Semua yang sedang menyibukkan diri di belakang dapur maupun di luar rumah sebuah kesempatan untuk menjelma menjadi orang tampan di kampung tersebut dimulai, ia yang juga berdandan setengah perempuan untuk tranformasinya nanti mencoba menyusup di atas pohon.
Randu yang meninggalkan tempat itu mencoba menggunakan ajiannya tak sedikit berfungsi, ia mencoba berpikir berulang kali untuk menjalankan aksinya.
"Nah itu ada perempuan hamil, mantap."
Dirinya yang terus memantau kiri kanan telah mencoba di pohon hingga pagi hari, usahanya yang belum membuahkan hasil langsung berpindah di balai desa.
Di balai desa sedang ada pemeriksaan rutin setiap minggu dalam program untuk warga yang hamil, Randu yang mencoba mengikuti satu per satu orang hamil dengan perwujudan berbeda-beda.
Ketika sebuah pengumuman untuk penutupan pintu mengenai sebuah mitos perihal tak boleh adanya orang mengandung keluar disaat petang menjelma, tak banyak diantaranya mencoba untuk lebih mementingkan pulang.
Randu yang selesai mengikuti hanya berjumlah delapan orang, ia teringat jika perlengkapan ajian maupun ponselnya masih di dalam mobil.
"Waduh iya lupa, hari ini aku sekolah. Gimana ya? Pasti Agnez bakalan nyariin, secara juga dia mengandung anakku. Gimana ya?"
Randu yang mencoba menelpon orang yang pernah menolongnya waktu dipuncak sempat hp androidnya mati menyala, tetapi semua kesempatan kali ini berbuah manis kepadanya.
Tak cukup waktu lama, sekitar dua jam berselang dirinya menunggu datanglah orang tersebut lengkap dengan perlengkapan telah memperbaiki satu-satu.
"Mas, kenapa bisa masuk ke dalam hutan sih?"
"Temenku itu mabuk, tapi sekarang dianya udah dijemput sama pacarnya. Eh malah ninggalin aku."
"Orang kaya banyak cewek ya, mas? Maaf gak bermaksud."
"Santai, kalau aku mah setia dan lagian belum punya pasangan."
"Palingan aku bakalan merantau."
"Daripada merantau mending dirimu jadi sopir pribadi mamaku."
"Beneran, mas?"
"Ya kapan-kapan aku hubungi lagi, secara semuanya tergantung sama mama. Eh, itu sudah jadi belum?"
"Sebentar lagi, mas."
"Sip."
Sembari menunggu dirinya mencoba mengambil ponsel yang berada di kantong, ia telah berhasil lalu mengambil beberapa nomer untuk dijadikan sebuah umpan.
Seusai dibenarkan dirinya kembali lagi dengan mobilnya yang diperbaiki itu, di dalam perjalanan ia mencoba untuk tidak menghubungi siapapun termasuk mama Widya.
Kedatangannya kembali telah membuat tetesan air mata mama Widya, Randu yang memiliki karakter mudah berubah-ubah tak sedikit memedulikan mamanya dan langsung berangkat sekolah.
"Itu kenapa juga ada motor ngikutin aku melulu, jangan-jangan fans berat. Ha ha, tahu dah yang penting jemput dulu tante Agnez."
Hampir setengah jam Randu menunggu Agnez di pertigaan sebuah gang, ia yang sembari bermain game di ponselnya tiba saja motor yang mengikuti hilang.
Dalam sebuah mobil yang parkir cukup lama itupun tiba-tiba Agnez masuk dan memberikan sebuah ciuman, Randu yang hanya menjawab respon dengan elusan.
"Mamanya yang sehat ya, dedeknya juga. Gak sabar rasanya lihat adik tumbuh, ha ha...."
"Tuh, nak. Dengerin kata papa, papa Randu sayang sama dedek."
"Ya udah, ayo lanjutkan perjalanan. Kalau libur bolehlah kita liburan."
"Hah? Liburan?"
"Iya, liburan bertiga. Papa, mama dan dedek, pasti seru deh. Gak mau ya?
"Tapi Agnez masih guru bantu di sekolah, emangnya kalau nunggu beberapa waktu dulu gak bisa kah?"
