webnovel

RAHASIA

Siang itu, Kartika menurut saja saat Sundari mengajaknya untuk ke Cicadas. Mereka akan membuat foto untuk KTP Kartika. Sebenarnya, di dekat daerah Saritem banyak studio foto. Tapi, kebetulan Sundari ada keperluan di daerah Cicadas. Sehingga, Sundari memutuskan untuk membawa Kartika ke studio foto yang ada di daerah Cicadas.

Sebenarnya, Kartika enggan karena dari Cicadas ke rumah Ibunya cukup dekat. Rumah Kartika berada di daerah Jatihandap, dekat ke terminal Cicaheum Bandung. Rata-rata, rumah kawan sekolah Kartika pun ada di seputaran daerah Cicaheum. Jadi, Kartika merasa sedikit cemas dan was-was. Ia takut apabila harus bertemu dengan kawan-kawannya. Apalagi jika mereka memakinya seperti yang dilakukan oleh Rengganis kemarin.

Setelah selesai foto, Sundari mengajak Kartika membeli beberapa potong pakaian dan juga sepatu di Matahari Department store yang memang ada di daerah Cicadas.

"Ini buat siapa, Bu?" tanya Kartika.

"Buatmu..."

"Tapi..."

"Sudah, bawa saja, tidak usah berkata apapun. Ingat perjanjian kita, di luar kau adalah anak angkatku. Jadi, aku boleh membelikan apa saja untuk anakku.".

Kartika tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya menuruti kemana Sundari mengajaknya.

"Kamu suka makan bakso?" tanya Sundari.

"Suka, bu."

"Ya sudah, nanti kita makan bakso rudal di Padasuka saja. Di dekat Saung Udjo ada bakso yang enak. Kita naik taksi saja dari sini."

Kartika sebenarnya ingin sekali menolak. Bagaimana mungkin ia tidak tau daerah Padasuka. Dulu, jika Ceppy memiliki uang, biasanya dia akan memberikan bakso untuk Kartika. Ya, almarhum Ceppy memang sangat menyayanginya. Dulu, apapun yang Kartika inginkan, Ceppy selalu berusaha untuk memberikan.

"Bu, rumah saya di daerah Jatihandap," kata Kartika tiba-tiba.

"Iya,Ibu tau. Mami Sania yang memberitahu Ibu."

Tiba-tiba saja perasaan Kartika tidak enak. Ia melihat Sundari begitu tenang. Ia menepuk bahu Kartika dengan lembut.

"Maafkan Ibu, sebenarnya urusan yang Ibu maksud itu adalah bertemu dengan Ibumu. Ibu ingin melihat seperti apa wanita yang sudah menyia-nyiakan putrinya."

"Tapi, Bu..."

"Apa kau takut?"

"Iya,Bu. Aku merasa sedikit takut dengan perkataan tetangga dan juga Ibuku."

"Kita akan menghadapinya bersama-sama, Kartika. Jika dia berani menyentuhmu sedikit saja, maka aku akan bertindak. Jadi, kau tidak perlu khawatir."

Kartika hanya menghela napas panjang. Untuk menuju ke rumah Kartika, biasanya harus menggunakan jasa tukang ojek. Karena jalanannya sedikit menanjak. Tapi, dulu, Kartika biasa berjalan kaki, atau di antar oleh Ceppy.

Tiba di gang kecil menuju ke rumahnya,taksi pun berhenti.

"Yang mana rumahmu?" tanya Sundari saat mereka sudah turun dari taksi.

"Tunggu di sini saja, Pak. Saya hanya sebentar untuk berkunjung," kata Sundari kepada supir taksi. Dengan langkah perlahan sedikit ragu, Kartika melangkah masuk ke gang menuju ke rumahnya.

Dan, beberapa pasang mata menatapnya. Sampai saat ia melewati rumah bu Aminah. Wanita setengah baya itu sedang menyapu halaman rumahnya yang cukup luas. Dan, saat melihat Kartika ia langsung melemparkan sapu dan menyongsong Kartika.

"Ya Allah, Kartika...!"

Aminah segera berlari dan memeluk Kartika dengan erat.

"Kau dari mana saja, Nak? Berbulan-bulan kau pergi tanpa ada kabar berita. Kau ke mana saja?" tanya Aminah.

"Dia bekerja di rumah saya, Bu. Kenalkan, saya Sundari."

Sundari langsung menyapa Aminah dengan ramah. Aminah menatap Sundari dengan tatapan penuh selidik.

"Sebagai pembantu? Kartika ini masih bersekolah, seharusnya dia dibiarkan tetap tinggal di sini."

