannya. Kau percaya padaku, kan?" tanya Hiro, memastikan.

Evan mengangguk, di sisi lain, mengajarkan sihir kepada Hiro bisa berubah menjadi malapetaka jika keteguhan hatinya berubah akibat suatu hal yang mengusik perasaannya, terlebih dia masihlah anak remaja berusia tiga belas tahun.

"Ilmu sihir harus diiringi dengan ketenangan hati. Satu pedang hanya mampu membunuh satu orang, berbeda dengan sihir yang bisa membunuh banyak orang."

"Satu keputusan yang salah bisa membawakan kehancuran dalam hidupmu," sambung Evan.

Pemuda itu menjelaskan dengan rinci akibat dari penggunaan sihir bagi seseorang. Ia tidak menampik kalau sihir memang baik dan sangat membantu pekerjaan manusia. Namun, di balik kebaikan itu, terdapat keburukan jika si pengguna sihir tidak mampu menjaga emosi hatinya.

"Apa kau yakin akan menanggung tanggung jawab itu?" tanya Evan, tegas.

Hiro terdiam, apa yang dikatakan Evan dipikirkan baik-baik olehnya. Pemuda itu kemudian berjalan dengan pelan menuju pintu keluar, berencana meninggalkan Hiro untuk memikirkan sejenak konsekuensi yang ia jelaskan.

"Aku tidak membutuhkan jawabannya sekarang. Pikirkanlah setelah kita mulai berlatih."

Evan membuka pintu keluar dan pergi meninggalkan Hiro dengan ekspresi datar, ia hendak mendinginkan kepalanya yang hampir emosi karena pikiran yang bercampur aduk, antara keinginan Hiro dengan keadaan hatinya yang tersakiti.

***

Evan sudah mempersiapkan barang-barangnya untuk pergi dari penginapan tersebut. Hiro belum memberikan jawaban dari pertanyaan semalam, tampaknya ia masih menimbang baik dan buruk dari belajar sihir untuknya.

"Teman-temanmu akan datang hari ini, kan?" tanya Evan, Hiro mengangguk pelan.

Mereka rupanya sudah menunggu di gerbang selatan Ibukota Liviel. Tiga anak-anak dengan umur yang lebih tua dari Evan, Julius adalah anak laki-laki tertua di antara mereka.

"Perkenalkan dia Julius, Bella, dan Mira. Kami berasal dari panti yang sama," ujar Hiro, memperkenalkan sahabat yang sudah menjadi keluarga baginya kepada Evan.

Perpaduan yang cukup untuk memulai petualangan, dua perempuan dan dua laki-laki. Mereka berpakaian terbaik untuk menunjukan sikap dan kesungguhan mereka.

Bella mengenakan pakaian gaun putih dengan tongkat sihir berukuran sekitar 30cm, sedangkan Mira menggunakan setelan sederhana dengan busur yang tergenggam dan panah yang tergendong.

Julius menjadi yang berbeda, dia mengenakkan zirah ringan di setiap sendi tubuhnya dan tak lupa menggunakan zirah rantai untuk mencegah tusukan.

Sekilas, mereka seperti sudah siap untuk melakukan petualangan. Sepertinya tugas Evan akan jauh lebih mudah dari yang dipikirkan.

"Aku akan menguji kekompakkan kalian sebagai sebuah tim."

Evan mengajak keempat orang tersebut untuk mengunjungi hutan, terutama di sebuah daerah stepa yang cukup luas. Mereka menemukannya seletah tiga jam perjalanan dari gerbang selatan Ibukota, tempat yang cocok untuk menguji kemampuan mereka semua.

Pemuda itu meletakkan ransel miliknya, menyuruh keempat orang itu untuk bersiap. Hiro dan teman-temannya berdiskusi dengan penuh keseriusan, anak laki-laki itu sendiri yang memimpin diskusi.

Evan berlutut dan meletakan satu tangannya di atas tanah, "Imaginem Ferrum!"

Tiba-tiba bentuk tanah berubah menjadi sebuah pedang sesuai dengan pikiran Evan, keempat orang itu terkejut dan tentu kagum dengan kemampuan Evan.

Pemuda itu mengangkat pedangnya dan tampillah pedang berwarna cokelat yang sepenuhnya terbuat dari tanah, "Apa kalian sudah siap?"

"Bagaimana kami mengalahkannya?" tanya Mira.

"Aku akan mengalahkannya dengan satu kali tebasan angin," balas Julius, bersemangat.

"Berhati-hatilah, kau seringkali ceroboh ketika melakukan penyerangan," timpal Bella, Julius mengangkat jempolnya dengan percaya diri.

Berbeda dengan Evan, mereka semua menggunakan senjata asli dan kemampuan terbaiknya. Ini akan menjadi pertarungan sengit antara mereka dengan Evan.

Pertarungan dimulai.

Mira melakukan serangan awal, dua panah melesat berbarengan menyasar kepala Evan. Namun, pemuda itu bisa membacanya dan menangkap panah itu dengan tangan kirinya. Mira sama sekali tidak kesal karena itu hanyalah sebuah pengalihan perhatian.

