Masyayel mendengarkan itu semua dengan seksama, meskipun berulang kali ia menyeka air matanya, ia tetap meminta paman Elliot untuk melanjutkan kisah nyata itu.
Dengan aba-aba yang sama, tiga algojo siap mengayunkan golok besar yang tampak mengkilat bagai benda yang haus darah. Tanpa membutuhkan waktu yang lama. Terjadilah itu semua, melayanglah tiga nyawa orang yang berpengaruh dan paling berkuasa di Negeri seberang itu.
Darah kental dan merah menyala mengalir deras dari urat leher mereka yang dipaksa terpisah. Mereka ambruk seketika tiada ampun. Pemilik Negeri dan kerajaan Serafin yang telah kollabs karena serangan besar-besaran untuk menggempur Negara itu telah kandas, tumbang tak bernyawa dan jiwa-jiwa mereka terbang ke Nirwana. menyaksikan raga yang tak berdaya dan mengenaskan di hadapan jiwa jiwa mereka sendiri.
Masyayel menangis tersedu-sedu mendengar semua penjelasan itu. Semua seakan nyata terjadi di depan matanya. wajah-wajah orang yang begitu dicintainya. Kini telah melayang dan tak lagi bisa menyentuh mereka.
Pangeran Shem telah menyiapkan tehnik serangan yang sudah diasahnya berhari-hari, ia tahu ia bisa menghentikannya! Pemberontakan kecil dari Negara koloninya, jika Negara kecil itu masih membangkang, dia dibuat kacau dan tidak akan selamat karena pasti dibuat tumbang. Shem tahu bagaimana cara mengatasi mereka semua, dia beserta ayah dan para prajuritnya. Shem memposisikan dirinya jauh didepan para prajuritnya itu. Ia juga saking yakinnya tak perlu membawa panglima perang yang tangguh kepercayaannya itu, Abraham. Dia hanya membawa senjata pedang dan tameng perangnya saja, tak lupa jubah kesayangan_Jubah kebanggaan Sadrach.
Jauh di depan sana sudah ada ribuan prajurit yang siap menyerang, beberapa kerajaan kecil tergabung dalam satu serangan. Mereka meminta dibebaskan dan diberi kemerdekaan untuk memimpin kerajaannya sendiri tanpa harus menjadi budak Sadrach atau hanya berstatus kerajaan koloni kecil, memang dari awal mereka direbut kekuasaannya oleh Sadrach, namun dibalik itu, ternyata mereka menyusun rencana dan merangkul kerajaan-kerajaan senasib lainnya.
Tampak berderet-deret serempak menggunakan jubah perang mengagumkan mata. Prajurit siap perang yang tersisa ini telah disiapkan fisik dan mentalnya oleh panglima dan Jenderal-jenderal terkemuka nan pemberani yang siap mati demi melindungi Negeri dan kerajaan mereka, meskipun bukan Kerajaan besar, namun semua yakin, meskipun pimpinan dan panglima yang paling tangkas itu bagi mereka (Negara koloni) mengenai jumlah, persenjataan, peralatan perang sangatlah tidak memadahi dan tidak berimbang dengan Sadrach. Jumlah dan keadaan yang tidak berimbang ini sungguh tidak menjadikan jiwa pemimpin-pemimpin dan prajuritnya itu tumbang, bahkan semakin berkobar di medan perang, untuk menuntut sebuah kemerdekaan dari naungan Negeri Sadrach.
Tiga hari sudah kedua kubu telah berusaha membicarakan secara baik-baik dan secara kekeluargaan, namun tidak menemukan jalan keluar atau titik temu. Keduanya memiliki perbedaan kemauan. Negeri koloni tetap pada pendiriannya ingin merdeka dan tak mau hidup dalam aturan Sadrach. Sedangkan Raja Sadrach tetap teguh tidak ingin melepaskan koloninya satupun. Akhirnya tercetuslah sebuah peperangan ini, yang kalah harus menuruti permintaan yang memenangkan peperangan.
"LAWAN SUDAH MULAI TAMPAK DARI KEJAUHAN!" teriak salah seorang prajurit yang bertugas mengawasi dari jarak jauh.
Shem memejamkan mata mencoba menembus kekuatannya, dia menyatukan tenaga dalam dengan alam di sekitarnya, pedang tajam dengan kemilaunya itu ia hunuskan, pedang yang telah menumpahkan darah berliter-liter selama ini yang selalu menemaninya berperang di penjuru bumi.
