webnovel

BMU 14

Felix tengah berada di toko buku demi menenangkan pikirannya yang saat ini tengah penuh dengan masalah bagaimana ia akan menghadapi masa depannya. Sementara itu, sang ayah tengah berada di kantornya untuk bekerja.

Saat ini terlihat jelas dari raut wajah sang ayah bahwa ia tengah banyak pikiran dimana saat ini ia tidak bisa fokus untuk mengerjakan pekerjaannya. Selama berada di kantor, pikirannya saat ini hanya tertuju pada sang anak yang telah memberitahunya mengenai keinginan bagaimana sang anak akan menjalani kehidupannya.

Padahal saat ini ia mempunyai jadwal rapat yang akan dimulai sebentar lagi dan ia masih tampak tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya pada Felix anaknya karena ia sudah membentak anaknya itu. Ia hilang kendali pada dirinya saat itu. Ia sedikit menyesali perlakuannya yang di luar kendalinya.

Sampai dimana waktu rapat telah tiba, tapi pikirannya tidak berada di sana. Ia masih memikirkan anaknya dan hanya sesekali menanggapi perkataan dari rekan bisnisnya yang sedang menyampaikan persentasenya.

Seiring dengan berjalannya waktu, rapat berjalan dengan lancar sesuai dengan yang diprediksi bahwa ayah dari satu anak itu begitu pintar dalam melakukan pekerjaannya sekalipun pikirannya tidak berada di sana sepenuhnya.

Jadi, tidak heran bagi mereka yang menjalin kerjasama dengannya dimana mereka mengetahui bagaimana sistem kerja ayah dari satu anak itu.

---

Malam pun tiba, ia bersiap untuk mengemas barang-barangnya dan bermaksud untul langsung pulang ke rumah. Di tengah perjalanan, ia memikirkan apa yang akan ia katakan pada anaknya itu. Ternyata, tidak hanya Felix saja yang bingung untuk mengatakan isi hatinya, nampaknya Ayahnya pun begitu.

Kriet~

Pintu rumah pun terbuka, tiba lah kedua ayah dan anak ini untuk memulai pembicaraan mereka yang tertunda. Keheningan melanda mereka sampai sang ayah memulai lebih dahulu pembicaraannya.

"Nampaknya kau belum tidur, Felix. Apa ada lagi yang ingin kau bicarakan dengan Ayah? Apa saat ini pun kau belum berubah pikiran dengan pilihanmu itu?" Ayahnya memulai dengan kalimat yang langsung menuju ke topik tanpa harus ada kata basa-basi.

"Ayah, Felix sudah memikirkannya berulang kali. Felix memikirkan kemungkinan-kemungkinan apa saja yang akan terjadi jika memilih jurusan lain. Nampaknya jurusan lain bukanlah 'tempat' untuk Felix, Yah. Jika Felix memaksa untuk memilih selain ini, Felix hanya akan terjebak dengan ketidakpastian. Felix tidak ingin hal itu terjadi." Sahut anaknya dengan nada sedikit takut dalam menyampaikan isi hatinya.

"Ayah hanya ingin yang terbaik buatmu, nak. Ayah ingin anak ayah mendapat pendidikan terbaik, jurusan terbaik dan kuliah di Universitas terbaik juga. Bukankah semua orang tua mengharapkan hal baik terjadi pada kehidupan anaknya? Ayah pun begitu, Felix.

Di satu sisi Ayah juga ingin kehidupanmu layak di masa depan. Jangan seperti ayah sewaktu masih muda dulu. Ayah tidak seberuntung dirimu, nak." Ayahnya menambahkan kalimatnya untuk Felix.

"Felix mengerti, Yah. Felix juga tahu kalau Ayah adalah orang tua terbaik untuk Felix. Tapi Yah, Felix juga ingin memilih jalan hidup Felix sendiri. Bukan berarti Felix tidak bersyukur atau tidak berterima kasih dengan kehidupan saat ini, Felix hanya ingin menjalani hari Felix dengan damai dengan memilih jurusan ini, Yah." Sahut anaknya dengan nada yang masih sopan dan sedikit membujuk.

Kedua Ayah dan anak ini tampak saling membalas perkataan satu sama lain. Mereka nampaknya sama-sama tidak ingin mengalah dengan pilihan mereka. Di satu sisi, ada Anak yang menginginkan kehidupan damai dengan memilih masa depan sesuai keinginannya. Di sisi lain, ada seorang Ayah yang menginginkan hal terbaik untuk anaknya. Keduanya memiliki alasan mereka sendiri yang sulit untuk dipatahkan.

"Nak, jika nanti kamu sudah terjun di dunia kerja barulah kamu akan mengerti dengan perkataan ayah sekarang. Ayah tidak mungkin menjerumuskanmu ke dalam kehidupan yang salah, nak. Lihat Ayah, lihat mata ayah. Ayah sayang padamu, jika nanti kamu merasa kesulitan dengan pilihanmu, ayah tidak bisa berbuat apa-apa.

Tapi, jika kau memilih jalan yang sudah ayah pilih, ayah masih bisa membantumu karena ayah mengerti di bidang itu." Ayahnya menepuk pundak anaknya seraya mengatakan hal yang membuat Felix bingung.

