webnovel

Tujuan Erol

***

"Mundurlah," pinta Erol, tegas.

Kondisi dari ketua kelompok zirah terlihat cukup kerepotan. Zirah kebesaran yang ia kenakan sudah rusak karena hantaman dari gada besar milik ogre mutan tersebut.

"Aku tidak bisa. Dia akan membawa masalah bau ke petualang lain," ungkap pria ketua kelompok tersebut.

Erol mengeluarkan pedang panjang dari sarungnya, memasang kuda-kuda kaki yang kuat agar tak terpental oleh ayunan gada mutan tersebut.

"Ampilifi Elementum!"

Seketika bilah pedang Erol mulai bercahaya warna biru laut, pria di sebelahnya terkagum-kagum karena belum pernah ia melihat warna penguatan elemen sampai seperti itu.

"Kau memang pemuda yang menarik," puji pria tersebut.

"Aku akan menargetkan gada besar itu, kau serang tubuhnya dengan kekuatanmu," tegas Erol.

Sudut mata pemuda itu meruncing dengan tatapan tajam mencoba mengintimidasi ogre di depannya. Dengan kedua tangannya, Erol berlari menghampiri ogre besar tersebut dan mulai mengayunkan pedang dengan menyamping.

Teriakan melengking terdengar dari mulut ogre, suara yang mampu menggetarkan dinding dan atap goa hingga batu-batu kecil berjatuhan.

"HYAAA!"

Tubrukan pedang dan gada tak terelakan, biasanya pedang akan kalah dengan kekuatan gada, tetapi kini berbeda terbalik. Gada itu terbelah dengan mudahnya layaknya Erol tengah memotong wortel; pria ketua kelompok zirah tak habis pikir dengan kekuatan yang dimiliki Erol.

"Giliranmu!" teriak Erol, berlutut lemas dengan bertumpu pada pedang yang ia gunakan.

Langkah berat dan kuat dari pria ketua kelompok zirah terdengar meyakinkan. Pedang besar yang ia genggam terayun ke segala arah untuk mencabik-cabik tubuh ogre hingga ke potongan terkecil.

Teriakan pria itu jauh lebih keras dan kencang dari teriakan kesakitan ogre, Erol tersenyum puas, akhirnya ia bisa menyelesaikannya dengan mudah.

Tebasan terakhir memotong tubuh Ogre menjadi dua bagian, hingga jasadnya tergeletak lemas di atas tanah dengan darah merah tua yang berceceran membanjiri tempat tersebut.

Pria ketua kelompok zirah berjalan mendekati ogre tersebut dan dengan mengejutkan membelah dada kiri makhluk tersebut. Tangannya merogoh sesuatu di dalam tubuh monster itu dan terangkat sebuah jantung berukuran lebih besar dari telapak tangan orang dewasa.

"A-Apa yang akan kau lakukan dengan benda itu?" tanya Erol, kebingungan dan takut.

"Harganya sangat mahal di pasaran. Apa kau ingin memilikinya?" tanya pria.

Erol menggelengkan kepala, bau busuk dari ogre saja sudah membuatnya mual, apalagi membawa organ dalam makhluk itu bersamanya. Sebagai gantinya, pria itu memberikan Erol sebuah peta hasil pemetaan kelompoknya.

"Dengan kekuatanmu. Aku yakin, kau pasti bisa mencapai titik terdalam goa ini. Konon katanya, pahlawan terakhir di dunia ini meninggalkan artefaknya di sana," ungkap pria tersebut, menunjuk peta yang tergulung yang kini berada di tangan Erol.

"Entahlah, aku tidak bisa bertahan lebih lama jika tidak memiliki perbekalan yang cukup," ungkap Erol, ia menerima peta dari pria tersebut tetapi mempertimbangkan untuk melakukan penjelajahan saat itu juga.

Ketua kelompok itu turun dari tubuh ogre seraya memegang jantung yang masih berlumuran darah. Pria itu menyeretnya untuk dibawa keluar dari tempat tersebut, Erol berjalan menemaninya.

Kelompok zirah dan Aletha menunggu cemas di luar goa, berharap agar Erol dan ketua kelompok zirah selamat dari ogre tersebut. Apa yang mereka harapkan terkabul, dari kedalaman goa, terlihat Erol dan ketua kelompok zirah berjalan beriringan.

"Apa kau baik-baik saja?" tanya Aletha, mendekati Erol.

"Aku baik-baik saja, mungkin dia yang lebih butuh pertolongan," ujar Erol.

Aletha segera menawarkan bantuannya dan mulai menyembuhkan luka yang pria itu dapatkan dari pertarungannya. Seluruh orang di tempat itu terkejut bukan main tatkala melihat jantung ogre berada di genggaman pria ketua kelompok tersebut.