Tetiba saja suara gemuruh angin mulai terdengar dari segala arah, seakan menyaksikan)9 dan turut serta dalam peperangan ini nanti. Shem dan Ayahandanya tampak sangat siap untuk berperang. Mereka menggenggam kepercayaan diri yang kuat bahwa kemenangan akan ada dalam gendongan Negeri adidaya ini.
Peperangan itu seakan tampak dari langit adalah seperti sebuah butiran debu yang berhamburan, berjalan saling melawan arah lalu bertubrukan dengan dahsyatnya. Pedang-pedang tajam telah dihunuskan, diayunkan, ditancapkan. Mereka dari dua kubu yang berbeda, saling menyerang dengan kekuatan yang maksimal yang mereka miliki.
Terjun dalam peperangan tidak hanya berbicara soal aksi heroik. Jauh lebih dari itu, kekuasaan jadi pilar yang mendorong seseorang untuk turun langsung ke medan perang. Sejak pangeran Shem mengenal perang pertamanya, ia tahu bahwa banyak keterlibatan anak raja yang bersedia mengorbankan nyawa di medan perang. Bukan semata-mata untuk kekuasaan namun juga kemakmuran rakyat dan Negerinya.
Cucuran darah dikorbankan untuk mewujudkan Kerajaan yang semakin melebarkan sayap dan melebarkan wilayahnya. Tak sedikit Pangeran tampan yang ikut berperang di Kerajaan-kerajaan lainnya juga. Jadi bukan perkara tampan maka mereka lantas segan dan takut maju ke medan perang. Mereka harus siap kalah atau menang meskipun sebagai seorang Putra mahkota kesayangan dan bahkan semata wayang seperti dirinya, kekeliruan sedikit saja bisa menghilangkan nyawanya dan bahkan menghilangkan masa depan Kerajaannya dalam sebuah peperangan, namun itu semua tidak menyurutkan niatnya untuk tetap berperang dan menghunuskan pedangnya di mana pun berada ketika melihat pemberontakan.
kini semua penjuru dari ujung barat ke timur, selatan ke utara ... semua sedang berseteru dan saling serang, para prajurit Sadrach maupun prajurit lawan mulai merasakan keganjilan karena Sadrach memang selama ini terkenal tak terkalahkan, sedangkan Kerajaan-kerajaan lawan adalah hanya koloni dan selama ini memang dibawah naungan kerajaan Sadrach. Mereka mencoba menggandeng sesama Kerajaan yang senasib untuk meminta melepaskan diri dari Sadrach. Mereka merasa dijajah walaupun Sadrach merasa sudah memakmurkan mereka dan mengayomi rakyat mereka.
Mereka mulai lelah, mereka mulai terpojok. Tehnik peperangan yang meskipun satu lawan satu dengan prajurit, tetap mereka kalah jumlah. Ayunan pedang dan tameng saling bergantian menyerang dan menangkis, darah-darah juga sudah banyak yang tumpah ruah meskipun bisa dikatakan ini hanyalah peperangan kecil dari sang anak Kerajaan kepada Bapaknya bagi Sadrach. Tapi Sadrach memang terkenal tidak memberikan toleransi kepada semua penghianat, perang ini dianggap sebuah penghianatan dari Kerajaan kecil yang selama Sadrach ayomi dan selama masa kepemimpinan Raja Theophylus tidak pernah melakukan pemberontakan.
Meskipun mereka telah melakukan gabungan dengan Kerajaan-kerajaan lain, tetap tidak sebanding dengan kekuatan Kerajaan Sadrach.
Shem menghajar salah satu Raja, pemimpin mereka dengan pedangnya, begitu juga raja Theophylus_ayahnya, juga menghadapi raja lainnya. Mereka berperang dengan bengis dan gesit, saling bersemangat ingin menumpahkan darah lawan lebih dulu.
Mereka harus memilih siapa diantara mereka berdua yang akan mati, dan siapa yang akan hidup? Tentu Sadrach berharap menang dan dapat melumpuhkan lagi kerajaan-kerajaan koloni yang memberontak ini. Menghukum para pemimpin dan dalang pemberontakan ini serta tetap memerintah mereka dengan adil jika rakyat dan prajuritnya telah tunduk setelah pemimpin-pemimpin mereka kalah.
Arena peperangan ini sangat gelap diselimuti oleh kemarahan dan dendam serta rasa sakit hati dari kedua belah pihak.