Setumpuk berkas ada di atas meja. Rumi menatapnya dengan penuh ketidakpercayaan. Hatinya dibelenggu dengan banyak perasaan yang tak wajar. Harapannya seakan punah ketika membaca semua rekam jejak yang ditinggalkan oleh kedua orangtuanya. Mr. Tonny benar, di sini Rumi bisa menemukan semua jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selama ini bergelut di dalam kepalanya.
Memang benar, semuanya akan membuat Rumi tak bisa berbohong dan berkata bahwa dia baik-baik saja sekarang ini. Rasanya terombang-ambing. Ke sana kemari, tidak ada tujuan yang jelas. Rumi tak tahu, apa dan bagian mana yang harus ia percayai sekarang. Ia bukan saksi dari semua yang terjadi di masa lalu.
"Seperti yang aku katakan, Rumi." Mr. Tonny berucap. Diliriknya gadis cantik yang duduk di atas kursi rotan, memandangi tumpukan dokumen yang baru saja ia baca. Mata Rumi tak bisa berbohong, hatinya pasti terluka. "Orang tuamu adalah pembunuh."
Rumi diam, bisu. Toh juga, tak ada yang bisa ia katakan sekarang.
Pria jangkung itu datang, membawa secangkir teh yang dia seduh di sudut ruangan. Meletakkan itu di atas meja. "Bayaran untuk teh yang kau berikan waktu itu," ucapnya. Kembali Rumi mengabaikan itu. "Mafia atau Hawtorn tidak pernah berhutang pada siapapun, Rumi. Teh dibayar dengan teh."
"Sebenarnya apa yang kalian lakukan?" Rumi menguatkan hatinya saat ini. Percaya saja, gadis itu sedang menyimpan banyak air mata di dalam sana. Pedih sudah dirasa, tetapi ia masih keras kepala untuk tidak menangis. "Apa yang kalian lakukan dengan semua bangunan, jabatan, dan orang-orang yang ada di sini?"
Mr. Tonny terkekeh. Rumi nampak terkejut selepas ia membawanya masuk ke ruang utama kendali Hawtorn. Orang-orang yang bekerja di bawah gedung, menatapnya dengan aneh. Mr. Tonny tak pernah mengumumkan kedatangan Rumi pada semua anak buahnya.
"Aku melihat mereka berjalan dengan membawa senjata di kantung celananya. Aku melihat penjara kosong di lorong sisi ruangan ini. Kenapa kalian mirip seperti kumpulan penjajah?" Rumi semakin kokoh mengerutkan keningnya. Ia bahkan tak bisa mengekspresikan semua yang ada di sini.
"Kau sedang duduk di atas kursi tempat ayahmu dieksekusi mati," ujarnya tiba-tiba. "Dia duduk di atas sana saat kepalanya dipenggal karena pengkhianatan."
Hatinya hancur berkeping-keping. Pria ini benar-benar sudah gila.
Mr. Tonny menyalakan layar proyektor besar di depannya. Ia duduk di atas kursi sofa yang biasa digunakan untuk mengawasi semuanya dari ruangan ini.
Rumi mengerutkan dahinya saat tahu ruangan mana yang sedang diawasi oleh Mr. Tonny. "Itu rumahku?" Gadis itu melirih. Ia bangkit dari tempat duduknya. Berjalan mendekati Mr. Tonny. "Kenapa kau mengawasi tempat tinggalku dan sejak kapan kau memasang semua kamera itu?"
Mr. Tonny diam. Ia menatap Rumi dengan santai, meskipun gadis itu sedang menggebu-gebu. Tak terima jika privasinya dilanggar seperti ini.
"Duduklah. Sudah aku katakan jika aku tak suka melihat orang berdiri di depanku padahal aku ingin berbicara banyak padanya." Mr. Tonny kembali melirik kursi rotan yang ada jauh di depan sana. "Duduklah, Rumi. Aku akan menjelaskan semuanya."
Rumi menghela napasnya panjang. Gadis itu kembali duduk di tempatnya. Miris rasanya, perasaan Rumi seakan dibawa terbang ke sana dan kemari.