Julius berlari dengan langkah kuat berhadapan satu lawan satu dengan Evan, kedua tangannya memegang pedang besi seraya mengayunkan dengan arah yang kacau untuk melukai wajah Evan.

Gerakkannya terbaca dengan mudah, Evan menangkis satu persatu ayunan pedang Julius hingga membuat anak itu kesal.

Ketika beradu pedang, Mira secara diam-diam kembali mengarahkan panahnya melambung tinggi untuk menargetkan kepala Evan, cukup riskan karena terdapat Julius di depannya.

Evan tidak menemukan keberadaan Hiro. Tanpa diduga, anak laki-laki itu sudah berlari memutar dan kini tepat berada di belakang Evan, melemparkan sebuah besi tajam seperti jarum seperti halnya Evan saat memperingati penjaga toko.

Tiga serangan dari berbagai arah, depan, atas, dan belakang. Kekompakkan mereka sudah cukup kuat terjalin dan ini sungguh membuat Evan puas. Ia hanya perlu mempoles satu persatu dari mereka untuk bisa melakukan serangan dengan efisien.

"Sampai memojokanku dengan tiga serangan? Apa kalian pasukan khusus?" tanya Evan sembari memuji.

Saatnya bagi Evan membalas, tetapi ketika hendak menghindar, kaki-kakinya terjerat oleh kemampuan sihir unik, yaitu elemen pohon, elemen gabungan dari air dan tanah.

"Kau pengguna elemen gabungan, Bella?" teriak Evan, kaget.

Jarak semakin menipis dan tampaknya Evan perlu melakukan sesuatu yang "wah" di hadapan keempat orang tersebut.

"Corpus Ignis: Solus!"

Elemen api dari tubuh Evan keluar dan membakar dahan-dahan yang mengikat kakinya oleh Bella, akhirnya kaki Evan terbebas dari jeratan. Panah Mira semakin mendekat dan mengarah ke kepalanya, Evan langsung mengangkat tangan kirinya dan membuka telapak tangannya lebar-lebar.

"Angu Ventus!"

Muncul elemen angin yang memayungi kepala Evan hingga panah itu menabrak dan memantul ke arah yang acak, untungnya tidak mengarah ke empat orang tersebut.

Kini, ancaman terakhir berasal dari Hiro. Jarum besi itu mulai mendekat di belakang punggung Evan. Ia memilih untuk tidak menangkisnya tetapi menghindarinya.

"Amplifi Elementum!" Pedang tanah yang dipegang Hiro bersinar terang, dengan kekuatannya mampu membelah pedang tipis milik Julis hingga membuat anak laki-laki itu terkejut.

Ketika berhasil membelah pedang Julius, Evan segera mencengkeram zirah anak itu dan menariknya ke samping untuk menghindar dari serangan Hiro, sedangkan Evan berjongkok untuk menghindarinya.

Besi itu melesat melewati keduanya dan sesuatu yang gawat terjadi, arah mereka tertuju kepada Mira dan entah kenapa melaju lebih cepat dari sebelumnya. Mira ketakutan dan terdiam membeku melihat tatapan orang-orang mengarah padanya, Evan segera meletakkan kedua tangannya di atas tanah.

"Terra Pila!"

Tanah di bawah Mira segera membungkus anak perempuan itu dan melindunginya dari serangan Hiro. Melihat laju jarum yang cepat membuat Evan menambah elemen di bola tersebut.

"Terra Pila: Petra Elementum!"

Tanah yang membentuk bola mulai terlapisi dengan bebatuan kuat yang mampu menahan serangan dari Hiro. Benar saja, jarum itu terjatuh setelah membentur bola batu yang Evan buat, alhasil pertarungan mereka berakhir dengan seri.

Evan mengangkat tangannya dan meruntuhkan sihir yang melindungi Mira, perempuan itu masih syok setelah mengalami hal yang baru dalam hidupnya. Bella yang khawatir segera menghampiri perempuan tersebut.

"Bagaimana kau bisa sekuat ini?" tanya Julius, kagum.

Evan membantu Julius berdiri, Hiro datang menghampiri dengan rasa bersalah karena hampir melukai temannya sendiri.

"Karena aku punya tujuan dan tujuan itu mengharuskanku untuk menjadi kuat," ucap Evan.

Hiro masih murung dan tertunduk malu, Mira datang dan membentak Hiro karena sudah mau membunuhnya.

Evan tidak melerai pertengkaran mereka, ia berpikir kalau kekompakkan akan lebih terjalin erat jika terdapat kesalahan di masing-masing orang, sehingga tidak akan muncul sikap egois satu sama lain.

"Maafkan aku." Hiro menundukan kepalanya di hadapan semua orang, termasuk Evan yang menjadi target pembunuhannya.

"Aku tidak percaya ini! Aku hampir tewas karena kecerobohanmu," erang Mira, kesal.

Evan memegang pundak Hiro dan tersenyum simpul kepadanya, mungkin inilah yang ia maksud sebagai hal yang tak terduga yang diakibatkan oleh perasaan yang tak terkontrol.

"Kita akan beristirahat di kota terdekat, berkemaslah."

Like it ? Add to library!

Rafaiir_creators' thoughts
Nächstes Kapitel