"Tahu deh, udah sampai sekarang turun."
Randu yang kesal itupun mencoba pergi dari Agnez dan menghindari pertanyaan baik temannya maupun guru, dia yang terburu-buru tanpa melihat jalan menabrak seseorang.
"Kalau jalan itu pakai mata, dasar orang gila!" Randu yang marah itu langsung melihat arah mata yang ditabraknya. "Pak Baroto?"
"Kenapa? Kaget? Bocah edan, kamu pikir gak tahu apa akal busukmu? Asalkan kamu tahu, dengan adanya kelakuanmu seperti itu aku jamin kamu gak akan lama hidup dengan tenang."
Randu yang terdiam cukup lama itu langsung berlari menuju kelas, tetapi dia tak menyangka jika ia kembali ke kelas lamanya setelah berulang kali bernasib sial.
"Itu anak aneh, dulu ngotot masuk ke kelas sebelah dan sekarang balik lagi."
"Randu itu terkenal plin plan sejak SMP, gak jarang jika dia sering melakukan hal-hal konyol dan merubahnya secara sepihak."
Tito yang mencoba mendekati Randu dalam suasana melamun di kursi guru itupun malah berpikiran aneh dengan bicara sendiri, ia juga terkejut akan kedatangan sahabatnya.
"Gila, masak mobil kebakar itu udah ludes masih saja buat Baroto hidup? Mungkin aku ngelindur kali ya, gak mungkin beneran gak masuk akal akan semuanya."
"Kenapa sih, Ran?"
"Gak, gak papa. Kampret, ngagetin aja. Kamu itu kayak setan tahu gak? Tiba-tiba muncul begitu saja, kayak jin."
"Eh, semenjak kamu pindah itu ke kelas pasti belum tahukan beritanya di sini?"
"Apa?"
"Rindu udah diketemuin, terus pembina sangar itu kecelakaan dan katanya guru-guru itu mobilnya hangus habis gak tersisa."
"Syukurlah."
"Maksudmu?"
"Itu Rindu udah diketemuin aku bersyukur."
"Aku pikir pak Baroto yang kamu ucapin, secara dari awal aku lihat kalian sering bertatapan."
"Sayang Randu, Putri kangen sama sayang. Ih... gak pergi lagi kan?"
"Ini lagi kayak badut pengganggu, udahlah bel udah bunyi. Sekarang kita fokus pelajaran."
Tak bisa menerima kenyataan bahwa Rindu sudah kembali, sebagian rasanya pernah terbuang buat Agnez tetapi bersamaan dengan itu juga paras Randu semakin menarik.
"Kenapa bisa ya, Rindu hidup lagi? Sedangkan para tim sar dan lainnya kecil kemungkinan orang yang masuk jurang akan selamat, ini aku kan karena ajian cincin merah delima. Tapi kalau Rindu... gimana caranya dia masih hidup? Sedangkan semuanya terasa diluar kendaliku, huh... sulit dipercaya semuanya."
"Randu, silakan maju."
Randu yang kesal disuruh mengerjakan ke depan kelas membuatnya menulis terserah, ia yang kembali di hukum diminta untuk merangkum dua bab mata pelajaran yang sama itu.
Sebuah kenyataan harus ia terima dan mencoba untuk terus mencatat apa yang diperintahkan, seusai pelajaran tersebut Randu terasa kesal dan Putri memberikan sebuah minuman mineral tetapi hanya didiamkan begitu saja.
Putri yang tak tahu harus apa memberikan sebuah tespack, disamping itu juga Randu mencoba melemparkannya dan sempat diambil Rindu.
"Apa ini? Punya siapa ini?"
"Bukan urusan kamu lagi, udah sana pergi!"
Putri yang merebut kembali itu meminta Rindu untuk keluar dari kelas sejenak, mereka yang berbicara empat mata.
"Kenapa gak masuk, Rin?"
"Putri gak kasih, tapi anehnya itu ada tespack tadi. Tapi aku gak tahu itu punya siapa, semenjak ini belum pernah nemuin kayak gituan."
"Memang itu apa sih?"
"Itu alat buat ngecek kehamilan, tapi mungkin punya guru tadi kali ya. Secara juga dia buru-buru."
"Iya, ya udah kalau begitu."