"Maaf, Bu. Kartika bekerja untuk merawat saya. Saya sedang sakit kemarin, jadi Kartika bekerja di rumah saya untuk merawat saya. Dan, saat ini saya sudah mulai membaik. Jadi, saya mengajak Kartika untuk pulang sebentar menemui Ibunya. Permisi, Bu. Kami ditunggu taksi di depan sana. Jadi, kami pamit," kata Sundari.

"Ibu Kartika baru saja pulang, dia pasti ada di rumah. Biasanya dia kembali kemari lagi sore nanti. Pulanglah dulu, nak."

Kartika pun langsung membungkuk dan memberi hormat pada Aminah kemudian dia dan Sundari pun meneruskan langkahnya menuju ke rumahnya. Dan, saat ia memasuki pagar, tepat saat sang Ibu membuka pintu rumah.

Sulastri berdiri terpaku di tempatnya. Ia menatap Kartika tajam, entah apa yang sedang ia pikirkan.

"Mau apa kau pulang?" tanya Sulastri .

"Bukan dia yang mengajak kemari. Tapi, aku yang mengajaknya pulang kemari. Apa kami tidak boleh masuk? Atau kau mau aku membeberkan aibmu di sini?" kata Sundari dengan tegas.

Sulastri menghembuskan napas panjang. Namun, ia pun berbalik dan melangkah masuk. Tanpa menunggu lagi, Sundari menarik tangan Kartika dan mengajaknya masuk.

"Mau apa kalian?" Kau orang suruhan Sania?" tanya Sulastri.

"Aku orang kepercayaan Sania. Tapi, aku kemari hanya ingin tau mengapa kau begitu tega menjual anakmu sendiri pada Sania."

Sulastri menghela napas panjang. Ia tampak menerawang sesaat sebelum ia bercerita.

**

Siang itu, Sulastri baru saja pulang bekerja dari rumah Aminah saat beberapa orang preman mengacak- acak rumahnya. Sementara Kartika dan Agung tampak ketakutan dan saling berpelukan di halaman rumah mereka.

"Heeh, aya naon! Kalian siapa?!" hardik Sulastri.

"Kami di suruh bos nagih utang sama Cecep! Kamu istrinya Ceppy alias Cecep kan?!"

"Yang punya utang udah mati! Tuh, kuburannya baru seminggu. Kalian pergi jangan datang lagi kesini. Saya nggak ada urusan!"

"Enak aja, nih liat surat rumah kalian ada di tangan kami. Ini ada surat perjanjiannya juga, kamu mau kami bawa dan kami seret ke kantor polisi?!" bentak seorang preman yang bertubuh paling besar.

Sulastri menelan salivanya. Ia terkejut melihat sertifikat asli rumah yang sudah berpindah tangan itu. Tubuhnya lemas seketika.

"Be-berapa hutangnya?" tanya Sulastri.

"Hutangnya 30 juta. Sama bunganya jadi 45 juta."

"Banyak sekali itu bunganya?!"

"Heh, suami kamu itu udah nunggak 6 bulan lebih. Jadi, wajar bos kasi bunga tinggi sesuai perjanjian!"

Sulastri terdiam, dalam hati ia merasa kesan bukan main. Sulastri tidak menyangka bahwa suaminya akan meminjam uang dalam jumlah banyak pada rentenir. Sulastri mencoba mengingat- ingat kapan terakhir Ceppy memiliki uang banyak. Dan, tatapan matanya berubah tajam pada sang anak.

"Ini gara- gara bayar uang sekolah kamu sama beli motor, ya kan?!" hardik Sulastri pada Kartika. Kartika terdiam, ia ingat almarhum memang sedikit terlambat membayar tunggakan uang pangkal masuk SMU nya dan juga spp nya selama beberapa bulan.

"I- iya, bu. Tapi, waktu itu kan, bapak beli motor itu buat ngojek, trus kalau nggak salah sisa uangnya dikasi ke ibu kan?"

"Sial! Memang kamu sama bapak kamu itu sama aja! Ngapain sekolah tinggi, ujungnya juga paling jadi SPG!"

"Heh, nggak usah ribut! Kalian jadinya kapan mau bayar?!"

"Sa- saya minta waktu bang, saya pasti lunasi semuanya," jawab Sulastri.

"3 hari lagi kita balik lagi ke sini!"

***

"Jadi, itulah sebabnya aku menjual anakku ini pada Sania. Demi melunasi hutang!Dan lagi, asal tau saja dia ini bukan anak kandung saya ! Jadi ... saya tidak pernah merasa bersalah sudah menjualnya!"

Nächstes Kapitel