"Aku yakin kau bukan gadis yang bodoh. Semua catatan kematian dan penyebabnya ada di dalam berkas yang aku berikan padamu." Mr. Tonny menyilangkan kakinya dengan rapi. Ia tersenyum pada Rumi. "Semua anak buah dan anjing peliharaanku selalu mendapat identitas baru sini. Mulai dari tanggal mereka bergabung hingga tanggal dan penyebab kematian mereka. Tak ada yang dipalsukan, Rumi. Jika berkas itu berwarna merah, maka itu artinya mereka mati dengan cara yang tidak terhormat." Mr. Tonny bangkit dari tempat duduknya. "Kau ingin melihat sesuatu yang lebih menakjubkan dari berkas berisi tulisan catatan hidup kedua orang tuamu?"
Rumi mengerutkan keningnya. "Kau ingin menunjukkan mayat mereka yang diawetkan?" tanyanya sembari tertawa menghina.
"Kau pandai rupanya. Follow me," sahut Mr. Tonny. Kalimat itu membuat Rumi membuka matanya lebar-lebar.
"Kau benar-benar mengawetkan mereka?"
Mr. Tonny terhenti. Menoleh pada Rumi yang kembali memberi sorot mata penuh dengan kebencian. "Kau akan segera tahu."
••• Big Man Season 1 •••
Pria ini adalah psikopat gila! Itulah yang terbesit di dalam benak Rumi tatkala melihat semua yang ada di depannya. Jasad manusia tanpa busana diawetkan di dalam sebuah akuarium besar. Di sisi akuarium tertulis nama dan tanggal kematiannya. Bulu kuduk gadis itu berdiri tatkala matanya menyorot ke sudut ruangan. Sebuah jasad lengkap dengan pakaian jas berdiri menggantung di atas sana. Menempati singgasana yang paling agung. Jika Rumi tak salah duga, pria tua itu pastilah pemimpin atau pendiri organisasi gila itu.
"Tak ada yang ingin kau sampaikan?" Mr. Tonny yang berdiri di depan Rumi nampak begitu tenang selepas hampir saja menjatuhkan mental gadis di depannya itu "Aku terbuka atas semua pertanyaan."
Rumi memalingkan wajahnya. Kepalanya menggeleng-geleng dengan samar. Dia mengenal orang yang salah, membuatnya datang ke tempat yang aneh seperti ini. Siapa pernah menduga? Di sisi padatnya Kota Jakarta, terdapat tempat yang begitu menyeramkan. Jauh lebih menyeramkan dari tempat penjagalan babi atau sapi.
"Di mana orang tuaku?" tanyanya pada akhirnya.
"Ikuti aku," ucapnya menjawab. Mr. Tonny kembali melangkah. Masuk ke dalam sebuah pintu kecil, yang mengharuskan dirinya sedikit merunduk, tetapi tidak untuk Rumi. Gadis itu tak terlalu tinggi. Ia bisa masuk dengan mudah tanpa mengurangi ketinggiannya.
Masuklah mereka di sebuah tempat yang tak kalah anehnya. Mungkin ini adalah kelanjutan dari tempat sebelumnya.
"Ini adalah penjara arwah," ucapnya tiba-tiba. Rumi hampir saja tertawa. Baru saja Mr. Tonny mengubah genre cerita di sini. "Kenapa menatapku begitu?" tanya pria itu kala melirik ke arah Rumi.
"Lanjutkan," pungkasnya.
Mr. Tonny menunjuk ke arah sudut ruangan, di sisi tangga naik, ada sebuah akuarium besar. Tentunya adalah tempat penyimpan jasad manusia. Rumi berdigik ngeri. Inilah jasad ayahnya. Tubuh dengan kepala yang terpisah.
"Itu adalah ayahmu." Mr. Tonny menunjukkan. "Kau boleh datang mendekat. Wajah ayahmu sekilas mirip denganmu."
"Bagaimana aku bisa mendekatinya?" Rumi melirih. Membuat Mr. Tonny menatapnya. "Benar-benar menyakitkan melihat ayah kandung kita berdiri tanpa kepala di depan kita meksipun kita tak tahu kesalahan apa yang sudah dia perbuat dulunya."
"Dia membunuh ketiga istriku dan putraku." Mr. Tonny menyahut. Perkataan yang keluar dari celah bibirnya menarik fokus Rumi untuk datang. "Aku dulu punya seorang putra yang tampan, suatu hari aku mendengar kabar bahwa dia dan ibunya dibunuh di ladang pinggir desa. Lalu aku menyelidikinya dan tak mendapatkan apapun saat itu, Rumi." Mr. Tonny menoleh. "Sebelum akhirnya aku tahu pembunuh berantai yang melakukan hal yang sama pada kedua istriku selanjutnya adalah orang yang sama. Yaitu ayahmu."
... Bersambung ...