"Apa maksud dari ucapan Ayah itu? Apa Ayah akan menyerah dengan Felix? Apa Ayah setuju dengan pilihan Felix untuk Kuliah di jurusan Tata Boga yang Felix pilih? Katakan Yah, tolong katakan." Felix yang bingung pun bertanya pada Ayahnya mengenai ucapan Ayahnya tadi.

"Maksud dari perkataan ayah adalah ayah menentangnya sampai akhir. Jika itu pilihanmu, silahkan masuklah ke jurusan itu. Tapi, satu hal yang ingin ayah tegaskan padamu. Ayah tidak akan membiayai pendidikanmu jika kau tetap bersikeras ingin mengambil kuliah dengan jurusan itu. Jika kau memilih jurusan Manajemen sesuai pilihan ayah, barulah kita akan anggap pembicaraan ini tidak pernah terjadi." Ucap Ayahnya dengan tegas tetap pada pendiriannya yang menolak semua alasan dan semua perkataan dari anaknya.

"Tunggu dulu, Yah. Felix baru lulus sekolah menengah. Dari mana Felix mendapat uang untuk membiayai kuliah Felix? Apa Ayah ingin melihat anak Ayah ini tidak bisa kuliah? Apa itu yang Ayah inginkan? Jangan seperti ini, Yah. Felix belum mampu untuk itu." Felix nampak begitu sedih setelah mendengar perkataan Ayahnya itu.

Felix tidak percaya dengan apa yang Ayahnya katakan.  Bagaimana mungkin seorang Ayah yang sebelumnya berkata ingin yang terbaik untuk anaknya tiba-tiba saha berubah dengan sekejap. Bagaimana mungkin Ayahnya tidak ingin membiayai pendidikan anaknya sendiri hanya karena pilihan anaknya tidak sesuai dengan pilihannya.

Apakah harus dengan cara itu? Ayahnya terlalu egois dalam hal ini!

"Tidak ada penjelasan apa-apa lagi dari Ayah. Sekali ayah bilang tidak, maka sampai akhir tetaplah tidak. Silahkan berusaha bagaimana pun caranya, bekerja atau apapun itu untuk mendapatkan uang. Jika sampai akhir pilihanmu tetap sama, maka Ayah pun akan begitu. Tidak ada keringanan dari Ayah." Ayahnya tidak ada sedikitpun niat untuk merubah keputusannya.

Ia nampaknya sungguh-sungguh dengan apa yang ia ucapkan. Bahkan seorang anak pun tidak bisa merubah keputusan yang telah Ayahnya buat. Entah keras kepala ataukah tegas, keduanya tampak sama di mata Felix.

Felix yang mendengar ucapan ayahnya yang begitu kejam, mulai menitikkan air matanya. Ia tidak ingin kehilangan masa depannya, tapi ia juga belum mampu untuk membiayai hidupnya sendiri. Ia begitu bingung dengan apa yang akan terjadi pada dirinya nanti.

"Ayah, jangan seperti ini. Felix minta maaf jika perkataan Felix menyinggung Ayah sebelumnya. Felix mengaku salah jika memang itu melukai perasaaan Ayah. Tapi, Yah.. tolong beri Felix sedikit keringanan. Setidaknya sedikit untuk pendidikan Felix. Felix tidak mungkin bisa hidup jika tanpa Ayah. Maka dari itu, Yah..

Hiks.. tolong jangan buat anakmu menderita. Masa depan anakmu ini masih panjang, yah." Felix tidak mampu menyembunyikan air matanya lagi di hadapan Ayahnya. Ia nampak begitu sedih dengan keputusan ayahnya.

Ayahnya yang melihat anaknya sampai memohon seperti itu membuatnya sedikit melunak. Ia merubah keputusannya di akhir, tapi tidak banyak.

"Sudah, jangan menangis. Kau laki-laki, bukan perempuan. Jangan sedikit-sedikit menangis seperti ini. Bagaimana nantinya kau akan hidup jika terus seperti ini?

Ayah tetap dengan keputusan ayah. Uang pendidikan tetap tidak akan ayah bantu. Silahkan kau usahakan sendiri bagaimana itu caranya. Tapi, untuk uang jajanmu masih akan Ayah tanggung karena ayah masih bertanggung jawab padamu. Terserah padamu untuk menabung uang itu atau bagaimana. Lagipula itu tidak terlalu banyak.

Ayah ingin melihat bagaimana kau akan hidup dengan pilihanmu. Silahkan, ayah tidak akan ikut campur lagi. Cuma itu yang bisa ayah katakan. Tidurlah, ini sudah larut. Pembicaraan ini selesai sampai disini." Ayahnya menyelesaikan kalimat panjangnya saat itu sekaligus menjadi keputusan akhir yang ia buat untuk anaknya dan saat itu juga sang ayah meninggalkan sang anak yang masih berdiam diri di sana.

Felix merenung sejenak dan mulai beranjak dari sana menuju kamarnya sambil menyeka air mata yang sudah menetes di pipinya. Sementara Ayahnya, nampak masih berpikir apakah keputusannya benar ataukah tidak.

Tampaknya mereka akan melalui malam yang berat dengan hati yang terus bergejolak dengan perbincangan mereka sebelumnya. Memikirkan apakah keputusan yang mereka ambil benar atau tidak.

Nächstes Kapitel