"Kau berhasil mengalahkannya?" tanya Aletha, kaget.

"Iya. Dia mengalahkannya dengan mudah, aku pun terkesima melihatnya," timpal Erol, ia tidak ingin pria itu mengatakan tentang kemampuannya.

Semua orang langsung memuji pria tersebut, mengagung-agungkan hingga berniat mengadakan pesta setelah dari tempat ini. Erol tidak memiliki tujuan lain, ia benar-benar buta akan langkah selanjutnya yang harus ia lakukan.

"Erol," sapa Aletha, Erol membalikan tubuhnya dan memandang dengan seksama wanita tersebut.

"Ada apa?" tanya Erol.

"Sebagai ucapan terima kasih karena sudah menolongku, apa kau tidak keberatan untuk menghabiskan makan malam bersama keluargaku?" tanya Aletha.

Semua pria yang berada di tempat itu iri, mereka memimpikan untuk makan malam bersama Aletha, seorang putri bangsawan di Kerajaan Liviel.

Erol langsung mengiyakan ajakan Aletha, mengingat ia juga tidak memiliki rencana lain setelah ini. Mungkin dengan bertemu keluarga Aletha, ia mendapatkan rencana baru tentang tujuannya di dunia ini.

***

Malam hari pun tiba.

Erol datang ke alamat rumah Aletha, berada di pusat Kota Ilfheim , kota kelahiran pahlawan. Ia masih berdiri di depan gerbang rumah Aletha yang terlihat dijaga oleh dua orang.

"Apa kau butuh sesuatu?" tanya salah satu penjaga.

"Iya. Aku diundang untuk menghadiri makan malam oleh Aletha. Apa kau bisa memanggilnya kemari?" tanya Erol, salah satu penjaga membukakan pintu dan memeriksa Erol dengan seksama.

Lirikan matanya tajam dan sinis, pria itu berpikir kalau Erol pasti berbohong tentang jamuan makan malam tersebut. Alhasil, penjaga itu langsung mengusir Erol dengan kasar.

"Kami tidak menerima seseorang dengan penampilan sepertimu. Apa kau tidak mandi dulu sebelum datang kemari?" tanya penjaga, mencela Erol dengan percaya diri.

"Kalau begitu apa kalian memiliki pakaian untuk kugunakan?" tanya Erol, mengejek.

"Sialan!" Pria itu mengeluarkan pedang dari sarungnya dan menempelkan ujung bilah pedang tersebut di leher Erol, "Kuperingatkan padamu! Pergilah dan jangan pernah kembali."

Tiba-tiba suara wanita dari belakang gerbang mengejutkan kedua orang tersebut, mereka meneriaki untuk berhenti mengusir Erol. Dia adalah Aletha, penampilannya jauh berbeda dibandingkan ketika berada di dalam dungeon.

Raut penjaga berubah takut. Ia segera menyarungkan pedangnya dan membantu Erol untuk berdiri. Pria itu bersikap ramah dan lembut pada Erol ketika Aletha datang, padahal sebelumnya ia menunjukan sikap yang tak bersahabat pada pemuda tersebut.

"Aku sudah menunggumu, kukira kau tidak datang," ungkap Aletha, memegang kedua tangan erol membuat pemuda itu kikuk.

"Aku datang sesuai dengan ajakanmu," jelas Erol, Aletha tersenyum seraya menarik tangan pemuda itu untuk berjalan masuk bersamanya.

Tatapan sinis terus ditunjukan para penjaga gerbang, mereka tidak suka kalau Erol mendapatkan perhatian lebih dari Aletha. Mereka berpikir, pemuda lusuh sepertinya tidak berhak menginjakkan kakinya di rumah besar bangsawan Endevour

Pintu terbuka, terlihat semua penghuni rumah memusatkan atensi mereka kepada Aletha yang berjalan bersama seorang pemuda yang sebelumnya sudah diceritakan Aletha.

Terdapat lima orang yang duduk di atas kursi meja makan, tiga orang dewasa dan dua anak-anak. Seorang pria bangkit dan berjalan menghampiri Aletha.

"Selamat datang di rumah sederhana kami. Apa kau pemuda yang sudah menyelamatan putriku?" tanya pria tua tersebut, berpostur tinggi, mengenakkan kaca mata bulat dan berpenampilan mewah seperti jas di jaman ini.

"I-Iya. Maafkan aku mengganggu makan malammu," balas Erol, menyapa seraya meminta maaf.

Ayah Aletha hanya tertawa lantang dan mengajak Erol untuk duduk bersama dalam satu meja makan. Aletha tersenyum lebar, ia senang bisa mengajak Erol untuk akrab dengan keluarganya.

Meskipun sikap Ayah Aletha begitu baik dan ramah, tetapi tidak bagi Ibu dan Kakak laki-laki Aletha. Bibir mereka melengkung senyum tetapi tatapan mereka tidak demikian, Erol menyadari kalau mereka tidak suka dengan kedatangannya.

"Ceritakan pada kami, bagaimana kau bisa menyelamatkan putriku?" tanya Ayah Aletha, antusias.

Erol mulai menjelaskan mulai dari awal ia masuk goa hingga berakhir dengan terbunuhnya ogre mutan. Semuanya mendengar dengan seksama, kedua anak-anak yang duduk di depan Erol tak mampu menyembunyikan kekaguman mereka.

"Dan lagi, dia bisa menggunakan sihir pendeteksi," ungkap Aletha, berdiri seraya bertumpu kedua tangannya di atas meja.

"Pendeteksi?" tanya Ayah Aletha, kaget.

"Aku hanya menguatkan indra pendengaranku untuk melacak siapa saja orang yang berada di sekitarku," jelas Erol merendah.

"Tidak, tidak sesingkat itu. Sangat jarang orang mampu memiliki kemampuan pendeteksi," jelas Ayah Aletha, berbicara terus terang.

Ketika keduanya tengah mengobrol dan berdiskusi, seorang penjaga datang memberitahu Ayah Aletha kalau dia kedatangan tamu penting.

Ayah Aletha berpamitan karena dia harus menjamu tamu tersebut di ruang kerjanya. Kini, hanya tersisa Ibu, Kakak laki-laki, dan dua adik kecil Aletha. Erol melanjutkan makan malamnya karena tidak ada yang hendak mereka bahas padanya.

Singkat waktu, Aletha dan Erol menghabiskan waktunya di taman luar rumah Aletha dan bermain-main dengan kucing persia peliharaan Aletha.

"Kau mengurusnya dengan baik," puji Erol seraya mengelus bulu kucing yang berada di pangkuannya, Aletha tersenyum dengan rona merah terlukis di pipinya.

"Dalam tiga hari ke depan, aku dan kelompokku akan kembali masuk ke goa. Apa kau akan ikut?" tanya Aletha, penuh harap.

"Entahlah, ada sesuatu yang harus kulakukan."

"Apa boleh aku tahu apa itu?" tanya Aletha.

Pertanyaannya membuat perhatian Erol kini tertuju kepada Aletha. Ia baru teringat akan Altair dan Sophie yang ditangkap istana, dengan kekuatannya, ia harus pergi ke Ibukota untuk membebaskan kedua orang tersebut.

"Itu tidak bisa aku—"

"Aletha!" panggil Ayah Aletha, berjalan mendekat dari pintu rumah menuju keduanya.

"Ada apa, Ayah?" tanya Aletha.

Ayah Aletha memandangi wajah Aletha dengan lekat-lekat, ia juga ikut memandang Erol dengan ekspresi serupa.

"Kau akan pergi ke medan perang untuk memimpin pasukan medis," jelas Ayah Aletha, perkataannya membuat wanita itu terkejut.

"Medan perang? Tapi kenapa harus Aletha?" tanya Aletha.

Ia tidak ingin pergi ke tempat yang jauh dari kota ini, jaraknya hampir setara satu minggu perjalanan. Tentu saja hal itu akan membuat Aletha keletihan sebelum sampai di medan perang.

"Hanya kau seorang pengguna sihir penyembuhan level A di keluarga kita. Lakukanlah demi nama baik Bangsawan Endevour," jelas Ayah Aletha.

Setelah memikir cukup lama, akhirnya Aletha setuju untuk pergi meskipun dengan raut wajah sedih. Ayah Aletha tidak bisa berbuat banyak, ia juga sama tertekannya dengan Aletha.

"Sebelum pergi ke medan perang, kau akan pergi ke Ibukota terlebih dahulu. Pasukanmu menunggu di sana," jelas Ayah Aletha, mendengarnya memberikan Erol ide.

"Apakah aku bisa ikut dalam perjalananmu?" tanya Erol, kepada Aletha dan ayahnya.

"Kau juga akan ikut ke medan perang?" tanya Ayah Aletha, memastikan.

"Terlalu dini untukku pergi ke sana, tetapi ada sesuatu yang kubutuhkan di Ibukota. Aku akan menjaga Aletha selama di perjalanan," jelas Erol.

Kini, giliran Ayah Aletha yang berpikir lama. Ia memang baru mengenalnya dan terlihat Erol bukan seseorang yang berbahaya. Namun, ia tetap harus waspada mengingat Aletha adalah harta paling berharga milik Endeavour.

"Baiklah. Aku akan mengizinkanmu pergi bersamanya."

Nächstes Kapitel